Rabu, 24 Februari 2021

6 Tahun Gandjel Rel : Maju Terus Pantang Kendur

Februari 24, 2021 2 Comments

Tahun ini Blogger Gandjel Rel genap berusia 6 tahun. 


Masih segar dalam ingatan kemeriahan ulang tahun pertama dengan dress code merah muda. Disusul perayaan ulang tahun kedua dengan dress code biru di kantor Blue Bird. Lalu bertempat di Rumah Herborist, GRes berbusana nuansa oranye untuk merayakan ultah ke 3. Perayaan ke 4, Gandjel Rel menculik Gus Mul yang lucune pol itu ke RM Pring Sewu. Menyedot ilmu sepuasnya dari blogger asal Magelang ini. 


Tahun 2020. Resolusi dituangkan kembali untuk direalisasi. Optimisme membumbung. Di tahun kembar, Gandjel Rel merayakan ulang tahun ke 5. Tak main-main, kali ini mengundang blogger yang tersohor dengan tulisan seputar kuliner : Diah Didi. Monokrom dipilih sebagai dress code tahun 2020. 


Tak lama pageblug datang bertamu. Denyut kehidupan menjadi berbeda. Semua mencicipi imbasnya. Terpisah jarak. Tersendat aktivitas, karena hampir semua kegiatan menjadi terbatas. Di tengah situasi yang tak pasti kapan pandemi enyah dari negeri ini, nyatanya geliat GRes tak lantas terhenti. Memang sebagian besar kegiatan harus dilakukan dari rumah. 

dok.Gandjel Rel


Bertemu untuk saling berdiskusi dan berbagi ilmu, undangan berbagai acara tak lagi bebas dilaksanakan. Tapi kendala itu tak membuat gerak dan laju Gandjel Rel dormansi. GRes (member Gandjel Rel) semakin giat berkarya. Dunia maya yang tak terbatas menjadi wadah bagi pegiat literasi digital ini untuk terus menulis. 


Dan lihatlah di tahun cantik ini. Dimana tatap muka menjadi kendala, layar virtual menjadi jawabnya. Banyak yang dilakukan anggota Gandjel Rel. Beberapa anggota aktif menjadi narasumber kegiatan yang berhubungan dengan literasi. Sebagian anggota yang lain menjadi teman berbagi di ruang-ruang virtual untuk saling mendukung dan memberi solusi untuk jiwa yang terpuruk karena pandemi. 


Mendirikan kelas menulis juga dipilih oleh salah satu founder, Dewi “Dedew” Rieka dengan Ruang Aksara-nya. Di luar itu berpartispiasi GRes dalam lomba menulis menjadi agenda. Dan yang tak kalah menarik, semangat GRes saat menjadi guru bagi putra-putri mereka. Gaduh, tentu saja. Namun semua bisa teratasi dengan baik. 


Sementara ngeblog adalah dunia yang tak terpisahkan dari GRes. Dunia ini pula yang mengantarkan beberapa anggota menempati tangga juara dengan tulisan-tulisan yang menggetarkan, tips-tips yang memikat, dan segudang artikel lain yang sayang untuk dilewatkan. 

Gandjel Rel

Ternyata pandemi tak lantas menyurutkan gerak dan laju GRes untuk tetap berkarya. Tetap berdenyut meski harus berjalan bersama pageblug. 


Tahun 2021, perayaan ulang tahun ke 6 tentu saja berbeda. Tanpa pesta seperti biasa, tak pula mengundang nara sumber untuk berbagi ilmu seputar kepenulisan. 


Meski tidak menggelar pesta, namun pada perayaan ulang tahun ke enam Gandjel Rel menggelar lomba cerpen bertema ulang tahun. Tak hanya diikuti oleh GRes, partisipan di luar anggota Gandjel Rel juga ikut unjuk kebolehan untuk menuangkan karya terbaiknya. 


Ini hanyalah sebuah tulisan singkat saya tentang komunitas penulis blog Gandjel Rel di usia lucu-lucunya. Jargon : Ngeblog Ben Rak Ngganjel bukanlah sebuah candaan. 

Nyatanya ngeblog bukan saja untuk menuangkan ganjalan hati. 

Ngeblog pun menjadi pundi-pundi yang tak bisa dilihat sebelah mata. 

Ngeblog menjadi cara untuk menyuarakan apa yang tak mampu disampaikan lewat pita suara. 

Ngeblog pun menjadi wadah untuk berkarya, apa pun jenis tulisan. 

Dan bagi saya pribadi, ngeblog adalah salah satu cara untuk mengasah ketrampilan menulis. 

Selamat Ulang Tahun ke 6 Gandjel Rel. Selamat menginspirasi perempuan Indonesia.

Sabtu, 13 Februari 2021

Saya dan TTS

Februari 13, 2021 28 Comments
TTS. Teka Teki Silang. 
Iya, si kotak hitam putih yang harus dijawab mendatar dan menurun. 

Meski tidak terpaut gen, tapi hobi mengisi teka-teki diturunkan dari bapak ke saya, anaknya. Bapak hobi banget mengisi si kotak-kotak. Ada kepuasan saat seluruh pertanyaan terjawab. 

Saat pertama kali mengenal kuis satu ini (jaman SD), TTS dikenal juga dengan nama asah otak. Bapak membeli majalah atau lebih tepatnya buku TTS. Dalam satu buku kurang lebih ada 20 teka teki dengan beragam bentuk. Bentuk umum, kotak-kotak hitam putih mendatar dan menurun. Ada pula kotak putih dengan jawaban mendatar semua, lalu di kolom yang diberi garis tebal akan tersusun kata-kata. Ada pula teka-teki yang tidak menyediakan pertanyaan, tapi disediakan pilihan kata yang dimasukkan dalam kolom dan baris kosong. Tak hanya persegi, susunan kotak hitam putih membentuk bangun persegi panjang, piramida, ada pula belah ketupat. 

Menakhlukkan beberapa pertanyaan pun menjadi keasyikan tersendiri. Butuh beberapa kamus. Kamus bahasa Inggris, Jepang, Belanda, Jerman, Arab, Cina, dan lainnya. Bahkan terselip pula pertanyaan berbahasa Spayol dan Italia (nah dua kamus ini nih yang susah dicari di jaman itu). 

Buku-buku pintar pun menjadi menu tambahan. Buku sakti semacam RPUL, Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (masih ingat kan?) yang memuat bermacam informasi, dari nama ibukota, gubernur, lapangan terbang, danau, dan seabreg info lain. 
Tambahan pengetahuan masih didapat dari majalah/koran yang menyediakan kolom khusus (kumpulan kata bantu) yang memuat kata-kata yang sering ditanyakan dalam teka teki. 


Tingkat kesukaran TTS berbeda. Istilahnya, ada level-levelnya pula. Ada yang enteng, remeh temeh sampai pertanyaan yang sulit berbelit, sukar berakar. 

Namun, beda dulu beda pula sekarang. Saat ini buku TTS masih ada, namun tidak menyediakan hadiah. TTS benar-benar untuk mengasah otak, iseng-iseng mengisi waktu. RPUL dan buku pintar lainnya pun tersingkirkan oleh gawai pintar. Hanya dengan mengetik pertanyaan jawaban langsung tersedia dalam hitungan detik. Kamus-kamus harus menelan ludah karena tak lagi diperlukan. Perannya tergantikan dengan mesin penerjemah. Tidak hanya bahasa Inggris, nyaris seluruh bahasa di dunia ada. 

Sayangnya, kemudahan teknologi ini tidak sejalan seirama dengan keberadaan teka teki silang (berhadiah) di media cetak. Saat ini hanya beberapa media cetak yang menyediakan ruang untuk asah otak. Alasan inilah yang membuat saya sedikit berpaling dari TTS. Ditambah lagi beberapa koran mengurangi oplah. Saya sering kehabisan koran yang khusus saya beli hanya untuk menyambangi sang kotak hitam putih. 

Di masa pandemi, saya rindu mengisi TTS. Sedikit rehat dari hiruk pikuk berita seputar virus yang melanda seluruh dunia. 
Pucuk dicinta ulam tiba. Pas rindu, pas lapak kaki lima masih menyisakan koran. Rindu pun langsung dilampiaskan mengisi seluruh kotak tanpa menyisakan satu pertanyaanpun. Mengandalkan memori otak dengan menyisir pertanyaan yang mudah dulu, lalu serahkan pertanyaan yang belum bisa saya jawab pada gawai pintar. 
Rampung pertanyaan, langsung menuliskan jawaban, lengkapi dengan kupon, masukkan amplop, kirim via pos. Dan….olala…jadi salah satu pemenang. Langsung sombong senang dong. 

Sebenarnya bukan sekedar pengobat rindu. TTS benar-benar mengasah otak, menghangatkan memori, memancing ingatan. Saya dipaksa atau terpaksa atau akhirnya dengan sukarela membuka kamus Bahasa Indonesia (meski online) dan ber o panjang, ternyata khasanah bahasa nusantara begitu luas. Mengetikkan persamaan kata, membuka mesin menerjemah bahasa manca, mencari jawaban pada mesin pencari menuntaskan rasa penasaran. Dan jika menang, itu bonus. 

Menyenangkan bukan? 

Tulisan ini dibuat untuk melengkapi tugas kelas blog Ruang Aksara.

Selasa, 09 Februari 2021

Hari Jadi Kota Ini

Februari 09, 2021 6 Comments
“Ada kue ulang tahun?”
“Mungkin.” 
“Ada badut?” 
“Barangkali.” 
“Tiup lilin?” 
“Entah.” 

Inah, bocah ingusan itu sepanjang jalan tak henti bertanya. Dalam batinnya, ulang tahun pastilah menyenangkan. Ada makanan, permen, balon warna-warni, pita-pita yang dipasang di atas ruangan. 

“Nyanyi lagu happy birthday?” 
“Bisa jadi.” 

Kali ini Inah mendesah, bibirnya manyun. Jawaban yang didapat hanyalah mungkin, barangkali, bisa jadi, angkat bahu, dan berakhir dengan dua kata: tidak tahu. 

Parti, bocah tengil kakak Inah, memang tidak tahu seperti apa pesta ulang tahun yang akan digelar di lapangan pusat kota. 
(dok. pribadi)

“Ada amplop?” Inah belum menyerah. Pertanyaan masih saja diajukan. 
“Amplop?” dahi Parti mengernyit. 
“Seperti di tivi.” 
“Acara apa? Sinetron?” 
“Acara artis-artis.” 
“Ada apa artis-artis?” 
“Kalau ulang tahun bagi-bagi amplop ke anak yatim.” 

Parti menarik nafas. Dia tidak bisa menjawab tumpukan tanya Inah. Tapi Inah nyatanya tak peduli. Dia tetap bertanya. 

“Siapa yang meniup lilin?” 
“Jangan tanya terus. Nanti lihat sendiri.” 

Parti mendesah. Semua tanya Inah, adalah tanyanya. Dia hanya melihat ulang tahun di tivi. Belum pernah merasakan seperti apa ulang tahun atau sekedar datang di pesta ulang tahun. Di kampung, ulang tahun adalah barang mahal. Mimpi. 

Pernah suatu kali Parti memohon untuk bisa merayakan ulang tahun seperti perayaan ulang tahun artis cilik di tivi yang dilihatnya. Pasti menyenangkan. Memakai gaun bak putri raja, mendapat kado, meniup lilin dan memotong tart berhias boneka. 

“Ulang tahun?” tanya Mak. 
“Ya, Mak. Ulang tahun.” Wajah Mamak sontak memerah. Dirayu-rayunya hati agar tidak memarahi Parti, “Tak ada ulang tahun untuk orang miskin, Parti.” 

Jawaban itu diingatnya. Parti diam. Dia sadar, tabu meminta sesuatu yang tak mungkin terwujud. Keinginan untuk ulang tahun seketika pupus. Sampai suatu hari pengumuman di baliho sudut lapangan kota membangkitkan bahagianya. Puncak perayaan ulang tahun kota akan digelar. Dia akan datang ke pesta itu. 

“Kapan?” tanya Mak
“Sekarang, Mak.” 
“Siapa yang ulang tahun? Siapa yang boleh datang?” 
“Kota ini, Mak. Semua boleh datang. Hadirilah puncak perayaan ulang tahun kota, begitu bunyi pengumumannya” 
“Kalau begitu, Mak ikut. Inah juga. Lumayan, bisa makan gratis.” Ah, Mak ternyata ingin menonton pesta ulang tahun juga. 

Suara musik sudah terdengar. Inah tak lagi bertanya. Matanya membulat. Kemeriahan seperti apa nanti? Lapangan pusat kota berubah menjadi lautan manusia. Saling dorong, saling sikut untuk bisa mengambil posisi dekat panggung. Beberapa artis ibu kota mengisi acara. Itu alasan utama penonton merapat maju. Bisa melihat artis dari jarak dekat. 

Sementara di atas panggung, permainan lampu sorot warna-warni dan alunan musik menjadi magnet tersendiri. Meski acara belum dimulai, tapi kemeriahan sudah tercipta. 

“Belum dimulai.” 
“Artisnya belum datang.” 
“Siapa saja.” 
“Banyak. Artis terkenal.” 

Mak senang. Kota memang jauh berbeda dengan kampung tempat mereka tinggal sebelumnya. Di kota ada ulang tahun, bisa ketemu artis. 

Pukul delapan, acara dimulai. Penonton berseru-seru. Penyanyi ibukota tampil. Sayang ketiganya tak bisa melihat jelas. Dari tempatnya berdiri, semuanya tampak kecil. 

Usai dihangatkan dengan lagu-lagu, bapak walikota naik pentas memberi sambutan. Tumpeng besar dikeluarkan, doa dilangitkan. Bapak walikota memotong tumpeng dan menyerahkan simbolis pada seseorang yang berdiri di sebelahnya. Tanpa aba-aba penonton menyanyikan lagu ulang tahun. Parti, Inah tak mau kalah. Suara kecil mereka tenggelam dalam gempita penonton. 

“Sudah potong tumpeng. Waktunya makan,” seru Mak. 
“Ayo makan,” mata Inah berbinar-binar. 

Parti, Inah, dan Mak beranjak menyusuri area luar lapangan mencari makanan. Gerobak dorong berjajar di pinggir lapangan. Nyaris tak ada bangku kosong. Sebagian penikmat malah duduk di tikar yang digelar di belakang gerobak. Aroma sedap memanggil. Mak berhenti di lapak soto. 

“Berapa, Bu?” 
“Tiga.” 
“Minumnya?” 
“Es teh.” 

Ketiganya tak sabar menyantap soto, sesaat setelah terhidang. Lahap. Lahap sekali. Dalam sekejap, soto dan es teh tandas. 
Panggung kembali digoyang alunan dangdut. Mak bersenandung lirih. Lagu favoritnya sedang dinyanyikan sang biduan. 

“Yuk, nonton lagi,” ajak Mak beranjak dari lapak soto. Parti dan Inah membuntuti. 

Baru beberapa langkah ketiganya terhenti oleh teriakan seseorang. 

“Hei, bayar dulu!” Lelaki itu berkacak pinggang.
Mak melotot kaget. 
Parti menyahut lantang, “Katanya pesta ulang tahun. Gratis. Tidak bayar!” 

Lelaki itu mengejar. Mak kaget, dicekalnya tangan kedua anaknya. Mengambil langkah seribu, lari sekencang-kencangnya. Lelaki itu terus mengejar, berteriak-teriak mengata-ngatai. Kasar sekali ucapannya Suaranya tenggelam di antara sorak sorai penonton. Tak ada yang peduli. Mak menerobos kerumunan, menyelinap di antara penonton mencari aman lalu memutuskan pulang. 

“Mengapa kita pulang?” tanya Inah. 
“Sudah malam,” sahut Mak. 
“Kalau pulang nanti-nanti, pasti dikasih amplop,” kata Inah. 
“Tidak ada amplop, Inah. Tidak ada bagi-bagi kue tart, tidak ada badut, tidak ada sulap,” Parti menyeka air mata. 
“Tidak ada makan gratis,” suara Mak tersendat. 

Malam pekat, langit berhias kembang api warna warni ditingkah riuh rendah teriakan suka cita. Ketiganya berjalan dalam sepi. Inah tak henti bertanya.

“Ini bukan ulang tahun, Inah. Namanya Hari Jadi. Makanya yang ada hanya nyanyi-nyanyi. Mengerti, Inah?”

Inah mengangguk. Tahu. 

“Tidak ada ulang tahun untuk kita, Inah.” Mak menimpali. Suaranya tercekat. 
***
Semarang, 9 Februari 2021