Kamis, 06 Oktober 2022

Aku Ingin Patah Hati

Oktober 06, 2022 2 Comments

 

AKU INGIN PATAH HATI.

Sudah kurencanakan, jika kelak ku patah hati, akan kutulis semua perasaan yang timbul karenanya, semua keanehan yang menyelimutinya, semua polah tingkah yang menyelimutinya. Maka di halaman pertama buku yang telah kuberi sampul pink dengan gambar hati bertebaran di mana-mana, kutulis : 

“Aku Ingin Patah Hati, dan Inilah Kisahku, Kisah Orang yang Sedang Patah Hati.” 

 Ah judul yang sangat panjang, tetapi indah. 
 
Dan kini aku benar-benar ingin patah hati. Jangan kau tertawa dulu ketika membacanya, atau jangan dulu kau mencibir keinginan aneh bin ajaib ini. Karena keinginanku ini bukan tanpa sebab! Keinginanku ini telah kupendam lama, setelah melihat dan mendengar sendiri beberapa kisah. Tentu saja kisah tentang seorang yang patah hati. Begitu aneh, bahkan sangat aneh ! 
 
Betapa tidak ? Patah hati karena cinta membuat beberapa orang yang berada di sekelilingku menjadi orang linglung sementara, pemarah, cengeng, tak punya semangat, dan hal-hal yang tak masuk akal. Patah hati memang aneh! 


Kuawali ketertarikanku akan patah hati dengan kisah pertama yang membawaku ingin merasakan bagaimana rasanya patah hati, dan itu terjadi pada kakakku. Ceritanya sangat sederhana dan lazim.

Begini, setelah berpacaran dua tahun dengan Mbak Salya, akhirnya cinta itu putus juga. Pacaran jarak jauh Semarang – Surabaya membuat keduanya jarang bertemu. Kakakku kuliah di Semarang, sedang Mbak Salya diterima di perguruan tinggi di Surabaya. Tahun pertama, cinta itu masih bisa bertahan. Tahun berikutnya, karena alasan jarang bertemu dan alasan yang tak kuketahui jelas, cinta itu selesai sudah. Siapa yang memutuskan ? tentu saja Mbak Salya, karena saat “keputusan” itu dibacakan, kakakku masih sempat meluncurkan kata kata yang sangat memelas. Begini bunyinya : “Tapi aku masih mencintamu” 
Oh, indahnya! 
Dan telepon di ujung sana ditutup. Kakakku menyeruduk, membanting tubuhnya di atas kasur. Sesaat kemudian wajahnya telah tersapu air mata. Dia menangis. Dan aku ? 

Aku tertawa terbahak-bahak begitu melihat pemandangan aneh itu. Tawaku terhenti saat kakak sulungku memberi ultimatum, “Awas ! kalau kau patah hati aku juga akan menertawakanmu!”

Cep! 

Aku diam. Takut dengan ultimatum yang lebih cocok disebut ancaman. Ruangan sepi, hanya suara sesengukan kakakku yang terdengar.

(Dalam hati aku berkata, jika kelak ku patah hati, aku tak akan menguras air mata). 

Oh, begitukah orang yang patah hati ? Keceriaaan yang dulunya selalu hinggap di setiap episode perjalananya tiba-tiba berubah menjadi hujan air mata tanpa mendung pada awalnya ! Aku dilanda penasaran dengan kisah kakakku yang menjadi korban patah hati. Apa yang sebenarnya ada dalam pikiran dan perasaannya ? Sungguh aku sangat ingin cepet-cepat bisa merasakan patah hati. 

**  
KISAH kedua tak kalah seru, membuat otakku yang encer matematika tiba-tiba tak berkutik dan pasrah mengantongi nilai kursi terbalik, hanya karena memikirkan orang yang patah hati. Siapa orang kedua ini ? Jani namanya. 

Jani, sahabatku, patah hati. Cintanya dengan mahasiswa teknik kimia yang kost di depan rumah sampai pada vonis akhir : P-U-T-U-S ! 
Apa sebab ? aku tak menanyakannya, takut menyinggung perasaan yang kini tengah dilanda lara. Disinyalir unsur-unsur cinta tak bersenyawa lagi. Mengapa ? Entahlah, hanya mereka berdua yang tahu. 

Kini rasa penasaranku makin bertambah. Bukan karena persenyawaan tak berkelanjutan, tapi akibat yang ditimbulkan senyawa cinta tak jadi tadi. 

Tangis, itulah pemandangan pertama dan wajib yang kulihat seperti ketika kakakku putus cinta dulu. Bukan hanya tangis itu, tapi jumlah tisu yang telah dihabiskan untuk membendung air mata yang tumpah karenanya. 

Tercatat dua dos tisu dihabiskan untuk menyeka air mata Jani. Belum lagi gulungan tisu kloset untuk menyeka ingus hidung yang turut bersedih. Ah, patah hati memang aneh. 

(Dalam hati aku berkata, jika kelak ku patah hati dan dengan amat sangat terpaksa harus menangis, meski aku tak menginginkannya, maka aku akan membeli Kanebo saja, kain lap yang sering digunakan untuk mengelap motor atau mobil, karena daya serapnya yang efektif. Setelah itu dapat digunakan untuk mengelap kendaraan atau perabotan rumah!) 
** 

DAN kisah ketiga ini melengkapi dua kisah sebelumnya yang membulatkan tekadku untuk secepat mungkin bisa patah hati. 

Kisah ketiga tentang Parti, sahabatku yang lain. 

Saat untuk kali pertama cinta bermekaran di hatinya, dia pernah berucap padaku, “Aku tak akan berpacaran lagi selain dengan Mas Hafis!” 

Siapa yang tak kenal dengan  Hafis ? Cewek sekelurahan pasti sudah mengenalnya. Hafis sosok yang sangat menyenangkan, mudah bergaul dan sayang dengan cewek. Tak ayal lagi ketika panah asmara tertancap di dada Parti yang tomboi itu, berubahlah Parti menjadi sosok yang beda. Sejak itu Parti selalu tampak girlie dan wangi. 

Aku iri melihat perubahan yang ada padanya, tapi…..itu hanya berlangsung setahun, karena perubahan berikutnya tak pernah ada yang menduganya. 

Singkat cerita, cinta Parti dan Hafis kandas karena Hafis kembali pada pacar lamanya, Ida. Parti terluka. Semboyan yang pernah terucap tak kan berpacaran selain dengan Hafis sampai detik ini masih dipegangnya. 
Tapi, yang membuatku terheran-heran adalah tak ada mendung dalam dirinya, apalagi hujan air mata. Yang ada adalah sebuah perubahan yang menurutku pemberontakan tolol! 

Dulu Parti yang tomboi berubah menjadi girlie dan sekarang bukan saja kembali ke asal sebagai gadis yang tomboi, tapi tubuhnya makin berotot seperti lelaki ! Memang setelah perjalanan cinta itu berakhir, Parti rutin berolah raga. Tapi aku tak tahu olah raga apa yang digelutinya. Belakangan kudengar dia berlatih angkat beban dan rajin-rajin menonjok samsak. 

Aneh ! 

(Dan dalam hati aku berkata, kelak ku patah hati, kan kubangun sebuah sarana olah raga untuk mereka yang patah hati. Siapa tahu banyak yang tertarik menjadi anggota karena bisa dijadikan sebagai sarana untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Ehm… Cukup menghasilkan, bukan ? ) 

** 
"KAU masih waras, kan ?” tanya Rely ketika kukatakan keinginanku untuk patah hati. 

“Lah, masak orang gila bisa ingin patah hati ?” timpalku 

“Sakit rasanya, tahu!”suaranya meninggi. 

“Justru sakit itu yang ingin kurasakan. Sensasi itu yang ingin kucoba. Dan setelah itu apa yang akan terjadi ? Itu yang akan kutulis. Indah pastinya,” kataku sambil menunjukkan buku bersampul pink dengan gambar hati. 

“Rasa itu tak pernah bisa dikata Ta, seandainya bisa, maka tiap orang tak ingin patah hati karena putus cinta. Mereka akan mempertahankan cintanya sebisa mungkin sampai ke jenjang yang lebih pasti,” Rely mengguruiku.
 
Aku mencibir. 

Oh, ya ? Kau tak tahu, Rel, betapa aku telah lama menginginkannya karena terinspirasi oleh cerita unik dibalik itu semua. Mungkin di luar ketiga cerita itu masih banyak cerita unik lainnya yang lebih mengharukan, menyayat-nyayat atau bahkan menggembirakan. Jadi keinginanku ini mungkin sebuah eksperimen untuk diriku sendiri. 

Rely menggeleng-gelengkan kepala, tampak tak mengerti dengan jalan pikiranku yang sangat tidak logis. Patah hati kok diinginkan, batinnya.

Memang aku adalah orang yang suka bereksperimen aneh-aneh tapi tidak seaneh yang kuutarakan barusan. Rely menganggapku ‘kurang’ waras dalam hal ini. Maka ketika dia menempelkan jari telunjuknya ke dahi, aku hanya terkekeh. Dia mengataiku, “Sinting !” 

Biarlah dia mengataiku seperti itu, tapi aku tak sakit hati karenanya. Wajar kalau aku dianggap sinting. Karena baru kali ini ada orang yang ingin patah hati, dan itu aku orangnya. Jawara kelas yang nyentrik! Tapi biarpun keinginan aneh ini dianggapnya sinting, dia dengan senang hati mau membantuku. 

“Apa langkah-langkah yang harus kukerjakan ?”tanyaku bersemangat. 

Aku benar-benar tak tahu langkah awal untuk bisa patah hati! Aku tahu Rely pernah bercerita bahwa dia pernah pacaran dan kandas (dan tentu saja patah hati). Tapi aku tak tahu dengan siapa dan bagaimana kejadiannya, karena dia baru sebulan ini berkenalan denganku di tempat kursus bahasa Inggris. 
 
“Berselingkuh dengan cowok sekolah lain,” idenya, “Buat sedemikian rupa sehingga cowokmu cemburu dan memutuskan cintanya.” 

 Aku melongo, tak tahu harus menjawab apa. 
 
“Atau yang lebih aman, tak usah pacaran dengan cowok lain, tapi cuekin saja pacarmu, sampai akhirnya dia memutuskanmu,” imbuh Rely. 

Otakku kosong! Pikiranku tak nyambung begitu mendengar ceramah singkatnya yang berapi-api layaknya seorang motivator yang sedang memberi semangat pendengarnya. 

“Bagaimana? Setuju dengan ideku? Atau punya ide yang lebih gila lagi? tanyanya sambil memperhatikan rona wajahku yang berubah. 

“Ta, kau sakit?” 

 Aku menggeleng. 

“Kok tiba-tiba diam? Enggak setuju dengan ideku ? Ya udah, kita cari ide lain.” 

 Aku tak tahu harus menjawab apa. Eksperimen pertamaku tak pernah berhasil, bahkan gagal sebelum dikerjakan.

“Kamu enggak lagi sakit, kan?” Rely makin penasaran.

“Rel, aku tak bisa,” jawabku. 

Ganti Rely yang kaget, “Kenapa ?” 

"Bagaimana aku harus berselingkuh, atau cari cowok lain? Bahkan pacar saja aku belum pernah punya.

“Tak bisa? Kenapa?” 

“Karena aku belum pernah mencinta. Bagaimana aku bisa putus cinta ? Dan bagaimana aku bisa patah hati karenanya?” 

“Kau belum punya pacar, Ta ?” Rely tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
 
 Aku menggeleng, “Bahkan belum pernah punya! Untuk sekedar naksir cowok pun aku belum pernah.” 

Rely tercengang, menarik nafas panjang. 

“Ada yang terlupa dalam dirimu Ta, yaitu cinta. Kalau kau ingin patah hati, maka kau harus mencinta.” 

Rely segera mengambil buku pink. Dibukanya halaman pertama yang telah kuberi judul,  dibawahnya dia menulis judul dengan huruf besar-besar : 

“DAN KUAWALI LANGKAHKU DENGAN MENCINTA”. 

“Cari pacar dulu sebanyak-banyaknya, baru patah hati !” sindirnya. 

 Aku hanya terdiam. Ternyata, aku harus memulainya dengan cinta.

 *** 

 (Cerpen,dimuat Gradasi Edisi II/No.11/April 2009)

Senin, 03 Oktober 2022

H E B A T

Oktober 03, 2022 2 Comments

 

Saya berniat membaca sembari menunggu teman yang sedang menyelesaikan keperluan di kampus Unnes. Tapi, baru saja membuka lembar pertama, tiba-tiba datang dua wanita paruh baya langsung duduk di samping kanan dan kiri saya. 

Ibu yang duduk di sebelah kiri membuka perbincangan dengan temannya yang duduk di sebelah kanan seraya menatap kemegahan kampus Unnes. Konsentrasi saya buyar. Buku hanya saya pegang, sementara telinga mencuri dengar pembicaraan keduanya. 

“Hoalah,... bagus benar kampusnya,” kata ibu sebelah kiri. 

Temannya menyahut, “Iya, Yu. Apik tenan.” 

Dialog keduanya berlanjut. Sahut menyahut. Saya menyimaknya. 

“Pasti arsiteknya pintar.” 

“Orangnya pasti hebat,” Ibu sebelah kanan menambahi. 

“Kalau kita dipasrahi uang jutaan untuk membangun gedung semegah ini, pasti tidak bisa. Tidak jadi gedung. Malah jadinya sambal terasi.” 

“Wah, kalau orang-orang bodoh seperi kita yang membangun, apa jadinya ya?” tanya ibu sebelah kiri. 

“Ambruk,” jawaban ibu sebelah kanan. Keduanya tertawa terkiki-kikik, menertawai ketidakhebatan diri mereka. 


Saya membatin, seperti apakah “hebat” dalam benak kedua wanita tersebut? 

Saya teringat tulisan Samuel Mulia di Harian Kompas beberapa tahun silam. 

Hebat bisa dilihat dari banyak sudut pandang. Orang sudah bisa dikatakan hebat jika dia mampu naik dari nol menjadi nol koma lima, tidak perlu sampai satu. 

Dikatakan hebat jika dia ‘tidak tahu’ menjadi ‘sedikit tahu’. Orang hebat memiliki langkah sejuta, sedang orang tidak hebat mau melangkah saja deg-degan. Tapi anehnya orang hebat tetap menaruh harapan pada orang yang deg-degan. 

Orang yang tidak hebat mampu mengontrol orang yang hebat supaya mereka melatih kesabaran. Orang hebat bisa menjadi tidak hebat di sisi lain, sedang orang tak hebat bisa menjadi menjadi hebat di sisi yang lain pula. 

Sebelum beranjak, kusampaikan pada ibu yang duduk di sebelah kiriku, “Ternyata bukan hanya arsitek gedung ini yang hebat. Tapi, ibu pun hebat. Apa yang bisa dikerjakan arsitek yang merancang bangunan ini jika padanya disodorkan uang sepuluh ribu rupiah? Pasti dia bingung mau diapain uang segini.
Sementara Ibu bisa menyulap uang sepuluh ribu rupiah dengan membelanjakannya untuk makan sekeluarga. Paling tidak bisa menggoreng tempe dan membuat sambal. Apa yang dilakukan ibu belum tentu bisa dilakukan oleh arsitek yang merancang gedung ini. Jadi, Ibu pun hebat.” 

Setelah memberi salam, saya berlalu meninggalkan keduanya yang saya rasa masih memikirkan kata hebat yang saya sandangkan padanya. 

Lamat-lamat saya mendengar percakapan keduanya, “Dengan uang sepuluh ribu, ternyata kita bisa hebat juga ya, Yu.” 

(tulisan lawas dengan perbaikan seperlunya)

Rabu, 05 Januari 2022

Ndherek Langkung, Mengembalikan pada Akar Budaya

Januari 05, 2022 23 Comments

Ndherek langkung. 

Kapan terakhir kali mendengar atau mengucapkan kalimat sapaan itu? 

Tadi? Kemarin? Seminggu lalu? atau bahkan sudah terlalu lama tidak mendengar atau mengucapkannya? 


Kali ini Nurul Hikmah mencuplik pengalamannya untuk ditulis dalam sebuah cerita anak. Imam Styawan atau Styaki yang menerjemahkan karya Nurul dalam gambar-gambar yang menarik dan lucu. Duet inilah yang melahirkan cerita Ndherek Langkung. 


Sik sik, ojo kesusu. Jangan terburu-buru, nanti bingung, lo saat membacanya, karena buku Ndherek Langkung memang dihadirkan dalam format bahasa Jawa lengkap dengan tulisan (aksara Jawa). Njur piye


Eit, tapi tidak usah risau, ada terjemahan dalam bahasa Indonesia. Selain itu dilengkapi pedoman cara membaca aksara Jawa (hitung-hitung tambah ilmu, belajar membaca hurufnya Aji Saka, ya) 


Ndherek Langkung bercerita tentang bocah bernama Laras yang baru saja pindah ke desa. Kebetulan di desa tersebut tinggal pula saudaranya bernama Dimah. Bersama Dimah dan kawan baru lainnya, Laras diajak dolan

Setiap berjumpa tetangga atau seseorang, bocah-bocah tersebut (kecuali Laras) selalu menyapa : Ndherek langkung

Suatu hari Laras sedang mengunggu Dimah. Karena tak kunjung datang, akhirnya Laras mendatangi rumah Dimah. Ternyata Dimah pergi. Akhirnya Laras pulang. Tapi……duh duh duh Laras harus melewati ibu-ibu yang sedang duduk-duduk di beranda. Saat ditegur, Laras malah lari. 

Esoknya Laras ingin dolan tapi dia bingung karena dia masih malu-malu menyapa: Ndherek langkung. Akhirnya dia berlatih agar bisa dan berani mengucap Ndherek langkung. Usaha Laras pun berhasil. Meski malu-malu dia bisa mengucap Ndhe.. rek… dan disambung temann-temannya : …langkung

Cerita sederhana, dekat dengan keseharian, tapi bernas. 

Ndherek Langkung

Saya pribadi senang membaca Ndherek Langkung


Nurani saya sering mengingatkan, eh kalau lewat di depan orang mbok menyapa (aruh-aruh) dong. Ndherek langkung. Bukan sekadar lewat dengan punggung tegak, tak menatap, tak menyapa. Padahal kenal, kan? Saya jadi malu.


Dalam pengantarnya dipaparkan, bahasa daerah masih menjadi bahasa ibu bagi sebagian keluarga, namun bagi sebagian lain mulai bergeser dan berubah. Bagi yang mengalami perubahan, sekarang bahasa Indonesia adalah bahasa utama yang digunakan. Hal itu bisa dimaklumi karena makin banyaknya keluarga dengan percampuran suku. Selain itu, bahasa asing juga semakin diprioritaskan untuk dipelajari. Maka jangan heran jika anak-anak lebih lancar ber-cas cis cus. Kadang-kadang kagok berbahasa Indonesia apalagi bahasa daerah. 

Bersama berkurangnya pemakaian bahasa daerah, terkikis juga unggah ungguh (sopan santun, tata karma/adab) serta sejarah yang melekat padanya. 

Merasa peduli dengan semua itu, maka Lingkarantarnusa menghadirkan buku wacan bocah, tujuannya untuk mengembalikan anak-anak dan keluarga-keluarga pada akar budayanya. Selain itu ikut melestarikan kekayaan bahasa dan budaya nusantara. Tak hanya untuk menguatkan akar budaya, namun jika buku semacam ini dibaca oleh anak-anak dari daerah lain, maka diharapkan akan tumbuh benih-benih toleransi. 


Nusantara kaya akan ragam budaya. Negeri kita pun terkenal dengan keluhuran budinya. 

Tidak usah malu jika saat bersua, kita mendahului untuk menyapa Ndherek langkung…atau mungkin dengan sapaan lain sesuai dengan daerah masing-masing. 

Oiya, sapaan Ndherek langkung tidak hanya wasis diucapkan oleh Laras dan bocah-bocah lain lho. Kita yang sudah dewasa pun butuh untuk mengucapkannya. Sebagai bukti penghormatan pada diri sendiri, bahwa kita masih punya unggah-ungguh, punya tata krama. 

Buku ini pun mengingatkan saya pada pepatah Jawa. Ajining diri gumantung saka lathi (seseorang dihormati karena ucapannya) 

Jadi, masih ingat tidak kapan terakhir kali menyapa : Ndherek langkung? Baru saja, ya? 

Baiklah saya juga akan menjawabnya, mangga, mangga.

Nuwun.


Ndherek Langkung

Penulis : Nurul Hikmah

Ilustrator : Imam Styawan

Penerbit : Lingkarantarnusa