Kamis, 30 Desember 2021

Merayakan Kata

Desember 30, 2021 12 Comments
Seorang gadis duduk di sebuah café. Ditemani segelas kopi kekinian dan gawai, dia memegang sebuah buku : The Garden in The Plains, karya Agnes W. Havler. Dia menyempatkan diri mengabadikan aktivitasnya untuk dibagikan ke dunia maya. Mungkin dia ingin mengabarkan bahwa dia sedang membaca, lalu ia kembali menenggelamkan diri lagi dalam buku. Tidak peduli berapa halaman yang dia baca dan berapa lama dia menghabiskan waktu untuk beberapa lembar halaman buku yang ada dalam genggamnya. Namun yang jelas dia sedang merayakan kata, yakni membaca. 
Merayakan kata dengan membaca (foto: Dhedhe Dirgawijaya)

Dalam situasi yang berbeda, saya pun turut merayakan kata. 

Di tengah terkendalanya berbagai aktivitas, ternyata kegiatan literasi denyutnya semakin terasa. Begawan kata turun gunung dengan memanfaatkan fasilitas dunia maya untuk bertatap muka dengan pembaca. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, tak hanya bertatap muka mereka juga membagi ilmu seputar kepenulisan dan promosi buku. Saya, dan mereka yang haus ilmu terpuaskan dahaga. Bersamaan dengan itu muncul kelas-kelas menulis, bincang literasi, baik berbayar atau gratis. Lomba menulis digelar, dibarengi lahirnya buku-buku baru. 

Literasi beresonansi. 
Saya mengulik buku, buku-buku baru dan mengulang membaca buku lawas. Tak sebatas buku, beberapa artikel surat kabar yang tertumpuk dan sebatas dikoleksi, menjadi bacaan yang mengenyangkan. Ada keasyikan tersendiri. 
Dari membaca, saya pun akhirnya merambah belajar menulis. Ilmu yang saya peroleh dari kelas literasi, menggiring saya untuk mengasah kemampuan membaca menulis. Menuliskan kegelisahan, berbagi tips dan pengalaman, atau belajar merangkai kata dan menatanya menjadi sebuah cerita. Pendek saja, tapi memuaskan saya. Ternyata kegiatan ini mengasyikkan, menggembirakan dan menimbulkan rasa ketagihan. Membaca lagi dan menulis lagi. 
foto : Dhedhe Dirgawijaya

Rasanya tak pernah ada rasa sesal apabila akhirnya saya tersesat dalam rimba belantara kata. Semakin banyak membaca, nyatanya semakin saya sadar bahwa masih banyak yang belum saya ketahui. 

Saya turut merayakan kata, sejalan dengan apa yang ditulis oleh Sena Gumira Ajidarma, 

........
Saya kira itulah cara yang baik untuk merayakan keberadaan kata, di tengah dunia yang lebih sering tak sadar bahwa kata itu ada, sehingga menyia-nyiakannya. Namun menulis bukanlah satu-satunya cara, karena masih ada cara lain untuk merayakannya, yakni membacanya.

Dan JNE turut ambil bagian dalam memajukan literasi Indonesia, mengantar buku-buku dan memastikan buku sampai pada pembaca

 

Kamis, 23 Desember 2021

Sang Ahli Waris

Desember 23, 2021 2 Comments


Cukup jemur seminggu sekali
Itu perintah pertama Nyi. J-e-m-u-r. Hah! Seperti ikan asin. 

Jangan di bawah sinar matahari langsung. 
Itu perintah kedua. Agak membingungkan. Jemur, tetapi tidak di bawah sinar matahari langsung. Apa namanya? 

Angin-anginkan saja di luar. 
Aku menanti perintah selanjutnya sembari mengingat-ingat. 

Senin waktu yang tepat. 
Ada tujuh hari dalam seminggu, mengapa harus memilih Senin untuk menjemur? 

Jangan lupa asapi dengan ratus. 
Apalagi ini? Dia hanya benda mati yang tak butuh wewangian untuk menarik hati siapa pun. Bisa jadi aku mabuk mencium wangi ratus. 

Simpan di tempat kering. 
Aku bosan mendengar perintah tak masuk akal itu. 

Perlakukan dengan baik. 
Itu perintah ketujuh. 

Ia sangat berharga. 
Ini bukan perintah, melainkan pemberitahuan. 

Dia dapat merasakan perlakuanmu. 
Aku bergidik. Memang apa kehebatannya? Ia tetaplah benda mati. 

Kupasarhkan padamu, rawatlah ia. 
Perintah kedelapan sekaligus penutup. 





Aku benci menjadi ahli waris. Jika harta yang diwariskan, tentu aku tak mengomel. Sayang, Nyi tidak punya harta berlebih untuk dia bagikan. Beliau tidak mewariskan apa pun, kecuali topeng. Benda bisu yang sangat dia sayangi. 

Nyi adalah panggilanku untuk Nenek. Nyi Salimah. Kata orang dan aku pun mengakui, Nyi Salimah adalah penari topeng dan tari topeng adalah Nyi Salimah. Dua sisi yang berkait, tidak bisa dipisahkan. Nyi adalah maestro. Tak hanya di dalam negeri, beliau bahkan pernah mencicipi empat musim di negara manca sebagai duta seni. Hidup Nenek untuk menari topeng. 

Aku? Sepertinya aku tinitah sebagai ahli waris tari topeng. Darah seni itu mengalir dari Nyi. Seharusnya Ibu yang mewarisi keluwesan berjoget, tetapi ternyata tidak. Tubuh Ibu berotot akibat ditempa kerja berat sejak kecil. Ibu memang bisa menari tapi jauh dari kata “luwes”

“Bagaimana Ibu bisa luwes menari luwes seperti Nyi? Tiap hari harus berjalan jauh mencari air, lalu memikul ember besar. Masih ditambah pekerjaan rumah bertumpuk. Ibu lebih cocok jadi atlet angkat besi daripada menari,” kata Ibu sembari memperlihatkan lengan kekarnya. 

Darah seni memang tidak terpaut gen. Alunan gending adalah santapan harian sejak aku keluar dari rahim Ibu. Gemulai badan Nyi dan amak-anak asuhnya adalah pemandangan yang sering kulihat. Tak mengherankan jika langkah kaki, lenggok badan, dan gerak tanganku saat belia bisa menjadi pertanda kelahiran maestro baru. 

Aku bertumbuh bersama tari topeng. Bahkan aku tidak mengawali pementasan pertama di pentas tujuh belasan kampung. Justru di negeri oranglah pertunjukan perdanaku. Sepertinya Nenek memang ingin mengabarkan pada dunia bahwa jejaknya yang segera surut telah tergantikan oleh kelahiran calon penari andal. Cucunya. 

Tak ada yang meragukan kepiawaian Nyi. Nyi sangat menjiwai setiap gerakan, selaras dengan topeng yang dia kenakan. Karakter topeng padu dengan olah tubuhnya. Di atas panggung, dia memainkan berbagai peran. Menjadi wanita lembut gemulai bahkan angkuh penuh angkara, bergantung pada topeng yang dia pakai. 

Tak mengherankan pula pada usia senja Nyi belum tergantikan. Saat tubuh rentanya tak memungkinkan terus menari, dia berharap ada penerus tari topeng. Harapannya terkabul. 

“Tapi tak mudah menjadi penari seperti Nenek. Orang bilang apa? Metro?” 

“Maestro. Mengapa?” 

“Tidak cukup gerak badan. Kau harus memahami jiwa topeng yang kau kenakan.”

“Apakah topeng punya nyawa?” Nyi geleng-geleng kepala mendengar pertanyaanku. 

 Kata Nyi, topeng-topeng itu peka. Bergidik aku mendengarnya. Berarti mereka hidup. 

“Bukan hidup seperti manusia. Angel. Susah menjelaskan,” ujar Nyi sebal. Aku tetap bebal. 

Nyi memperlakukan topeng secara istimewa. Dia angin-anginkan, dia lap, dia teliti setiap lekuk, lalu diasapi dengan ratus. Saat memandang topeng-topeng, Nyi seperti sedang berbicara dengan benda bisu itu. 
    
Aku tidak tahu mengapa Nyi sangat menyayangi topeng-topeng itu. Mungkin sebagai wujud hormat dan cinta pada gurunya, Sulastri, yang telah mewariskan topeng itu. Itulah topeng-topeng yang Nyi gunakan sebagai modal menari sampai menjadu seterkenal sekarang. Itulah caranya membalas budi. 
    
“Hanya kau satu-satunya ahli waris yang mampu melanjutkan kesenian ini. Sayang jika dibiarkan punah.” 
   
“Tapi aku tidak bisa seperti Nyi, melakukan ritual-ritual seram. Aku tidak bisa berbicara dengan benda mati. Mistis. Syirik. Aku hanya bisa menari. 
    
Nyi mendelik dikatakan melakukan ritual mistis, syirik, menduakan Yang Kuasa. 
    
“Menari topeng bukan sekedar menggerakkan tubuh mengikuti irama. Tarian kita harus laras dengan topeng yang kita pakai. Topeng ini wujud angkara murka. Topeng itu harus kautarikan dengan kelembutan,” ujar Nyi sambil menunjuk topeng-topeng bisu itu. 

Aku mengangguk saja. Biarlah topeng-topeng itu menjadi urusan Nyi. Aku menari saja. 
  
“Aku tidak sedang mengajarimu perkara mistis, syirik. Aku hanya ingin topeng ini tetap terawat, terjaga. Itu saja.” 

 **

Kini Nyi tinggal kenangan. 

“Lakukan saja apa kata Nyi,” kata Ibu, beberapa hari setelah Nyi berpulang. 

“Tapi urusan topeng itu aku tidak bisa. Ada aura mistis. Aku tidak mau.” 

“Kau yang menari, mewarisi Nyi. Kau pula yang harus merawat topeng topeng warisan Nyi. Itu juga yang Nyi lakukan,” kata Ibu. 

“Bagaimana kau bisa memadukan tari dan topeng jika tak merawatnya.” 

Dia bisa merasakan perlakuanmu

Aku mengingat kembali kata-kata Nyi. Padahal, dibanting pun topeng itu tidak bisa marah. Ah, banyak sekali perlakuan untuk topeng-topeng itu. Seketika aku membenci diri sendiri. Benci karena harus menjadi sang ahli waris. 
**
Pentas mulai ramai. Tari topeng tetap berdenyut, meski tanpa Nyi. Tepuk tangan, decak kagum, dan pujian pada setiap pementasan tentu bukan semata-mata milikku. Sebagian besar untuk mengenang Nyi, karena sang pembawa acara berulang-ulang menyebut nama Nyi. 

Hari berlalu cepat. Aku teringat pesan Nyi. Beberapa tahun setelah Nyi berpulang, tak pernah sekali pun aku melakukan ritual seperti perintah Nyi. Aku hanya menyimpan topeng-topeng itu dalam kardus mi instan di pojok kamar. 

Selama ini aku hanya menggunakan satu topeng kesayangan Nyi untuk latihan dan pentas. Topeng yang sama untuk karakter yang berbeda. Aneh. Namun aku tidak memedulikan. Cukup topeng itu. Penonton tidak melihat topeng, tapi menikmati tarian. 

“Ada yang tidak laras dalam pertunjukanmu,” kata Ibu suatu hari. 
Tidak laras?Aneh. Maksudnya? 

“Topengmu. Itu-itu saja yang kau pakai. Apa itu laras?” Aku tahu, tapi enggan peduli. 

“Jika ingin sebesar Nyi, kau pun harus sepandai Nyi. Bukankah Nyi telah mengajari bahwa karakter tari harus padu dengan topengnya?” 

Mungkin itulah mengapa orang mencibirku. Sang ahli waris yang bodoh. Tidak pernah ganti topeng. Padahal Nyi mewariskan banyak topeng. 

Siapa tidak ingin menjadi maestro seperti Nyi? Aku ingin mengulang kejayaan Nyi. Merambah seluruh Nusantara dan menjamah negara manca dengan menari. Sejak kepergian Nyi, aku hanya berputar dari acara perkawinan ke acara hajatan lain. 

“Belajarlah membedakan karakter tari. Menyelaraskan topeng dan gerakan. Lihatkan foto Nyi pada setiap pertunjukan. Cermati!” 

Meski tidak luwes menari, Ibu ternyata pengamat tari yang hebat. Ada benarnya juga kata-kata Ibu. Aku harus belajar memahami topeng, bukan sekedar menari. 

Segera kubuka kardus di pojok kamar. Bau apak menguar. Aku terbatuk. Satu topeng kuambil, catnya pudar dan mengelupas sebagian. Pada topeng lain kulihat ada bagian yang berlubang karena ulah kawanan renik. 

Kuangkat dua kardus ringan itu ke halaman agar lebih jelas mengamati topeng-topeng Nyi. Bagian bawah kardus ambrol. Terdengar suara aneh. Kawanan makhluk kecil lalu-lalang. Rayap! Makhluk pelahap kayu itu mengahncurkan topeng-topeng Nyi. Proses pelapukan dan kawanan rayap mengantarkan benda itu ke jurang kemusnahan. 

Wajahku pucat. Ibu yang sejak tadi memperhatikan lirih bersuara. 

“Ritual yang Nyi lakukan pada topeng-topeng itu bukan perkara mistis.” Ibu sedang menguliti kebodohanku. 

Ibu menjabarkan satu per satu dari delapan perinyah Nyi, mengingatkanku pada wasiat Nyi yang kuabaikan. 

“Tidak jemur di bawah terik matahari dan cukup diangin-anginkan agar cat topeng tidak cepat rusak. Topeng itu harus diangin-anginkan karena lembab terkena keringat, uap air, dan riasan saat pentas. Jika engkau menjemur hari Minggu, maka tentulah badanmu lelah setelah malam hari pentas. Maka Nyi meminta kau menjemur hari Senin karena telah cukup istirahat.” 

Ibu meneruskan penjelasannya. 

“Itulah mengapa Nyi minta kau simpam di tempat kering serta kau asapi untuk mejaga kayu itu tetap utuh, tak dimakan hewan kecil atau menunda lapuk termakan usia. Perlakuan Nyi selama ini bukan kesyirikan. Bau wangi ratus itu pun untuk mengusir binatang kecil, mengurangi bau tak sedap.” 

Nyi yang buta huruf ternyata wanita cerdas. 

“Kau tidak pernah merawat. Abai pada perintah Nyi.” 

Ruangan senyap. 

“Kini topeng-topeng itu membalas perlakuanmu,” Ibu mendengus, kecewa. 

Aku terpaku memandang topeng-topeng yang membisu itu. Menunggu waktu untuk membuangnya dan tinggal menyisakan kenangan. 
***

Dimuat di Suara Merdeka, 24 November 2019

Rabu, 20 Oktober 2021

Si Dul Anak Jakarta, Buku Lawas yang Tetap Berkelas

Oktober 20, 2021 20 Comments
Elu udeh pernah nonton pilem Si Dul di bioskop? 
Hmm… 

Kalau sinetron Si Dul Anak Sekolahan yang tayang di tipi? Udah pade liat kan? Udah lame sih, tapi ditayangin ulang sampe berkali-kali. Tetep ditonton tuh. Boleh dikate kagak ngebosenin. 
Hmm…

Kalau Si Dul Anak Jakarta? Bukan pilem bukan juga sinetron. Ini buku. Elu udeh pernah baca belon? Yang mana? Yang ini nih 

Nah aye mau cerita gimane aye bisa demen banget dengan buku ini. Haha… 
Gare-gare baca buku Si Dul, aye jadi kepingin banget menjajal nulis memakai logat Betawi. Duh ternyate susah sekale. Ya sudah lah. 

Kembali lagi ke buku Si Dul. Membaca buku karya Aman Datuk Majoindo meninggalkan kesan mendalam. Sukaaaa banget. Saking sukanya, saya sampai berkali-kali membacanya. Dan tidak bosan 

Pas melihat Si Dul Anak Jakarta bertumpuk dengan buku-buku lain, jadi penasaran banget kepingin baca buku terbitan Balai Pustaka ini. Baru saja membaca paragraf awal, langsung jatuh. Lalu cinta. Jadi jatuh cinta. Segampang itukah cinta? Eaaa… 

Buku Si Dul Anak Jakarta yang saya baca merupakan cetakan ke 11 tahun 1981, sementara cetakan pertama tahun 1936. Buku ini bercerita tentang kisah bocah bernama Dul (nama lengkapnya adalah Abdul Hamid). 

Dul digambarkan sebagai bocah yang berbadan bulat, berisi, dan padat. Tangan dan kakinya bergelang-gelang, raut badannya amat bagus, tegap, dan kukuh. Suka duka Si Dul diceritakan dengan gaya menarik dan tentu saja jenaka. 

Beberapa percakapan ditulis dalam logat Jakarta, namun saya sebagai pembaca tidak merasa kesulitan memahaminya. Dalam pendahuluan, sang penulis, Aman Datuk Majoindo, memberi alasan bahwa pemakaian logat Jakarta dalam buku ini supaya diketahui oleh pembacanya yang bukan orang Jakarta. 

Si Dul Anak Jakarta terdiri dari delapan cerita. Diawali dengan kisah Di Bawah Pohon Sauh. Teriakan Nyak Si Dul membuka cerita, 
“Duul!” 
“Duul! Dul Hamid! Eh, kemane lagi die? Barusan di sini.” 

Lalu saya diajak untuk menikmati keriangan masa anak-anak bersama Dul dan teman-teman : As, Pat, Saari, Sapii. Bermain, bengkelai (berkelahi), saling ejek, sekaligus saling bantu. 

Cerita berlanjut dengan Si Dul Jadi Haji. Si Dul membuat rumah-rumahan, lalu memimpin doa untuk acara sedekahan lengkap dengan gayanya bak seorang haji betulan. 
Keceriaan masih berlanjut pada bab 3 Gembala Kambing yang dan bab 4 Mencari Umpan Kambing saat Dul membawa (menggembalakan) bandot (kambing) milik Uak Salim, engkongnya. 

Usai bersenang-senang dengan cerita riang Si Dul, saya diajak untuk merasakan kedukaan Si Dul saat babenya meninggal karena kecelakaan. Otobus yang dikendarai babe Si Dul menerjang pohon juar di tepi jalan (Bab 5 Berjual Nasi Ulam). Babe meninggal, Si Dul akhirnya berjualan nasi ulam. Tapi namanya Dul, saat berjualan pun dia tetap riang meski diejek dan diajak bergelut oleh Saari dan Sapii. 

Pembaca diajak lagi ber-riang-riang dengan Si Dul di cerita selanjutnya saat Dul dibelikan petasan dan baju lebaran lengkap dengan dasi dan topi (Bab 6 Bang Amat yang Baik Hati, bab 7 Si Dul Kecewa) Cerita Si Dul ditutup saat Si Dul masuk sekolah (Bab 8 Maksud Si Dul Sampai). 
Dialog yang terbangun antara Si Dul dengan Encik Guru yang cantik saat pelajaran berhitung, membuat saya sukar menahan tawa. 

“Sekarang saya tanya Abdul Hamid. Kita misalkan Abdul Hamid dberi bapaknya lima buah manggis.” 
“Aye kagak ade babe encik! Babe aye udeh mati, mobilnya nubruk puun,” jawab Si Dul. 
“Jadi bapakmu sudah mati?” 
“Aye!” 
“Nah baik, kalau tiada bapak, ibumu memberi lima buah manggis. Dua buah manggis itu dimakan adikmu!” 
“Aye juga kagak punya adek!” 
“Tak punya adik? Baik. Kita misalkan saja engkau ada beradik seorang.” 
“Mana bisa, nyak aye kagak mau beranak lagi! Katenya, aye sendiri udah bosen miarenya.” 

Secara keseluruhan buku Si Dul menarik dan enak dibaca segala usia meskipun penggunaan bahasanya kurang bisa dipahami oleh bocah-bocah jaman sekarang. Rangkain cerita dijalin dengan apik sehingga saya sebagai pembaca dapat merasakan suasana jaman doeloe. Polos, natural. Ilustrasi menarik, berpadu dengan cerita. 

Ah..saya jadi merindukan cerita anak semacam Si Dul. Merindukan pula melihat anak-anak bermain, bergembira, menikmati masa anak-anak yang ceria.

Eh, pertanyaan aye belum pade dijawab. Udah baca Si Dul Anak Jakarta belon?

Sabtu, 03 April 2021

Wacan Bocah : Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama

April 03, 2021 19 Comments
Tempo hari saya mendapat kiriman buku dari Pojok Buku Ginatra. Sebuah buku anak. Buku bergambar lebih tepatnya. Dilihat dari tampilannya seperti buku bergambar pada umumnya. Tebalnya 24 halaman dengan gambar yang menarik. Tapi setelah diamati, ada yang istimewa dari buku satu ini. Semacam magnet yang membuat saya jatuh cinta. Iya, jatuh cinta pada pandangan pertama. 

Pada sampul buku tergambar dua anak sedang bermain bekelan. Lalu dibawahnya…mata saya membulat melihat deretan aksara yang tidak asing, tapi… 
Iya, deretan aksara Jawa , ha na ca ra ka. Tapi huruf apa yang tertulis? Saya abaikan saja huruf-huruf itu. Mata saya alihkan pada nama penulisnya. Di ujung kanan tertulis : carita dening : Wrini Harlindi, Dwatty Nyahedhi. Lalu dibawahnya tertulis gambar dening : Indra Bayu. 

Masih saja saya bertanya-tanya mengapa ada kata dening? Jika diterjemahkan kira-kira artinya : cerita oleh Wrini Harlindi dan Dwatty Nyahedhi. Sementara gambar/ilustrasi dibikin oleh Indra Bayu. Daripada dilanda penasaran saya langsung membuka halaman pertama. Dan…loh kok

Saya baru sadar bahwa buku yang berada di tangan saya adalah sebuah buku bergambar berbahasa Jawa. Unik.

Jika biasanya saya menjumpai cerkak (cerpen) berbahasa Jawa di majalah (kalawarti) dan harus bertanya-tanya tentang arti kata atau kalimat. Maka saat ini saya membaca buku dengan gambar menarik, berbahasa Jawa lengkap dengan aksara Jawa. Tahu dong apa yang saya lakukan. Mencari lembar aksara Jawa yang ada di buku Pepak Basa Jawa. Eits, tunggu dulu.... 
Tenyata di halaman selanjutnya disediakan Aksara Jawa, Pasangan, Sandhangan, Aksara Swara, Aksara Murda dan Tanda Baca. Sangat memudahkan pembaca untuk membaca aksara Jawa. Akhirnya saya memulai dari awal, membaca judul buku sembari mengintip aksara jawa. 

Buku yang ada di genggaman saya berjudul Bal Bekel Ambar (saya baru sadar ternyata dibawah aksara jawa telah disulih ke huruf latin. Padahal sudah setengah mati saya mengejanya) 

Bal Bekel Ambar adalah seri #WacanBocah, bacaan anak keluaran Lingkarantarnusa. Pada pengantarnya disebutkan ada dua hal penting yang bisa diambil dari seri buku cerita anak bergambar ini. Pertama penggunaan aksara Jawa yang sejalan dengan semangat Geber Jawa – Gembira Beraksara Jawa sebagai upaya untuk memasyarakatkan kembali aksara Jawa. 

Yang kedua, seri ini menggali nilai-nilai di masa kanak-kanak tentang keseharian hidup yang polos, menjadi penghilang dahaga di tengah arus digitalisasi yang kian menjauhkan anak-anak dari nilai tradisi. 

Mungkin inilah salah satu upaya untuk nguri uri (melestarikan) aksara serta budaya Jawa supaya tak muksa begitu saja. Hal ini pun sejalan dengan penyataan Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Pelajari Bahasa Asing. 

Bal Bekel Ambar bercerita tentang bocah perempuan bernama Ambar yang tidak bisa bermain bekel. Sementara Feni, sahabatnya sangat pandai bermain bekel. Feni pun mengajari Ambar cara bermain bekel. Sayang, bolanya selalu menggelinding. Meski tak pandai bermain bekel, ternyata Ambar pandai menggambar. Gambarnya sering dipamerkan di sekolah. Ambar pun mengajari Feni. Sayangya Feni tidak bisa menggambar seperti Ambar. 

Bagi Feni, menggambar itu sama sulitnya dengan bermain bekel untuk Ambar. Memang, setiap anak punya kepandaian masing-masing. 

Cerita yang menarik, ya. Sangat dekat dengan keseharian dan membangkitkan lagi kenangan masa kecil. 

Nah jika saya lancar menuliskan ringkasan ceritanya, itu karena saya membaca terjemahannya. Sekarang saatnya saya membaca murni aksara Jawa. Hmm….kira-kira butuh waktu berapa lama ya? 

Aih ternyata untuk membaca satu kalimat saja saya harus sering melihat deretan aksara Jawa terutama aksara swara (bunyi vokal) serta beberapa huruf yang diberi titik tiga di atasnya. Huruf lain lumayan lancar, karena masih tersisa memori tentang aksara Jawa. 
Sedikit sulit, tapi sebuah tantangan yang menyenangkan. Puas rasanya bisa menakhlukkan buku bergambar bahasa Jawa yang apik ini. 

Kalau kalian, apakah masih hafal aksara daerah kalian? Yuk, yuk, lestarikan agar tidak hilang tertelan jaman.
***

Keterangan :

Judul Buku        : Bal Bekel Ambar
Penulis               : Wrini Harlindi & Dwatty Nyahedhi
Ilustrator            : Indra Bayu
Aksara Jawa       : Rakhmi Dwi Rahayu
Penerbit              : Lingkarantarnusa
Cetakan I            : November 2020
Harga                  : Rp 55.000,-

 

Rabu, 24 Februari 2021

6 Tahun Gandjel Rel : Maju Terus Pantang Kendur

Februari 24, 2021 2 Comments

Tahun ini Blogger Gandjel Rel genap berusia 6 tahun. 


Masih segar dalam ingatan kemeriahan ulang tahun pertama dengan dress code merah muda. Disusul perayaan ulang tahun kedua dengan dress code biru di kantor Blue Bird. Lalu bertempat di Rumah Herborist, GRes berbusana nuansa oranye untuk merayakan ultah ke 3. Perayaan ke 4, Gandjel Rel menculik Gus Mul yang lucune pol itu ke RM Pring Sewu. Menyedot ilmu sepuasnya dari blogger asal Magelang ini. 


Tahun 2020. Resolusi dituangkan kembali untuk direalisasi. Optimisme membumbung. Di tahun kembar, Gandjel Rel merayakan ulang tahun ke 5. Tak main-main, kali ini mengundang blogger yang tersohor dengan tulisan seputar kuliner : Diah Didi. Monokrom dipilih sebagai dress code tahun 2020. 


Tak lama pageblug datang bertamu. Denyut kehidupan menjadi berbeda. Semua mencicipi imbasnya. Terpisah jarak. Tersendat aktivitas, karena hampir semua kegiatan menjadi terbatas. Di tengah situasi yang tak pasti kapan pandemi enyah dari negeri ini, nyatanya geliat GRes tak lantas terhenti. Memang sebagian besar kegiatan harus dilakukan dari rumah. 

dok.Gandjel Rel


Bertemu untuk saling berdiskusi dan berbagi ilmu, undangan berbagai acara tak lagi bebas dilaksanakan. Tapi kendala itu tak membuat gerak dan laju Gandjel Rel dormansi. GRes (member Gandjel Rel) semakin giat berkarya. Dunia maya yang tak terbatas menjadi wadah bagi pegiat literasi digital ini untuk terus menulis. 


Dan lihatlah di tahun cantik ini. Dimana tatap muka menjadi kendala, layar virtual menjadi jawabnya. Banyak yang dilakukan anggota Gandjel Rel. Beberapa anggota aktif menjadi narasumber kegiatan yang berhubungan dengan literasi. Sebagian anggota yang lain menjadi teman berbagi di ruang-ruang virtual untuk saling mendukung dan memberi solusi untuk jiwa yang terpuruk karena pandemi. 


Mendirikan kelas menulis juga dipilih oleh salah satu founder, Dewi “Dedew” Rieka dengan Ruang Aksara-nya. Di luar itu berpartispiasi GRes dalam lomba menulis menjadi agenda. Dan yang tak kalah menarik, semangat GRes saat menjadi guru bagi putra-putri mereka. Gaduh, tentu saja. Namun semua bisa teratasi dengan baik. 


Sementara ngeblog adalah dunia yang tak terpisahkan dari GRes. Dunia ini pula yang mengantarkan beberapa anggota menempati tangga juara dengan tulisan-tulisan yang menggetarkan, tips-tips yang memikat, dan segudang artikel lain yang sayang untuk dilewatkan. 

Gandjel Rel

Ternyata pandemi tak lantas menyurutkan gerak dan laju GRes untuk tetap berkarya. Tetap berdenyut meski harus berjalan bersama pageblug. 


Tahun 2021, perayaan ulang tahun ke 6 tentu saja berbeda. Tanpa pesta seperti biasa, tak pula mengundang nara sumber untuk berbagi ilmu seputar kepenulisan. 


Meski tidak menggelar pesta, namun pada perayaan ulang tahun ke enam Gandjel Rel menggelar lomba cerpen bertema ulang tahun. Tak hanya diikuti oleh GRes, partisipan di luar anggota Gandjel Rel juga ikut unjuk kebolehan untuk menuangkan karya terbaiknya. 


Ini hanyalah sebuah tulisan singkat saya tentang komunitas penulis blog Gandjel Rel di usia lucu-lucunya. Jargon : Ngeblog Ben Rak Ngganjel bukanlah sebuah candaan. 

Nyatanya ngeblog bukan saja untuk menuangkan ganjalan hati. 

Ngeblog pun menjadi pundi-pundi yang tak bisa dilihat sebelah mata. 

Ngeblog menjadi cara untuk menyuarakan apa yang tak mampu disampaikan lewat pita suara. 

Ngeblog pun menjadi wadah untuk berkarya, apa pun jenis tulisan. 

Dan bagi saya pribadi, ngeblog adalah salah satu cara untuk mengasah ketrampilan menulis. 

Selamat Ulang Tahun ke 6 Gandjel Rel. Selamat menginspirasi perempuan Indonesia.

Sabtu, 13 Februari 2021

Saya dan TTS

Februari 13, 2021 28 Comments
TTS. Teka Teki Silang. 
Iya, si kotak hitam putih yang harus dijawab mendatar dan menurun. 

Meski tidak terpaut gen, tapi hobi mengisi teka-teki diturunkan dari bapak ke saya, anaknya. Bapak hobi banget mengisi si kotak-kotak. Ada kepuasan saat seluruh pertanyaan terjawab. 

Saat pertama kali mengenal kuis satu ini (jaman SD), TTS dikenal juga dengan nama asah otak. Bapak membeli majalah atau lebih tepatnya buku TTS. Dalam satu buku kurang lebih ada 20 teka teki dengan beragam bentuk. Bentuk umum, kotak-kotak hitam putih mendatar dan menurun. Ada pula kotak putih dengan jawaban mendatar semua, lalu di kolom yang diberi garis tebal akan tersusun kata-kata. Ada pula teka-teki yang tidak menyediakan pertanyaan, tapi disediakan pilihan kata yang dimasukkan dalam kolom dan baris kosong. Tak hanya persegi, susunan kotak hitam putih membentuk bangun persegi panjang, piramida, ada pula belah ketupat. 

Menakhlukkan beberapa pertanyaan pun menjadi keasyikan tersendiri. Butuh beberapa kamus. Kamus bahasa Inggris, Jepang, Belanda, Jerman, Arab, Cina, dan lainnya. Bahkan terselip pula pertanyaan berbahasa Spayol dan Italia (nah dua kamus ini nih yang susah dicari di jaman itu). 

Buku-buku pintar pun menjadi menu tambahan. Buku sakti semacam RPUL, Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (masih ingat kan?) yang memuat bermacam informasi, dari nama ibukota, gubernur, lapangan terbang, danau, dan seabreg info lain. 
Tambahan pengetahuan masih didapat dari majalah/koran yang menyediakan kolom khusus (kumpulan kata bantu) yang memuat kata-kata yang sering ditanyakan dalam teka teki. 


Tingkat kesukaran TTS berbeda. Istilahnya, ada level-levelnya pula. Ada yang enteng, remeh temeh sampai pertanyaan yang sulit berbelit, sukar berakar. 

Namun, beda dulu beda pula sekarang. Saat ini buku TTS masih ada, namun tidak menyediakan hadiah. TTS benar-benar untuk mengasah otak, iseng-iseng mengisi waktu. RPUL dan buku pintar lainnya pun tersingkirkan oleh gawai pintar. Hanya dengan mengetik pertanyaan jawaban langsung tersedia dalam hitungan detik. Kamus-kamus harus menelan ludah karena tak lagi diperlukan. Perannya tergantikan dengan mesin penerjemah. Tidak hanya bahasa Inggris, nyaris seluruh bahasa di dunia ada. 

Sayangnya, kemudahan teknologi ini tidak sejalan seirama dengan keberadaan teka teki silang (berhadiah) di media cetak. Saat ini hanya beberapa media cetak yang menyediakan ruang untuk asah otak. Alasan inilah yang membuat saya sedikit berpaling dari TTS. Ditambah lagi beberapa koran mengurangi oplah. Saya sering kehabisan koran yang khusus saya beli hanya untuk menyambangi sang kotak hitam putih. 

Di masa pandemi, saya rindu mengisi TTS. Sedikit rehat dari hiruk pikuk berita seputar virus yang melanda seluruh dunia. 
Pucuk dicinta ulam tiba. Pas rindu, pas lapak kaki lima masih menyisakan koran. Rindu pun langsung dilampiaskan mengisi seluruh kotak tanpa menyisakan satu pertanyaanpun. Mengandalkan memori otak dengan menyisir pertanyaan yang mudah dulu, lalu serahkan pertanyaan yang belum bisa saya jawab pada gawai pintar. 
Rampung pertanyaan, langsung menuliskan jawaban, lengkapi dengan kupon, masukkan amplop, kirim via pos. Dan….olala…jadi salah satu pemenang. Langsung sombong senang dong. 

Sebenarnya bukan sekedar pengobat rindu. TTS benar-benar mengasah otak, menghangatkan memori, memancing ingatan. Saya dipaksa atau terpaksa atau akhirnya dengan sukarela membuka kamus Bahasa Indonesia (meski online) dan ber o panjang, ternyata khasanah bahasa nusantara begitu luas. Mengetikkan persamaan kata, membuka mesin menerjemah bahasa manca, mencari jawaban pada mesin pencari menuntaskan rasa penasaran. Dan jika menang, itu bonus. 

Menyenangkan bukan? 

Tulisan ini dibuat untuk melengkapi tugas kelas blog Ruang Aksara.

Selasa, 09 Februari 2021

Hari Jadi Kota Ini

Februari 09, 2021 6 Comments
“Ada kue ulang tahun?”
“Mungkin.” 
“Ada badut?” 
“Barangkali.” 
“Tiup lilin?” 
“Entah.” 

Inah, bocah ingusan itu sepanjang jalan tak henti bertanya. Dalam batinnya, ulang tahun pastilah menyenangkan. Ada makanan, permen, balon warna-warni, pita-pita yang dipasang di atas ruangan. 

“Nyanyi lagu happy birthday?” 
“Bisa jadi.” 

Kali ini Inah mendesah, bibirnya manyun. Jawaban yang didapat hanyalah mungkin, barangkali, bisa jadi, angkat bahu, dan berakhir dengan dua kata: tidak tahu. 

Parti, bocah tengil kakak Inah, memang tidak tahu seperti apa pesta ulang tahun yang akan digelar di lapangan pusat kota. 
(dok. pribadi)

“Ada amplop?” Inah belum menyerah. Pertanyaan masih saja diajukan. 
“Amplop?” dahi Parti mengernyit. 
“Seperti di tivi.” 
“Acara apa? Sinetron?” 
“Acara artis-artis.” 
“Ada apa artis-artis?” 
“Kalau ulang tahun bagi-bagi amplop ke anak yatim.” 

Parti menarik nafas. Dia tidak bisa menjawab tumpukan tanya Inah. Tapi Inah nyatanya tak peduli. Dia tetap bertanya. 

“Siapa yang meniup lilin?” 
“Jangan tanya terus. Nanti lihat sendiri.” 

Parti mendesah. Semua tanya Inah, adalah tanyanya. Dia hanya melihat ulang tahun di tivi. Belum pernah merasakan seperti apa ulang tahun atau sekedar datang di pesta ulang tahun. Di kampung, ulang tahun adalah barang mahal. Mimpi. 

Pernah suatu kali Parti memohon untuk bisa merayakan ulang tahun seperti perayaan ulang tahun artis cilik di tivi yang dilihatnya. Pasti menyenangkan. Memakai gaun bak putri raja, mendapat kado, meniup lilin dan memotong tart berhias boneka. 

“Ulang tahun?” tanya Mak. 
“Ya, Mak. Ulang tahun.” Wajah Mamak sontak memerah. Dirayu-rayunya hati agar tidak memarahi Parti, “Tak ada ulang tahun untuk orang miskin, Parti.” 

Jawaban itu diingatnya. Parti diam. Dia sadar, tabu meminta sesuatu yang tak mungkin terwujud. Keinginan untuk ulang tahun seketika pupus. Sampai suatu hari pengumuman di baliho sudut lapangan kota membangkitkan bahagianya. Puncak perayaan ulang tahun kota akan digelar. Dia akan datang ke pesta itu. 

“Kapan?” tanya Mak
“Sekarang, Mak.” 
“Siapa yang ulang tahun? Siapa yang boleh datang?” 
“Kota ini, Mak. Semua boleh datang. Hadirilah puncak perayaan ulang tahun kota, begitu bunyi pengumumannya” 
“Kalau begitu, Mak ikut. Inah juga. Lumayan, bisa makan gratis.” Ah, Mak ternyata ingin menonton pesta ulang tahun juga. 

Suara musik sudah terdengar. Inah tak lagi bertanya. Matanya membulat. Kemeriahan seperti apa nanti? Lapangan pusat kota berubah menjadi lautan manusia. Saling dorong, saling sikut untuk bisa mengambil posisi dekat panggung. Beberapa artis ibu kota mengisi acara. Itu alasan utama penonton merapat maju. Bisa melihat artis dari jarak dekat. 

Sementara di atas panggung, permainan lampu sorot warna-warni dan alunan musik menjadi magnet tersendiri. Meski acara belum dimulai, tapi kemeriahan sudah tercipta. 

“Belum dimulai.” 
“Artisnya belum datang.” 
“Siapa saja.” 
“Banyak. Artis terkenal.” 

Mak senang. Kota memang jauh berbeda dengan kampung tempat mereka tinggal sebelumnya. Di kota ada ulang tahun, bisa ketemu artis. 

Pukul delapan, acara dimulai. Penonton berseru-seru. Penyanyi ibukota tampil. Sayang ketiganya tak bisa melihat jelas. Dari tempatnya berdiri, semuanya tampak kecil. 

Usai dihangatkan dengan lagu-lagu, bapak walikota naik pentas memberi sambutan. Tumpeng besar dikeluarkan, doa dilangitkan. Bapak walikota memotong tumpeng dan menyerahkan simbolis pada seseorang yang berdiri di sebelahnya. Tanpa aba-aba penonton menyanyikan lagu ulang tahun. Parti, Inah tak mau kalah. Suara kecil mereka tenggelam dalam gempita penonton. 

“Sudah potong tumpeng. Waktunya makan,” seru Mak. 
“Ayo makan,” mata Inah berbinar-binar. 

Parti, Inah, dan Mak beranjak menyusuri area luar lapangan mencari makanan. Gerobak dorong berjajar di pinggir lapangan. Nyaris tak ada bangku kosong. Sebagian penikmat malah duduk di tikar yang digelar di belakang gerobak. Aroma sedap memanggil. Mak berhenti di lapak soto. 

“Berapa, Bu?” 
“Tiga.” 
“Minumnya?” 
“Es teh.” 

Ketiganya tak sabar menyantap soto, sesaat setelah terhidang. Lahap. Lahap sekali. Dalam sekejap, soto dan es teh tandas. 
Panggung kembali digoyang alunan dangdut. Mak bersenandung lirih. Lagu favoritnya sedang dinyanyikan sang biduan. 

“Yuk, nonton lagi,” ajak Mak beranjak dari lapak soto. Parti dan Inah membuntuti. 

Baru beberapa langkah ketiganya terhenti oleh teriakan seseorang. 

“Hei, bayar dulu!” Lelaki itu berkacak pinggang.
Mak melotot kaget. 
Parti menyahut lantang, “Katanya pesta ulang tahun. Gratis. Tidak bayar!” 

Lelaki itu mengejar. Mak kaget, dicekalnya tangan kedua anaknya. Mengambil langkah seribu, lari sekencang-kencangnya. Lelaki itu terus mengejar, berteriak-teriak mengata-ngatai. Kasar sekali ucapannya Suaranya tenggelam di antara sorak sorai penonton. Tak ada yang peduli. Mak menerobos kerumunan, menyelinap di antara penonton mencari aman lalu memutuskan pulang. 

“Mengapa kita pulang?” tanya Inah. 
“Sudah malam,” sahut Mak. 
“Kalau pulang nanti-nanti, pasti dikasih amplop,” kata Inah. 
“Tidak ada amplop, Inah. Tidak ada bagi-bagi kue tart, tidak ada badut, tidak ada sulap,” Parti menyeka air mata. 
“Tidak ada makan gratis,” suara Mak tersendat. 

Malam pekat, langit berhias kembang api warna warni ditingkah riuh rendah teriakan suka cita. Ketiganya berjalan dalam sepi. Inah tak henti bertanya.

“Ini bukan ulang tahun, Inah. Namanya Hari Jadi. Makanya yang ada hanya nyanyi-nyanyi. Mengerti, Inah?”

Inah mengangguk. Tahu. 

“Tidak ada ulang tahun untuk kita, Inah.” Mak menimpali. Suaranya tercekat. 
***
Semarang, 9 Februari 2021




Sabtu, 16 Januari 2021

Kado Ulang Tahun dari Ayah

Januari 16, 2021 33 Comments
Cerpen

Tak ada sejumput keberanian menatap wajahnya. Tapi ujung mataku sempat menangkap air mukanya. Wajahnya tampak tenang. Tidak ada amarah yang diluapkan. Tidak ada kesumat yang dilampiaskan. Lalu tamparan tangan yang baru saja melayang di pipiku, apa artinya? Sakit.Tapi sesaat kemudian justru ada yang lebih menikam, meninggalkan gurat dalam. Bak prasasti, yang akan selalu kuingat. 

Hari itu, di Februari yang hujan, di dua puluh tahun usiaku. 

foto: Pixabay

Kau kenal ayahku? Coba kuceritakan sedikit saja. Karena terlalu banyak kata untuk menggambarkannya. Ayahku adalah lelaki istimewa dalam hidupku. Beruntung sekali ibu mendapatkan lelaki terbaik di dunia. Lelaki yang memenuhi seluruh kriteria sebagai pasangan hidup. Spesial. Begitulah kira-kira ibu menyebutkan sosok ayahku. 

Bagiku, putri tunggalnya, ayah adalah sosok teladan. Jika ibu menyebut beliau sebagai lelaki nomor satu di dunia, maka aku pun tak segan untuk mengalungkan predikat padanya sebagai ayah nomor satu di dunia. 
    
Ayahku adalah narasi tentang bahagia. Bahkan nyaris tak menyisakan ruang untuk kesedihan saat berada dalam bimbingannya. Andai aku seorang yang piawai menulis, maka akan kutuliskan setiap momen bersama ayah. Mungkin akan menghabiskan berlembar kertas, atau bisa saja sampai tersusun menjadi sebuah buku. Sebuah cerita tentang bahagia.

*
"Dua puluh, Ayah. 22 Februari nanti.” 

"Aih…sudah dewasa anak ayah. Sudah adakah pria yang kelak akan menggantikan tanggung jawab ayah?” pertanyaan ayah mulai mengarah pada sosok. Sebut saja pacar. Ayah senyum-senyum kecil. Ah ayah, bukankah aku belum boleh berpacaran? 
    
Aku menggeleng. Naksir-naksir sih, pernah. Sekedar digombalin sering. Tapi belum waktunya. Belum kukantongi surat ijin pacaran. 
    
“Kadonya apa,ya?” tiba-tiba ayah bertanya sembari mengetuk-ketuk ujung telunjuknya ke kening. Pertanyaan rutin jelang pertambahan usiaku. Artinya, ayah akan memberi kado tepat di ulang tahunku. Aku selalu gembira mendengar kata kado ulang tahun. Mengapa? Karena kado ulang tahun dari ayah selalu berkesan. 
   
Di ulang tahun pertamaku, aku mendapat kado boncengan sepeda yang diletakkan di stang. Konon, aku selalu menunjuk benda itu. Merengek-rengek minta dibawa keliling kampung naik sepeda. 

Ulang tahun kedua? ketiga? tahun-tahun berikutnya? Ah, ibu lupa mencatat hadiah apa yang diberikan ayah untukku. Tapi dari cerita ibu, ayah selalu memberi kado tiap pertambahan usiaku. 
    
Saat sekolah dasar dan mulai tahu bahwa ulang tahun adalah momen meniup lilin, mendapat kado, memotong kue atau nasi tumpeng yang sangat kudambakan, justru ayah mengagendakan acara yang menyenangkan. 
    
Nduk!” panggil ayah. 

Aku menghampiri tapi ragu-ragu melangkah karena di luar hujan menderas. Kau tahu? Hadiah ulang tahunku : Hujan-hujanan. Saat sebagian anak-anak merengek-rengek minta ijin untuk merayakan keberkahan air yang tercurah dari langit, justru aku dengan bebas menari dibawah rinai hujan. Dari beranda rumah, ibu tampak tersenyum. 

Hari itu, di Februari yang berhias hujan. 


Usia sekolah menengah pertama, aku diajari memanjat pohon mangga di pekarangan rumah yang baru saja berbuah untuk pertama kali. Akhir putih biru aku diajari memompa sepeda. Terlihat aneh, tapi kado ulang tahun ayah selalu berkesan. 
    
Tujuh belas tahun. Kau bisa menebaknya, bukan? Ya. Aku diajak ke rumah Pak RT, Pak RW, kelurahan, kecamatan. KTP adalah jawabannya. Sah sudah aku menjadi salah satu warganegara yang sudah bisa menyalurkan suara di pemilihan umum. Kartu warna biru itu juga menjadi kartu sakti untuk mengurus segala keperluan. Surat Ijin Mengemudi adalah salah satunya. Tapi ayah tak kunjung membawaku untuk mengikuti ujian SIM C.
    
“Nanti, kalau sudah dewasa.”
   
 “Tujuh belas usia dewasa, Ayah.” 
    
“Masih remaja. Tunggu sampai dua puluh.” 
    
Mungkin itu jawaban untuk mengulur waktu karena tabungan ayah belum cukup untuk membeli sepeda motor baru.
 
Semuanya akan terealisasi di usia dua puluh. SIM C, naik motor, pacaran, nonton film bersama teman kuliah, apalagi? Banyak. Akan banyak sekali episode baru yang akan kulakukan nanti. Tak sabar menunggunya. 


    
Usia delapan belas. Ayah dan ibu mengajakku nonton film. Untuk pertama kali aku masuk gedung bioskop. Haha…terdengar lucu. Tapi itulah yang terjadi. Aku menonton film animasi besutan Disney. Sebuah catatan bersejarah untuk remaja yang hidup di abad dua puluh satu.
 
Setahun sebelum usia kepala dua. Ayah ibu membawaku nonton wayang orang. Pontang-panting aku memahami dialog para anak wayang. Ibu menerjemahkan. Pesan moral yang kutangkap, kebaikan akan mengalahkan angkara. Kesuksesan harus melewati ujian. Aku menikmatinya. 

Hidupku datar tapi bahagia. Kasih sayang berlebih tapi gelitik tanya muncul juga. Saat di luar teman-teman iri dengan bahagiaku, justru aku memimpikan kemarahan ayah, pukulan ibu, dan hukuman lain yang memberi warna hidupku yang bisa kuceritakan kelak nantinya.
 
“Tidak ada alasan untuk dipukul, dimarahi, atau dihukum.” Itu penjelasan ibu. 

Bagaimana jika suatu saat aku memberontak? Pasti aku akan kena marah, lalu dipukul. Bagaimana rasanya? Tapi…tunggu dulu. Aku tidak ingin melukai hati ayah dan ibu. Aku tidak ingin jadi jambu mede (haha…cerita jelang tidur yang masih kuingat, tidak masuk akal, tapi bisa saja terjadi). Aku takut kualat. 


Dua puluh dua Februari akhirnya menghampiri. Hari yang kutunggu. Seperti biasa, tak ada kue, tak ada ucapan ulang tahun. Tapi aku yakin, ayah telah menyiapkan kado.
 
Nduk!”
 
Dalem,” sahutku. 

Tak bisa kusembunyikan rasa bahagiaku sekaligus penasaran. Kulihat ayah dan ibu sedang bersantai di ruang tengah. Aku menghampirinya. Ayah berdiri tersenyum menyambut. Ah ayah, mengapa harus menyambutku. Aku bukan anak kecil. Tak kuduga, ... sekonyong-konyong….   

PLAK! PLAK! 
    
Aku tergagap. Tangan kekar itu dua kali melayang ke pipi. Panas, sakit! Kutarik nafas panjang, sekuat tenaga menguasai emosiku. Aku ingin marah, tapi mulutku terkunci rapat. Apa salahku?

Aku menunduk. Ujung mataku menangkap rona tenang ayah. Tidak amarah, tidak ada kesumat. Ada apa dengan ayah?
    
Nduk,…” suasana senyap. Degup jantung seakan lindap, siap untuk menerima pukulan lagi. 
   
“Ini adalah pertama dan terakhir kali ayah menamparmu. Setelah ini tak akan ada lagi. Kau telah dewasa. Sudah mampu membedakan hitam dan putih. Hidupmu ada di tanganmu. Apa pun yang akan kau lakukan menjadi tanggung jawabmu.” 

Usiaku telah dewasa. Aku mencerna kalimat ayah. Sangat dalam maknanya. 


Hari itu,  Februari yang memesona, aku mendapat kado dari ayah. Kado istimewa yang bisa kuceritakan kelak nantinya. Tapi kuceritakan sekarang. Padamu.

*** 
Nduk         : panggilan untuk anak perempuan (Jawa) 
Dalem       : saya (Jawa); biasanya digunakan untuk menjawab panggilan orang tua 

Semarang, Januari 2021