Sabtu, 04 November 2017

Buya Hamka dengan Cinta

November 04, 2017 2 Comments


Berawal dari selembar foto dan sekilas cerita tentang sosok lelaki berkaca mata, berpeci hitam dan duduk di deret depan sambil membawa tongkat saat berkunjung ke Semarang, akhirnya saya mencari tahu sosok lelaki yang diceritakan ayahku. Dan setelah membuka buku pelajaran Sastra Indonesia, akhirnya saya menemukan catatan kecil tentang pria tersebut. Beliau, Buya Hamka.




Ketertarikan saya awalnya bukan dari karyanya melainkan dari namanya. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, HAMKA. Rasa penasaran pun membawa saya untuk membaca salah satu roman karya beliau, Dibawah Lindungan Ka’bah.

Setelah membaca beberapa tulisan dan kesan dari orang-orang di sekitarnya, rasanya tidak bisa menuliskan sosok Hamka hanya sebagai seorang penulis Mengapa? Karena Hamka juga dikenal sebagai ulama, cendekiawan, politisi, pejuang, pembaharu peradaban, sastrawan dan tentu saja seorang ayah yang hebat.

Buya Hamka lahir di Maninjau, 17 Februari 1908. Perjalanan hidupnya cukup berliku-liku. Pada usia belia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu. Belum genap 18 tahun, Hamka berangkat ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama. Secara khusus ayahnya memberi julukan Hamka, Si Bujang Jauh karena kegemarannya merantau. Tahun 1936, Buya Hamka memimpim Majalah Pedoman Masyarakat, di samping itu beliau juga membina Muhammadiyah Sumatera Timur.

Sebagai seorang penulis, Buya ikut mewarnai khasanah sastra Indonesia dengan karyanya antara lain : Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van Der Wijk, Di dalam Lembah Kehidupan, Menunggu Bedug Berbunyi, Tuan Direktur, Kenang-kenangan Hidup, Falsafah Hidup, Tasawuf Modern, Merantau ke Deli dan tulisan lain yang di muat di beberapa media seperti Pedoman Masyarakat, Dan tentu saja karya fenomenal Tafsir Al Quran 30 Juz yang diberi nama Tafsir Al Azhar.



Penyusunan Tafsir ini ternyata membekas di sanubari Hamka, karena mulai disusun pada saat Buya berada di tahanan. Namun justru Beliau berhasil menyelesaikan tafsir 28 juz, sementara 2 juz lainnya diselesaikan di luar tahanan.

Sebagai seorang ulama, kiprah Hamka untuk negara ini dan ummat Islam khususnya sangat besar. Da’wah beliau banyak ditunggu oleh jamaah, baik ceramah di masjid, juga di media elektronik RRI dan TVRI. Keulamaanya makin kokoh ketika musyawarah alim ulama seluruh Indonesia mengangkatnya menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia yang pertama, Juli 1975.




Media cetak pernah menulis pertanyaan sejumlah orang tentang resep Hamka menjadi pengarang yang produktif sampai hari tuanya. Beliau menjawab bahwa dasar kepengarangannya adalah cinta.

Mengutip Buya Menulis dengan Cinta (Republika 2002), Apa arti cinta bagi Hamka? 

Cinta tertinggi itu kepada Dia Yang Mahapengasih dan Mahapenyayang, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pandanglah alam dengan cinta dan berjuang dengan semangat cinta. Dengan begitu Anda akan berbalas-balasan cinta dengan Dia Pemberi Cinta. Cinta sejati adalah tatkala Anda memasuki gerbang maut dan bertemu dia, Almautu ayatu bi sadiq

Buya Hamka berpulang ke Rahmatullah pada hari Jumat, 24 Juli 1981. Tak kurang dari 118 karya yang ditulisnya. Meski Beliau telah tiada, namanya masih harum dan karyanya masih terus dibaca.

Meski hanya membaca kisah hidup beliau di mata putra-putri beliau, namun Buya Hamka adalah teladan. Beliau merupakan pribadi yang gigih, suka belajar dan suka mengajar, cerdas, humoris, tegas dalam pendirian dan pemaaf.


(sebagian tulisan bersumber dari buku Ayah, karya Irfan Hamka, tasyakuran Tafsir Al Azhar dan 73 tahun Buya Hamka- Suara Masjid dan Suplemen Tokoh Islam, Republika)