Selasa, 09 Februari 2021

# Cerita # Lomba

Hari Jadi Kota Ini

“Ada kue ulang tahun?”
“Mungkin.” 
“Ada badut?” 
“Barangkali.” 
“Tiup lilin?” 
“Entah.” 

Inah, bocah ingusan itu sepanjang jalan tak henti bertanya. Dalam batinnya, ulang tahun pastilah menyenangkan. Ada makanan, permen, balon warna-warni, pita-pita yang dipasang di atas ruangan. 

“Nyanyi lagu happy birthday?” 
“Bisa jadi.” 

Kali ini Inah mendesah, bibirnya manyun. Jawaban yang didapat hanyalah mungkin, barangkali, bisa jadi, angkat bahu, dan berakhir dengan dua kata: tidak tahu. 

Parti, bocah tengil kakak Inah, memang tidak tahu seperti apa pesta ulang tahun yang akan digelar di lapangan pusat kota. 
(dok. pribadi)

“Ada amplop?” Inah belum menyerah. Pertanyaan masih saja diajukan. 
“Amplop?” dahi Parti mengernyit. 
“Seperti di tivi.” 
“Acara apa? Sinetron?” 
“Acara artis-artis.” 
“Ada apa artis-artis?” 
“Kalau ulang tahun bagi-bagi amplop ke anak yatim.” 

Parti menarik nafas. Dia tidak bisa menjawab tumpukan tanya Inah. Tapi Inah nyatanya tak peduli. Dia tetap bertanya. 

“Siapa yang meniup lilin?” 
“Jangan tanya terus. Nanti lihat sendiri.” 

Parti mendesah. Semua tanya Inah, adalah tanyanya. Dia hanya melihat ulang tahun di tivi. Belum pernah merasakan seperti apa ulang tahun atau sekedar datang di pesta ulang tahun. Di kampung, ulang tahun adalah barang mahal. Mimpi. 

Pernah suatu kali Parti memohon untuk bisa merayakan ulang tahun seperti perayaan ulang tahun artis cilik di tivi yang dilihatnya. Pasti menyenangkan. Memakai gaun bak putri raja, mendapat kado, meniup lilin dan memotong tart berhias boneka. 

“Ulang tahun?” tanya Mak. 
“Ya, Mak. Ulang tahun.” Wajah Mamak sontak memerah. Dirayu-rayunya hati agar tidak memarahi Parti, “Tak ada ulang tahun untuk orang miskin, Parti.” 

Jawaban itu diingatnya. Parti diam. Dia sadar, tabu meminta sesuatu yang tak mungkin terwujud. Keinginan untuk ulang tahun seketika pupus. Sampai suatu hari pengumuman di baliho sudut lapangan kota membangkitkan bahagianya. Puncak perayaan ulang tahun kota akan digelar. Dia akan datang ke pesta itu. 

“Kapan?” tanya Mak
“Sekarang, Mak.” 
“Siapa yang ulang tahun? Siapa yang boleh datang?” 
“Kota ini, Mak. Semua boleh datang. Hadirilah puncak perayaan ulang tahun kota, begitu bunyi pengumumannya” 
“Kalau begitu, Mak ikut. Inah juga. Lumayan, bisa makan gratis.” Ah, Mak ternyata ingin menonton pesta ulang tahun juga. 

Suara musik sudah terdengar. Inah tak lagi bertanya. Matanya membulat. Kemeriahan seperti apa nanti? Lapangan pusat kota berubah menjadi lautan manusia. Saling dorong, saling sikut untuk bisa mengambil posisi dekat panggung. Beberapa artis ibu kota mengisi acara. Itu alasan utama penonton merapat maju. Bisa melihat artis dari jarak dekat. 

Sementara di atas panggung, permainan lampu sorot warna-warni dan alunan musik menjadi magnet tersendiri. Meski acara belum dimulai, tapi kemeriahan sudah tercipta. 

“Belum dimulai.” 
“Artisnya belum datang.” 
“Siapa saja.” 
“Banyak. Artis terkenal.” 

Mak senang. Kota memang jauh berbeda dengan kampung tempat mereka tinggal sebelumnya. Di kota ada ulang tahun, bisa ketemu artis. 

Pukul delapan, acara dimulai. Penonton berseru-seru. Penyanyi ibukota tampil. Sayang ketiganya tak bisa melihat jelas. Dari tempatnya berdiri, semuanya tampak kecil. 

Usai dihangatkan dengan lagu-lagu, bapak walikota naik pentas memberi sambutan. Tumpeng besar dikeluarkan, doa dilangitkan. Bapak walikota memotong tumpeng dan menyerahkan simbolis pada seseorang yang berdiri di sebelahnya. Tanpa aba-aba penonton menyanyikan lagu ulang tahun. Parti, Inah tak mau kalah. Suara kecil mereka tenggelam dalam gempita penonton. 

“Sudah potong tumpeng. Waktunya makan,” seru Mak. 
“Ayo makan,” mata Inah berbinar-binar. 

Parti, Inah, dan Mak beranjak menyusuri area luar lapangan mencari makanan. Gerobak dorong berjajar di pinggir lapangan. Nyaris tak ada bangku kosong. Sebagian penikmat malah duduk di tikar yang digelar di belakang gerobak. Aroma sedap memanggil. Mak berhenti di lapak soto. 

“Berapa, Bu?” 
“Tiga.” 
“Minumnya?” 
“Es teh.” 

Ketiganya tak sabar menyantap soto, sesaat setelah terhidang. Lahap. Lahap sekali. Dalam sekejap, soto dan es teh tandas. 
Panggung kembali digoyang alunan dangdut. Mak bersenandung lirih. Lagu favoritnya sedang dinyanyikan sang biduan. 

“Yuk, nonton lagi,” ajak Mak beranjak dari lapak soto. Parti dan Inah membuntuti. 

Baru beberapa langkah ketiganya terhenti oleh teriakan seseorang. 

“Hei, bayar dulu!” Lelaki itu berkacak pinggang.
Mak melotot kaget. 
Parti menyahut lantang, “Katanya pesta ulang tahun. Gratis. Tidak bayar!” 

Lelaki itu mengejar. Mak kaget, dicekalnya tangan kedua anaknya. Mengambil langkah seribu, lari sekencang-kencangnya. Lelaki itu terus mengejar, berteriak-teriak mengata-ngatai. Kasar sekali ucapannya Suaranya tenggelam di antara sorak sorai penonton. Tak ada yang peduli. Mak menerobos kerumunan, menyelinap di antara penonton mencari aman lalu memutuskan pulang. 

“Mengapa kita pulang?” tanya Inah. 
“Sudah malam,” sahut Mak. 
“Kalau pulang nanti-nanti, pasti dikasih amplop,” kata Inah. 
“Tidak ada amplop, Inah. Tidak ada bagi-bagi kue tart, tidak ada badut, tidak ada sulap,” Parti menyeka air mata. 
“Tidak ada makan gratis,” suara Mak tersendat. 

Malam pekat, langit berhias kembang api warna warni ditingkah riuh rendah teriakan suka cita. Ketiganya berjalan dalam sepi. Inah tak henti bertanya.

“Ini bukan ulang tahun, Inah. Namanya Hari Jadi. Makanya yang ada hanya nyanyi-nyanyi. Mengerti, Inah?”

Inah mengangguk. Tahu. 

“Tidak ada ulang tahun untuk kita, Inah.” Mak menimpali. Suaranya tercekat. 
***
Semarang, 9 Februari 2021




6 komentar:

  1. Berkat Inah aku jadi tau bedanya hari jadi dengan ulang tahun 😁

    BalasHapus
  2. Pupus sudah harapan untuk makan-makan hiks... Inah pasti sedih sekali nih.

    BalasHapus
  3. Iyaya, br nyadar kalo kota yg ulangtahun gak ada traktiran buat warganya 😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah... Enak ya kalau makan gratis barang sehari

      Hapus