Sabtu, 16 Januari 2021

Kado Ulang Tahun dari Ayah

Januari 16, 2021 33 Comments
Cerpen

Tak ada sejumput keberanian menatap wajahnya. Tapi ujung mataku sempat menangkap air mukanya. Wajahnya tampak tenang. Tidak ada amarah yang diluapkan. Tidak ada kesumat yang dilampiaskan. Lalu tamparan tangan yang baru saja melayang di pipiku, apa artinya? Sakit.Tapi sesaat kemudian justru ada yang lebih menikam, meninggalkan gurat dalam. Bak prasasti, yang akan selalu kuingat. 

Hari itu, di Februari yang hujan, di dua puluh tahun usiaku. 

foto: Pixabay

Kau kenal ayahku? Coba kuceritakan sedikit saja. Karena terlalu banyak kata untuk menggambarkannya. Ayahku adalah lelaki istimewa dalam hidupku. Beruntung sekali ibu mendapatkan lelaki terbaik di dunia. Lelaki yang memenuhi seluruh kriteria sebagai pasangan hidup. Spesial. Begitulah kira-kira ibu menyebutkan sosok ayahku. 

Bagiku, putri tunggalnya, ayah adalah sosok teladan. Jika ibu menyebut beliau sebagai lelaki nomor satu di dunia, maka aku pun tak segan untuk mengalungkan predikat padanya sebagai ayah nomor satu di dunia. 
    
Ayahku adalah narasi tentang bahagia. Bahkan nyaris tak menyisakan ruang untuk kesedihan saat berada dalam bimbingannya. Andai aku seorang yang piawai menulis, maka akan kutuliskan setiap momen bersama ayah. Mungkin akan menghabiskan berlembar kertas, atau bisa saja sampai tersusun menjadi sebuah buku. Sebuah cerita tentang bahagia.

*
"Dua puluh, Ayah. 22 Februari nanti.” 

"Aih…sudah dewasa anak ayah. Sudah adakah pria yang kelak akan menggantikan tanggung jawab ayah?” pertanyaan ayah mulai mengarah pada sosok. Sebut saja pacar. Ayah senyum-senyum kecil. Ah ayah, bukankah aku belum boleh berpacaran? 
    
Aku menggeleng. Naksir-naksir sih, pernah. Sekedar digombalin sering. Tapi belum waktunya. Belum kukantongi surat ijin pacaran. 
    
“Kadonya apa,ya?” tiba-tiba ayah bertanya sembari mengetuk-ketuk ujung telunjuknya ke kening. Pertanyaan rutin jelang pertambahan usiaku. Artinya, ayah akan memberi kado tepat di ulang tahunku. Aku selalu gembira mendengar kata kado ulang tahun. Mengapa? Karena kado ulang tahun dari ayah selalu berkesan. 
   
Di ulang tahun pertamaku, aku mendapat kado boncengan sepeda yang diletakkan di stang. Konon, aku selalu menunjuk benda itu. Merengek-rengek minta dibawa keliling kampung naik sepeda. 

Ulang tahun kedua? ketiga? tahun-tahun berikutnya? Ah, ibu lupa mencatat hadiah apa yang diberikan ayah untukku. Tapi dari cerita ibu, ayah selalu memberi kado tiap pertambahan usiaku. 
    
Saat sekolah dasar dan mulai tahu bahwa ulang tahun adalah momen meniup lilin, mendapat kado, memotong kue atau nasi tumpeng yang sangat kudambakan, justru ayah mengagendakan acara yang menyenangkan. 
    
Nduk!” panggil ayah. 

Aku menghampiri tapi ragu-ragu melangkah karena di luar hujan menderas. Kau tahu? Hadiah ulang tahunku : Hujan-hujanan. Saat sebagian anak-anak merengek-rengek minta ijin untuk merayakan keberkahan air yang tercurah dari langit, justru aku dengan bebas menari dibawah rinai hujan. Dari beranda rumah, ibu tampak tersenyum. 

Hari itu, di Februari yang berhias hujan. 


Usia sekolah menengah pertama, aku diajari memanjat pohon mangga di pekarangan rumah yang baru saja berbuah untuk pertama kali. Akhir putih biru aku diajari memompa sepeda. Terlihat aneh, tapi kado ulang tahun ayah selalu berkesan. 
    
Tujuh belas tahun. Kau bisa menebaknya, bukan? Ya. Aku diajak ke rumah Pak RT, Pak RW, kelurahan, kecamatan. KTP adalah jawabannya. Sah sudah aku menjadi salah satu warganegara yang sudah bisa menyalurkan suara di pemilihan umum. Kartu warna biru itu juga menjadi kartu sakti untuk mengurus segala keperluan. Surat Ijin Mengemudi adalah salah satunya. Tapi ayah tak kunjung membawaku untuk mengikuti ujian SIM C.
    
“Nanti, kalau sudah dewasa.”
   
 “Tujuh belas usia dewasa, Ayah.” 
    
“Masih remaja. Tunggu sampai dua puluh.” 
    
Mungkin itu jawaban untuk mengulur waktu karena tabungan ayah belum cukup untuk membeli sepeda motor baru.
 
Semuanya akan terealisasi di usia dua puluh. SIM C, naik motor, pacaran, nonton film bersama teman kuliah, apalagi? Banyak. Akan banyak sekali episode baru yang akan kulakukan nanti. Tak sabar menunggunya. 


    
Usia delapan belas. Ayah dan ibu mengajakku nonton film. Untuk pertama kali aku masuk gedung bioskop. Haha…terdengar lucu. Tapi itulah yang terjadi. Aku menonton film animasi besutan Disney. Sebuah catatan bersejarah untuk remaja yang hidup di abad dua puluh satu.
 
Setahun sebelum usia kepala dua. Ayah ibu membawaku nonton wayang orang. Pontang-panting aku memahami dialog para anak wayang. Ibu menerjemahkan. Pesan moral yang kutangkap, kebaikan akan mengalahkan angkara. Kesuksesan harus melewati ujian. Aku menikmatinya. 

Hidupku datar tapi bahagia. Kasih sayang berlebih tapi gelitik tanya muncul juga. Saat di luar teman-teman iri dengan bahagiaku, justru aku memimpikan kemarahan ayah, pukulan ibu, dan hukuman lain yang memberi warna hidupku yang bisa kuceritakan kelak nantinya.
 
“Tidak ada alasan untuk dipukul, dimarahi, atau dihukum.” Itu penjelasan ibu. 

Bagaimana jika suatu saat aku memberontak? Pasti aku akan kena marah, lalu dipukul. Bagaimana rasanya? Tapi…tunggu dulu. Aku tidak ingin melukai hati ayah dan ibu. Aku tidak ingin jadi jambu mede (haha…cerita jelang tidur yang masih kuingat, tidak masuk akal, tapi bisa saja terjadi). Aku takut kualat. 


Dua puluh dua Februari akhirnya menghampiri. Hari yang kutunggu. Seperti biasa, tak ada kue, tak ada ucapan ulang tahun. Tapi aku yakin, ayah telah menyiapkan kado.
 
Nduk!”
 
Dalem,” sahutku. 

Tak bisa kusembunyikan rasa bahagiaku sekaligus penasaran. Kulihat ayah dan ibu sedang bersantai di ruang tengah. Aku menghampirinya. Ayah berdiri tersenyum menyambut. Ah ayah, mengapa harus menyambutku. Aku bukan anak kecil. Tak kuduga, ... sekonyong-konyong….   

PLAK! PLAK! 
    
Aku tergagap. Tangan kekar itu dua kali melayang ke pipi. Panas, sakit! Kutarik nafas panjang, sekuat tenaga menguasai emosiku. Aku ingin marah, tapi mulutku terkunci rapat. Apa salahku?

Aku menunduk. Ujung mataku menangkap rona tenang ayah. Tidak amarah, tidak ada kesumat. Ada apa dengan ayah?
    
Nduk,…” suasana senyap. Degup jantung seakan lindap, siap untuk menerima pukulan lagi. 
   
“Ini adalah pertama dan terakhir kali ayah menamparmu. Setelah ini tak akan ada lagi. Kau telah dewasa. Sudah mampu membedakan hitam dan putih. Hidupmu ada di tanganmu. Apa pun yang akan kau lakukan menjadi tanggung jawabmu.” 

Usiaku telah dewasa. Aku mencerna kalimat ayah. Sangat dalam maknanya. 


Hari itu,  Februari yang memesona, aku mendapat kado dari ayah. Kado istimewa yang bisa kuceritakan kelak nantinya. Tapi kuceritakan sekarang. Padamu.

*** 
Nduk         : panggilan untuk anak perempuan (Jawa) 
Dalem       : saya (Jawa); biasanya digunakan untuk menjawab panggilan orang tua 

Semarang, Januari 2021