Rabu, 05 Januari 2022

Ndherek Langkung, Mengembalikan pada Akar Budaya

Januari 05, 2022 23 Comments

Ndherek langkung. 

Kapan terakhir kali mendengar atau mengucapkan kalimat sapaan itu? 

Tadi? Kemarin? Seminggu lalu? atau bahkan sudah terlalu lama tidak mendengar atau mengucapkannya? 


Kali ini Nurul Hikmah mencuplik pengalamannya untuk ditulis dalam sebuah cerita anak. Imam Styawan atau Styaki yang menerjemahkan karya Nurul dalam gambar-gambar yang menarik dan lucu. Duet inilah yang melahirkan cerita Ndherek Langkung. 


Sik sik, ojo kesusu. Jangan terburu-buru, nanti bingung, lo saat membacanya, karena buku Ndherek Langkung memang dihadirkan dalam format bahasa Jawa lengkap dengan tulisan (aksara Jawa). Njur piye


Eit, tapi tidak usah risau, ada terjemahan dalam bahasa Indonesia. Selain itu dilengkapi pedoman cara membaca aksara Jawa (hitung-hitung tambah ilmu, belajar membaca hurufnya Aji Saka, ya) 


Ndherek Langkung bercerita tentang bocah bernama Laras yang baru saja pindah ke desa. Kebetulan di desa tersebut tinggal pula saudaranya bernama Dimah. Bersama Dimah dan kawan baru lainnya, Laras diajak dolan

Setiap berjumpa tetangga atau seseorang, bocah-bocah tersebut (kecuali Laras) selalu menyapa : Ndherek langkung

Suatu hari Laras sedang mengunggu Dimah. Karena tak kunjung datang, akhirnya Laras mendatangi rumah Dimah. Ternyata Dimah pergi. Akhirnya Laras pulang. Tapi……duh duh duh Laras harus melewati ibu-ibu yang sedang duduk-duduk di beranda. Saat ditegur, Laras malah lari. 

Esoknya Laras ingin dolan tapi dia bingung karena dia masih malu-malu menyapa: Ndherek langkung. Akhirnya dia berlatih agar bisa dan berani mengucap Ndherek langkung. Usaha Laras pun berhasil. Meski malu-malu dia bisa mengucap Ndhe.. rek… dan disambung temann-temannya : …langkung

Cerita sederhana, dekat dengan keseharian, tapi bernas. 

Ndherek Langkung

Saya pribadi senang membaca Ndherek Langkung


Nurani saya sering mengingatkan, eh kalau lewat di depan orang mbok menyapa (aruh-aruh) dong. Ndherek langkung. Bukan sekadar lewat dengan punggung tegak, tak menatap, tak menyapa. Padahal kenal, kan? Saya jadi malu.


Dalam pengantarnya dipaparkan, bahasa daerah masih menjadi bahasa ibu bagi sebagian keluarga, namun bagi sebagian lain mulai bergeser dan berubah. Bagi yang mengalami perubahan, sekarang bahasa Indonesia adalah bahasa utama yang digunakan. Hal itu bisa dimaklumi karena makin banyaknya keluarga dengan percampuran suku. Selain itu, bahasa asing juga semakin diprioritaskan untuk dipelajari. Maka jangan heran jika anak-anak lebih lancar ber-cas cis cus. Kadang-kadang kagok berbahasa Indonesia apalagi bahasa daerah. 

Bersama berkurangnya pemakaian bahasa daerah, terkikis juga unggah ungguh (sopan santun, tata karma/adab) serta sejarah yang melekat padanya. 

Merasa peduli dengan semua itu, maka Lingkarantarnusa menghadirkan buku wacan bocah, tujuannya untuk mengembalikan anak-anak dan keluarga-keluarga pada akar budayanya. Selain itu ikut melestarikan kekayaan bahasa dan budaya nusantara. Tak hanya untuk menguatkan akar budaya, namun jika buku semacam ini dibaca oleh anak-anak dari daerah lain, maka diharapkan akan tumbuh benih-benih toleransi. 


Nusantara kaya akan ragam budaya. Negeri kita pun terkenal dengan keluhuran budinya. 

Tidak usah malu jika saat bersua, kita mendahului untuk menyapa Ndherek langkung…atau mungkin dengan sapaan lain sesuai dengan daerah masing-masing. 

Oiya, sapaan Ndherek langkung tidak hanya wasis diucapkan oleh Laras dan bocah-bocah lain lho. Kita yang sudah dewasa pun butuh untuk mengucapkannya. Sebagai bukti penghormatan pada diri sendiri, bahwa kita masih punya unggah-ungguh, punya tata krama. 

Buku ini pun mengingatkan saya pada pepatah Jawa. Ajining diri gumantung saka lathi (seseorang dihormati karena ucapannya) 

Jadi, masih ingat tidak kapan terakhir kali menyapa : Ndherek langkung? Baru saja, ya? 

Baiklah saya juga akan menjawabnya, mangga, mangga.

Nuwun.


Ndherek Langkung

Penulis : Nurul Hikmah

Ilustrator : Imam Styawan

Penerbit : Lingkarantarnusa