Kamis, 30 Desember 2021

Merayakan Kata

Desember 30, 2021 12 Comments
Seorang gadis duduk di sebuah café. Ditemani segelas kopi kekinian dan gawai, dia memegang sebuah buku : The Garden in The Plains, karya Agnes W. Havler. Dia menyempatkan diri mengabadikan aktivitasnya untuk dibagikan ke dunia maya. Mungkin dia ingin mengabarkan bahwa dia sedang membaca, lalu ia kembali menenggelamkan diri lagi dalam buku. Tidak peduli berapa halaman yang dia baca dan berapa lama dia menghabiskan waktu untuk beberapa lembar halaman buku yang ada dalam genggamnya. Namun yang jelas dia sedang merayakan kata, yakni membaca. 
Merayakan kata dengan membaca (foto: Dhedhe Dirgawijaya)

Dalam situasi yang berbeda, saya pun turut merayakan kata. 

Di tengah terkendalanya berbagai aktivitas, ternyata kegiatan literasi denyutnya semakin terasa. Begawan kata turun gunung dengan memanfaatkan fasilitas dunia maya untuk bertatap muka dengan pembaca. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, tak hanya bertatap muka mereka juga membagi ilmu seputar kepenulisan dan promosi buku. Saya, dan mereka yang haus ilmu terpuaskan dahaga. Bersamaan dengan itu muncul kelas-kelas menulis, bincang literasi, baik berbayar atau gratis. Lomba menulis digelar, dibarengi lahirnya buku-buku baru. 

Literasi beresonansi. 
Saya mengulik buku, buku-buku baru dan mengulang membaca buku lawas. Tak sebatas buku, beberapa artikel surat kabar yang tertumpuk dan sebatas dikoleksi, menjadi bacaan yang mengenyangkan. Ada keasyikan tersendiri. 
Dari membaca, saya pun akhirnya merambah belajar menulis. Ilmu yang saya peroleh dari kelas literasi, menggiring saya untuk mengasah kemampuan membaca menulis. Menuliskan kegelisahan, berbagi tips dan pengalaman, atau belajar merangkai kata dan menatanya menjadi sebuah cerita. Pendek saja, tapi memuaskan saya. Ternyata kegiatan ini mengasyikkan, menggembirakan dan menimbulkan rasa ketagihan. Membaca lagi dan menulis lagi. 
foto : Dhedhe Dirgawijaya

Rasanya tak pernah ada rasa sesal apabila akhirnya saya tersesat dalam rimba belantara kata. Semakin banyak membaca, nyatanya semakin saya sadar bahwa masih banyak yang belum saya ketahui. 

Saya turut merayakan kata, sejalan dengan apa yang ditulis oleh Sena Gumira Ajidarma, 

........
Saya kira itulah cara yang baik untuk merayakan keberadaan kata, di tengah dunia yang lebih sering tak sadar bahwa kata itu ada, sehingga menyia-nyiakannya. Namun menulis bukanlah satu-satunya cara, karena masih ada cara lain untuk merayakannya, yakni membacanya.

Dan JNE turut ambil bagian dalam memajukan literasi Indonesia, mengantar buku-buku dan memastikan buku sampai pada pembaca

 

Kamis, 23 Desember 2021

Sang Ahli Waris

Desember 23, 2021 2 Comments


Cukup jemur seminggu sekali
Itu perintah pertama Nyi. J-e-m-u-r. Hah! Seperti ikan asin. 

Jangan di bawah sinar matahari langsung. 
Itu perintah kedua. Agak membingungkan. Jemur, tetapi tidak di bawah sinar matahari langsung. Apa namanya? 

Angin-anginkan saja di luar. 
Aku menanti perintah selanjutnya sembari mengingat-ingat. 

Senin waktu yang tepat. 
Ada tujuh hari dalam seminggu, mengapa harus memilih Senin untuk menjemur? 

Jangan lupa asapi dengan ratus. 
Apalagi ini? Dia hanya benda mati yang tak butuh wewangian untuk menarik hati siapa pun. Bisa jadi aku mabuk mencium wangi ratus. 

Simpan di tempat kering. 
Aku bosan mendengar perintah tak masuk akal itu. 

Perlakukan dengan baik. 
Itu perintah ketujuh. 

Ia sangat berharga. 
Ini bukan perintah, melainkan pemberitahuan. 

Dia dapat merasakan perlakuanmu. 
Aku bergidik. Memang apa kehebatannya? Ia tetaplah benda mati. 

Kupasarhkan padamu, rawatlah ia. 
Perintah kedelapan sekaligus penutup. 





Aku benci menjadi ahli waris. Jika harta yang diwariskan, tentu aku tak mengomel. Sayang, Nyi tidak punya harta berlebih untuk dia bagikan. Beliau tidak mewariskan apa pun, kecuali topeng. Benda bisu yang sangat dia sayangi. 

Nyi adalah panggilanku untuk Nenek. Nyi Salimah. Kata orang dan aku pun mengakui, Nyi Salimah adalah penari topeng dan tari topeng adalah Nyi Salimah. Dua sisi yang berkait, tidak bisa dipisahkan. Nyi adalah maestro. Tak hanya di dalam negeri, beliau bahkan pernah mencicipi empat musim di negara manca sebagai duta seni. Hidup Nenek untuk menari topeng. 

Aku? Sepertinya aku tinitah sebagai ahli waris tari topeng. Darah seni itu mengalir dari Nyi. Seharusnya Ibu yang mewarisi keluwesan berjoget, tetapi ternyata tidak. Tubuh Ibu berotot akibat ditempa kerja berat sejak kecil. Ibu memang bisa menari tapi jauh dari kata “luwes”

“Bagaimana Ibu bisa luwes menari luwes seperti Nyi? Tiap hari harus berjalan jauh mencari air, lalu memikul ember besar. Masih ditambah pekerjaan rumah bertumpuk. Ibu lebih cocok jadi atlet angkat besi daripada menari,” kata Ibu sembari memperlihatkan lengan kekarnya. 

Darah seni memang tidak terpaut gen. Alunan gending adalah santapan harian sejak aku keluar dari rahim Ibu. Gemulai badan Nyi dan amak-anak asuhnya adalah pemandangan yang sering kulihat. Tak mengherankan jika langkah kaki, lenggok badan, dan gerak tanganku saat belia bisa menjadi pertanda kelahiran maestro baru. 

Aku bertumbuh bersama tari topeng. Bahkan aku tidak mengawali pementasan pertama di pentas tujuh belasan kampung. Justru di negeri oranglah pertunjukan perdanaku. Sepertinya Nenek memang ingin mengabarkan pada dunia bahwa jejaknya yang segera surut telah tergantikan oleh kelahiran calon penari andal. Cucunya. 

Tak ada yang meragukan kepiawaian Nyi. Nyi sangat menjiwai setiap gerakan, selaras dengan topeng yang dia kenakan. Karakter topeng padu dengan olah tubuhnya. Di atas panggung, dia memainkan berbagai peran. Menjadi wanita lembut gemulai bahkan angkuh penuh angkara, bergantung pada topeng yang dia pakai. 

Tak mengherankan pula pada usia senja Nyi belum tergantikan. Saat tubuh rentanya tak memungkinkan terus menari, dia berharap ada penerus tari topeng. Harapannya terkabul. 

“Tapi tak mudah menjadi penari seperti Nenek. Orang bilang apa? Metro?” 

“Maestro. Mengapa?” 

“Tidak cukup gerak badan. Kau harus memahami jiwa topeng yang kau kenakan.”

“Apakah topeng punya nyawa?” Nyi geleng-geleng kepala mendengar pertanyaanku. 

 Kata Nyi, topeng-topeng itu peka. Bergidik aku mendengarnya. Berarti mereka hidup. 

“Bukan hidup seperti manusia. Angel. Susah menjelaskan,” ujar Nyi sebal. Aku tetap bebal. 

Nyi memperlakukan topeng secara istimewa. Dia angin-anginkan, dia lap, dia teliti setiap lekuk, lalu diasapi dengan ratus. Saat memandang topeng-topeng, Nyi seperti sedang berbicara dengan benda bisu itu. 
    
Aku tidak tahu mengapa Nyi sangat menyayangi topeng-topeng itu. Mungkin sebagai wujud hormat dan cinta pada gurunya, Sulastri, yang telah mewariskan topeng itu. Itulah topeng-topeng yang Nyi gunakan sebagai modal menari sampai menjadu seterkenal sekarang. Itulah caranya membalas budi. 
    
“Hanya kau satu-satunya ahli waris yang mampu melanjutkan kesenian ini. Sayang jika dibiarkan punah.” 
   
“Tapi aku tidak bisa seperti Nyi, melakukan ritual-ritual seram. Aku tidak bisa berbicara dengan benda mati. Mistis. Syirik. Aku hanya bisa menari. 
    
Nyi mendelik dikatakan melakukan ritual mistis, syirik, menduakan Yang Kuasa. 
    
“Menari topeng bukan sekedar menggerakkan tubuh mengikuti irama. Tarian kita harus laras dengan topeng yang kita pakai. Topeng ini wujud angkara murka. Topeng itu harus kautarikan dengan kelembutan,” ujar Nyi sambil menunjuk topeng-topeng bisu itu. 

Aku mengangguk saja. Biarlah topeng-topeng itu menjadi urusan Nyi. Aku menari saja. 
  
“Aku tidak sedang mengajarimu perkara mistis, syirik. Aku hanya ingin topeng ini tetap terawat, terjaga. Itu saja.” 

 **

Kini Nyi tinggal kenangan. 

“Lakukan saja apa kata Nyi,” kata Ibu, beberapa hari setelah Nyi berpulang. 

“Tapi urusan topeng itu aku tidak bisa. Ada aura mistis. Aku tidak mau.” 

“Kau yang menari, mewarisi Nyi. Kau pula yang harus merawat topeng topeng warisan Nyi. Itu juga yang Nyi lakukan,” kata Ibu. 

“Bagaimana kau bisa memadukan tari dan topeng jika tak merawatnya.” 

Dia bisa merasakan perlakuanmu

Aku mengingat kembali kata-kata Nyi. Padahal, dibanting pun topeng itu tidak bisa marah. Ah, banyak sekali perlakuan untuk topeng-topeng itu. Seketika aku membenci diri sendiri. Benci karena harus menjadi sang ahli waris. 
**
Pentas mulai ramai. Tari topeng tetap berdenyut, meski tanpa Nyi. Tepuk tangan, decak kagum, dan pujian pada setiap pementasan tentu bukan semata-mata milikku. Sebagian besar untuk mengenang Nyi, karena sang pembawa acara berulang-ulang menyebut nama Nyi. 

Hari berlalu cepat. Aku teringat pesan Nyi. Beberapa tahun setelah Nyi berpulang, tak pernah sekali pun aku melakukan ritual seperti perintah Nyi. Aku hanya menyimpan topeng-topeng itu dalam kardus mi instan di pojok kamar. 

Selama ini aku hanya menggunakan satu topeng kesayangan Nyi untuk latihan dan pentas. Topeng yang sama untuk karakter yang berbeda. Aneh. Namun aku tidak memedulikan. Cukup topeng itu. Penonton tidak melihat topeng, tapi menikmati tarian. 

“Ada yang tidak laras dalam pertunjukanmu,” kata Ibu suatu hari. 
Tidak laras?Aneh. Maksudnya? 

“Topengmu. Itu-itu saja yang kau pakai. Apa itu laras?” Aku tahu, tapi enggan peduli. 

“Jika ingin sebesar Nyi, kau pun harus sepandai Nyi. Bukankah Nyi telah mengajari bahwa karakter tari harus padu dengan topengnya?” 

Mungkin itulah mengapa orang mencibirku. Sang ahli waris yang bodoh. Tidak pernah ganti topeng. Padahal Nyi mewariskan banyak topeng. 

Siapa tidak ingin menjadi maestro seperti Nyi? Aku ingin mengulang kejayaan Nyi. Merambah seluruh Nusantara dan menjamah negara manca dengan menari. Sejak kepergian Nyi, aku hanya berputar dari acara perkawinan ke acara hajatan lain. 

“Belajarlah membedakan karakter tari. Menyelaraskan topeng dan gerakan. Lihatkan foto Nyi pada setiap pertunjukan. Cermati!” 

Meski tidak luwes menari, Ibu ternyata pengamat tari yang hebat. Ada benarnya juga kata-kata Ibu. Aku harus belajar memahami topeng, bukan sekedar menari. 

Segera kubuka kardus di pojok kamar. Bau apak menguar. Aku terbatuk. Satu topeng kuambil, catnya pudar dan mengelupas sebagian. Pada topeng lain kulihat ada bagian yang berlubang karena ulah kawanan renik. 

Kuangkat dua kardus ringan itu ke halaman agar lebih jelas mengamati topeng-topeng Nyi. Bagian bawah kardus ambrol. Terdengar suara aneh. Kawanan makhluk kecil lalu-lalang. Rayap! Makhluk pelahap kayu itu mengahncurkan topeng-topeng Nyi. Proses pelapukan dan kawanan rayap mengantarkan benda itu ke jurang kemusnahan. 

Wajahku pucat. Ibu yang sejak tadi memperhatikan lirih bersuara. 

“Ritual yang Nyi lakukan pada topeng-topeng itu bukan perkara mistis.” Ibu sedang menguliti kebodohanku. 

Ibu menjabarkan satu per satu dari delapan perinyah Nyi, mengingatkanku pada wasiat Nyi yang kuabaikan. 

“Tidak jemur di bawah terik matahari dan cukup diangin-anginkan agar cat topeng tidak cepat rusak. Topeng itu harus diangin-anginkan karena lembab terkena keringat, uap air, dan riasan saat pentas. Jika engkau menjemur hari Minggu, maka tentulah badanmu lelah setelah malam hari pentas. Maka Nyi meminta kau menjemur hari Senin karena telah cukup istirahat.” 

Ibu meneruskan penjelasannya. 

“Itulah mengapa Nyi minta kau simpam di tempat kering serta kau asapi untuk mejaga kayu itu tetap utuh, tak dimakan hewan kecil atau menunda lapuk termakan usia. Perlakuan Nyi selama ini bukan kesyirikan. Bau wangi ratus itu pun untuk mengusir binatang kecil, mengurangi bau tak sedap.” 

Nyi yang buta huruf ternyata wanita cerdas. 

“Kau tidak pernah merawat. Abai pada perintah Nyi.” 

Ruangan senyap. 

“Kini topeng-topeng itu membalas perlakuanmu,” Ibu mendengus, kecewa. 

Aku terpaku memandang topeng-topeng yang membisu itu. Menunggu waktu untuk membuangnya dan tinggal menyisakan kenangan. 
***

Dimuat di Suara Merdeka, 24 November 2019