Senin, 25 November 2019

Guruku Tersayang, Mbah Di

November 25, 2019 2 Comments
Guruku tersayang, guruku tercinta, tanpamu apa jadinya aku... 
Potongan lagu di atas mengingatkan saya pada sosok istimewa yang ikut berperan mendidik saya selain orang tua dan bapak ibu guru di sekolah. Beliau bernama Mursidi. Saya memanggilnya dengan Mbah Di. Panggilan Mbah Di Kakung untuk sosok pria sepuh dengan senyum menawan, dan Mbah Di putri untuk wanita cantik, istrinya. 
Selepas pensiun dari kepolisian, beliau mengabdikan diri sepenuhnya untuk mendidik masyarakat, khususnya di bidang keagamaan. Keinginannya terwujud dengan berdirinya mushola kecil di halaman rumahnya Mushola yang letaknya di belakang stasiun Poncol itu akhirnya berdiri. Tidak mewah, namun sangat bersahaja. 
Perlahan mushola Mbah Di- demikian kami menyebutnya- mulai ramai dipenuhi jamaah. Selain sholat 5 waktu, mushola diperuntukkan untuk mengaji dan kegiatan remaja masjid. Saya pun menjadi salah satu murid ngaji. Sebenarnya, ayah saya pun mengajar mengaji. Tapi kami harus mengaji di Mbah Di. Ngenger ngaji istilahnya. Karena jika diajar orang tua sendiri, ujung-ujungnya manja. Maka jadilah saya dan saudara-saudara mengaji di mushola Mbah Di selepas maghrib sampai menjelang Isya. 

Cerita mengasyikkan terjalin selama ngenger ngaji. Jika adzan maghrib telah berkumandang, kami berlarian menuju mushola yang hanya berjarak 50 meter dari rumah. Mengempit kain jarit dan taplak meja. Kain jarik digunakan untuk mukena dengan disemat peniti di sana sini. Taplak meja sulaman ibu untuk sajadah. Mukena dan sajadah “beneran” adalah barang mahal saat itu. Hanya orang berada yang bisa membeli mukena putih dan sajadah beludru bergambar Ka’bah. 
Saya paling anti berada di shaf wanita terdepan. Mengapa? Karena saya harus bersanding dengan Mbah Di putri. Artinya sholat harus serius, tidak boleh gojek bercanda. Tapi ada kalanya mendapat kesempatan sholat di shaf belakang, 
Polah tingkah anak-anak pada saat itu muncul juga. Sholat sambil nggremeng mengikuti bacaan imam, atau sholat ala anak-anak, tak ada seriusnya. Kalau sudah begini, hmmm... kira-kira tahu sendiri kan, senjata Mbah Di akan bicara usai sholat nanti. 
Oiya, senjata Mbah Kakung adalah rotan sepanjang kira-kira 1 meter. Jika anak-anak ramai saat sholat, maka sambitan rotan disematkan sebagai tanda cinta. Tak hanya itu, saat mengaji pun tanda cinta sering menghampiri. Jika ndarus teralihkan dengan bercanda dan berakibat kami tak bisa setor bacaan dengan baik, maka tongkat ajaib itu pun akan menyapa. Bayangkan bagaimana rasanya disambit tanda cinta. Sakit! Bukannya jera, kami malah harap-harap rindu. Buktinya, kami tetap bercanda untuk berharap sambitan. 
Kenakalan ala anak-anak makin bervariasi. Terkadang bermain kentongan besar (penanda waktu sholat, sebelum kumandang adzan), ikut menggerak-gerakkan badan saat sholat karena ada kereta lewat dan getarannya sangat terasa saat itu, membaui siwak yang dipakai beliau, berlari-larian di halaman masjid sampai keringatan, atau saling ciprat saat berwudhu. 
Setali tiga uang, Mbah Di putri pun memiliki senjata ampuh saat mengajar mengaji. Jika kami tidak ndarus sehingga bacaan kami sering salah, bambu seukuran jari kelingking dengan panjang kira-kira 30 cm menjadi alat kejut yang mengagetkan. Jika tuding –begitu saya menyebutnya- sudah diketuk-ketukkan ke meja, pertanda bacaan yang kami setor salah. Tak jarang tuding menghampiri jemari alias kena sambit. Bukannya jera, esoknya memang kami ndarus tapi lusa bercanda lagi. Selain alat sambit yang menjadi momok yang dirindukan, Mbah Di ibarat jam weker di bulan Ramadhan. Saat listrik telah terpasang, suasana bulan puasa semakin berkesan tatkala suara Mbah Di mulai terdengar. Suara lantang beliau membangunkan orang-orang untuk sahur, bersiap memasuki waktu imsak serta lekuk suara mengaji menjelang buka puasa. 

Waktu berlalu, tahun berbilang. Mushola kecil itu telah bersalin menjadi masjid yang bagus dengan tembok kokoh. Sebagian orang masih ada yang menyebut dengan mushola Mbah Di, meski namanya adalah Masjid Baitul Muslimin. Sementara si empunya telah berpulang beberapa tahun silam. 
Meski telah berpulang kiranya tidak putus kebaikan yang telah ditebarkannya. Ilmu yang diajarkannya, tempat ibadah sebagai amal jariyahnya serta doa anak, cucu serta murid-muridnya. Sambitan tongkat beliau yang dulu menjadi momok, ternyata baru kami tahu hikmahnya kini. Sambitan itu bukan hukuman, tapi bentuk kasih sayang. Andai saja beliau tidak menyambit, mungkin kami akan menjadi pribadi manja serta terlalu berleha-leha. 

Semoga Allah merahmati guru kami, Mbah Di kakung dan putri. Aamiin

#SelamatHariGuru2019

Rabu, 25 September 2019

Berkarib dengan Buku

September 25, 2019 2 Comments
Ferdin, sahabat kecil saya, siswa kelas 8 sibuk memilih buku cerita yang akan dipinjamnya. Saat itu buku-buku saya tertata di buffet. Setelah beberapa saat, dia tidak menemukan buku bacaan yang dia inginkan. 
“Enggak ada yang tipis, ya?” tanyanya sedikit kecewa. Tak ada buku yang diinginkannya. 

Dua hari berselang, dengan wajah sumringah dia kembali memilih buku. Dipilihnya Totto-chan Gadis Cilik di Jendela. Buku berhalaman 271 itu langsung masuk tas. Pinjam untuk melengkapi tugas sekolah, katanya. Seminggu kemudian buku itu dikembalikan. 
“Sudah dibaca?” antusias saya bertanya.
“Belum,” jawabnya singkat. 

Usut punya usut ternyata buku itu hanya untuk diperlihatkan kepada guru Bahasa Indonesia. Dia memang menyelesaikan tugas membuat ringkasan buku dan bisa menunjukkan buku yang diringkasnya. Sayangnya esensi tugas tersebut yaitu membaca, tidak pernah dilakukan. Ringkasan yang ditulisnya diunduh dari dunia maya. 
Bulan berikutnya dia melakukan hal yang sama. Meminjam buku cerita, lalu kembali mencari ringkasan cerita di dunia maya. Dan hal itu dirasa cukup untuk menuntaskan tugas Bahasa Indonesia. Tugas selesai, mendapat nilai. Itu saja cukup.

Lain lagi cerita Rama. Di antara tumpukan buku yang kini saya letakkan di rak, dia menemukan buku cerita tipis, Legenda Danau Toba. Esoknya buku itu dikembalikan, tugas meringkas isi cerita pun diselesaikan dengan baik, tanpa mengunduh dari jagad maya. Dia pun berinisiatif meminjam buku cerita (tipis) lagi agar bisa menyelesaikan tugas literasi. 

Tidak hanya Ferdin dan Rama. Ternyata minat baca di sekitar tempat tinggal saya sangat memprihatinkan. Beberapa anak yang datang dan meminjam buku untuk tugas literasi, rata-rata meminjam buku dengan jumlah halaman tidak lebih dari 25 halaman dan lebih menyukai buku bergambar, meskipun buku seperti itu lebih tepat untuk anak sekolah dasar. Sementara di kalangan remaja, membaca buku tidak mendapat perhatian. Mereka lebih berminat dengan aneka kejadian yang ada di gawai mereka.

Membudayakan membaca terutama di lingkungan kampung memang bukan pekerjaan mudah. Sebagai bagian dari masyarakat, saya pribadi mencari cara untuk menularkan kegemaran membaca kepada sobat kecil saya khususnya dan masyarakat di sekitar pada umumnya.

Pamer Buku 
Buku yang saya simpan di buffet, akhirnya saya keluarkan dan ditata di rak besar. Konsekuensi kotor dan berdebu tak jadi masalah, karena tamu yang berkunjung atau anak-anak yang datang akhirnya  melirik tumpukan buku, membaca judul, membuka halaman, lalu bertanya tentang isi buku. Sementara majalah anak-anak saya biarkan berserakan, dan anak-anak bisa memilih mana majalah yang akan dibacanya.

Bercerita
Teman saya, Winda dan Aan Wulandari menyedekahkan buku dan majalah. Bagi anak-anak yang lancar membaca, dengan mudahnya memilih dan membaca. Namun bagi anak-anak yang belum bisa membaca, biasanya akan tertarik pada gambar. Khusus anak-anak seperti ini, biasanya saya akan membacakan isi cerita. Tentu saja dengan ekspresi yang meyakinkan agar anak-anak mudah memahami. Di akhir cerita, saya menanyakan kembali isi cerita sesuai dengan potongan gambar. Meski pada akhirnya buku itu dibawa oleh mereka dan tidak dikembalikan. Tapi cara ini bisa jadi sebagai pengenalan anak pada buku.

Promo Buku 
Tidak semua orang mampu membeli buku yang bisa dibilang lumayan mahal. Untuk menarik minat baca, saya mempromosikan buku kepada tetangga yang punya minat baca tinggi, namun harus berhitung dengan kebutuhan rumah tangga. Novel-novel tebal yang tidak banyak diminati anak untuk tugas literasi, nyatanya lahap dibaca oleh para bunda. Saya memfoto beberapa buku, lalu saya tawarkan mana yang akan dipinjam. Sekali pinjam 1 buku, setelah selesai dibaca dan dikembalikan boleh meminjam lagi. Demikian seterusnya. Jika bundanya rajin membaca, maka boleh jadi anaknya pun tertular virus membaca.

Nyangking Buku
Meski terbilang kurang keren, tapi nyangking buku (membawa buku) setiap bepergian nyatanya bermanfaat dan super keren. Setiap bepergian, masukkan satu buku dalam tas. Bisa buku yang belum tuntas dibaca, bisa juga buku yang sudah berulang kali dibaca. Di sela menunggu antrean atau sembari menunggu teman, memanfaatkan waktu dengan membaca buku bisa menjadi pilihan tepat di tengah maraknya aktivitas di dunia maya.
Menukil iklan tempo dulu, jangan tinggalkan rumah tanpa dia, maka jangan tinggalkan rumah tanpa membawa buku.

Salam Literasi

#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga

Senin, 02 September 2019

Nyemprong, Alternatif untuk Sakit Gigi

September 02, 2019 2 Comments
Dalam sebuah lagu bang Meggy Z pernah berdendang, daripada sakit hati lebih baik sakit gigi ini…. Tapi sebenarnya dua-duanya tidak ada yang lebih baik. Sakit gigi yang katanya lebih baik itu nyatanya menyiksa. Tidur terasa cenut-cenut, makan tak nyaman, aktivitas terganggu. Padahal hanya satu gigi yang bermasalah. Sakit pol, engga setengah-setengah. 
Solusinya sebenarnya mudah. Dibawa ke dokter gigi. Ditambal atau cabut sekalian. Tapi masalahnya saya memang takut ke dokter. Ngeri membayangkan gigi saya turun tahta. 
Di sela-sela merayu diri sendiri agar mau ke dokter gigi, eh teman saya, Yani menawarkan untuk mengantar saya terapi Nyemprong. Apa????!!!! 
Yani pun bercerita. Giginya berlubang. Didiamkan, sakitnya makin menjadi. Cekut-cekut katanya. Dia pun mengikuti saran temannya untuk terapi semprong/ nyemprong. Tidak sakit, tak butuh waktu lama, dan biaya terjangkau. Hasilnya? Sejak nyemprong, giginya tak sakit lagi. Akhirnya saya ikuti juga anjuran Yani, menjajal terapi Nyemprong
Piranti Nyemprong
Ternyata nyemprong yang saya bayangkan (menggunakan semprong kaca penutup lampu teplok) beda dengan nyemprong gigi. Piranti yang digunakan cukup sederhana. Batok kelapa yang dilubangi lalu diberi bambu kecil, kreweng (pecahan genting), minyak klentik, batu bata untuk alas kreweng, dan biji terong ngor atau terong susu. Biji terong ngor diperoleh dari daerah Sragen, sementara biji terong susu diambil dari daerah Bandungan. 
Wadah air dan batu bata alas kreweng

Biji Terong Ngor
Mula-mula kreweng dipanaskan di bara arang. Sambil menunggu kreweng panas, Pak parno, sang terapis, menyiapkan wadah berisi air dan sepotong batu bata untuk alas kreweng. Kreweng yang telah panas diletakkan di atas batu bata. Di atas kreweng ditaburi biji terong, lalu ditetesi dengan minyak klentik dan langsung ditutup dengan alat nyemprong. Uap yang dihasilkan inilah yang digunakan untuk pengobatan. Pasien hanya memasukkan alat nyemprong dalam mulut, dengan catatan tidak boleh ditiup ataupun disedot agar tidak tersedak uap atau batuk. 

Terapi Nyemprong/ Tektek
Setelah ditunggu beberapa saat, kreweng diganti dengan kreweng lain yang telah dipanaskan dan perlakuan serupa diulang sampai 5 kali. Nah, saat melepas alat nyemprong untuk mengganti kreweng, tampak kotoran putih mengambang di air bersama dengan biji terong yang hangus. Konon ini adalah ulat gigi, atau kotoran dalam gigi yang berluang tadi. 
Usai nyemprong, saya diminta untuk berkumur dengan air putih dan minum untuk menetralisir suasana mulut. Oleh sang terapis, dianjurkan untuk tidak minum es, makanan manis, dan coklat sekitar 3 hari. Alhamdulillah, cenut-cenut gigi tak terasa lagi. 
Pak Parno pun menyarankan bagi pasien yang ingin berobat sebaiknya sebelum nyemprong, tidak mengonsumsi obat agar hasilnya maksimal dan hasilnya lebih terasa. "Jika pasien mengonsumsi obat, biasanya ulat/kotoran yang keluar hanya 2 atau 3," kata Pak Parno.
Pak Suparno mengambil ulat/ kotoran gigi
Sambil melihat Pak Parno mengambil ulat-ulat yang menempel di batok dan berenang di air, saya bertanya tentang terapi gigi yang sering disebut dengan tektek atau nyemprong
Suparno, yang biasa dipanggil Pak Parno ternyata sudah menekuni terapi nyemprong sejak tahun 2002. Keahlian ini didapat dari orang tuanya yang juga menekuni bidang yang sama sejak 1965. Pak Parno adalah generasi ke tiga dalam urusan nyemprong. Selain mengobati sakit gigi, terapi ini juga bisa digunakan untuk mengurangi bau mulut. 
Pasien yang datang tidak hanya dalam kota tapi luar daerah pun menjajal terapi ini. Tak tanggung-tanggung Pak Parno pun pernah diminta bantuannya oleh beberapa anggota dewan bahkan menteri. 

Jika penasaran dengan terapi nyemprong ini, bisa datang ke kediaman Pak Parno yang beralamat di Terboyo Wetan RT 01/ RW 01, Gang Macan, Genuk Semarang. 

Terapi Nyemprong hanyalah ikhtiar, namun kesembuhan datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Senin, 12 Agustus 2019

Kerinduan Sang Marbot

Agustus 12, 2019 0 Comments
Saya terusik untuk mengintip status beberapa teman. Sejak pemerintah mengumumkan hasil sidang isbat yang memutuskan bahwa awal Dzulhijjah jatuh pada hari Jumat 2 Agustus 2019, sebagian teman-teman saya mengunggah status keutamaan 10 hari awal bulan Dzulhijjah, bulan ke 12 pada penanggalan hijriyah ini. 
Jelang hari Arafah saat tamu-tamu Allah berduyun-duyun menuju padang Arafah untuk melaksanakan wukuf, status bilik percakapan wasap pun berhias foto jamaah haji dengan ihramnya, dan tak ketinggalan status yang berisi keutamaan puasa sunnah Arafah yang disebutkan sebagai penghapus dosa satu tahun sebelumnya dan setahun setelahnya. 
Malamnya takbir berkumandang. Status wasap diramaikan dengan unggahan kemeriahan takbir keliling, unggahan foto Masjidil Haram dengan latar suara kumandang takbir. Sampai saat Ied tiba, wasap pun berhias ucapan Iedul Adha. Ucapan dengan gambar siluet masjid, sampai karikatur kambing ikut menghiasi.  
Tepat tanggal 10 Dzulhijjah, status wasap teman-teman saya isinya beragam. Teman saya di Kudus mengunggah foto kerbau dengan tulisan Alhamdulillah tahun ini kerbau dengan emoticon love, teman lain mengunggah fotonya saat menyembelih hewan kurban. Foto status wasap pun mulai bertambah. Kali ini rata-rata bergambar seragam:s-a-t-e. 
Tapi saya mendapati unggahan status salah seorang teman Barisan Sahabat Masjid. Unggahan foto yang berbeda. 
(foto status Oni RRM-BARSAMA)
Keterangan dalam foto itu membuat saya bergidik, haru, sekaligus geli membaca kalimat yang tertulis. 

Ya Allah… 
Setiap hari aku cium karpet masjid ini, 
sampe kalo udah mulai apek langsung dibersihin. 
Apal aku mah sama wanginya kaki jamaah sini. 
Terima kasih ya Allah atas nikmat penciuman ini… 
Semoga bisa dipakai mencium Ka’bah nanti… 

abidin jdr MARBOTER BARSAMA 
-----------------------
Saya geli, betapa sang marbot masjid begitu hafal dengan bau telapak kaki orang-orang yang bersimpuh, menegakkan sholat. Tentunya tak hanya satu orang. Puluhan bahkan ratusan jejak telapak kaki yang telah bersujud di masjid itu. Tentunya dengan aroma wangi yang beraneka. 
Rasa syukur atas nikmat indra penciuman pun menyertainya karena organ yang memiliki 10-20 juta sel pembau -sel olfaktori- dimampukan Allah untuk mencium aroma telapak kaki para jamaah. Kerinduan, harapan dan impian pun disertakan dalam doa semoga di suatu saat nanti indra penciuman itu dapat mencium Ka’bah. 

Makjleb! 

Saya jadi teringat dengan tayangan televisi tentang orang-orang yang dipanggil Allah untuk berhaji dan umroh dengan cara yang istimewa. Pemulung yang menabung sekian puluh tahun, pedagang bakso yang mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Kesemuanya diniatkan untuk berhaji, dan masih banyak cerita lagi. 
Sementara di tayangan lain sepasang suami istri bersepeda demi mengunjungi Baitullah. Ada pula seorang pemuda yang berjalan kaki berbekal tas ransel “backpakeran” untuk menuntaskan rindu sujud di depan Ka’bah. Kesempatan istimewa juga diperoleh beberapa orang yang mendapat undangan dari Kerajaan Arab Saudi untuk melaksanakan ibadah haji.  
Ada banyak cerita tentang perjuangan untuk sampai ke Baitullah. Ada beragam cara agar harapan itu bisa diwujudkan. Karena Allah tidak memanggil orang-orang yanga mampu, namun memampukan orang-orang yang rindu untuk disampaikan ke Baitullah. 

Kerinduan yang sama juga menghinggapi sang marbot. Kerinduan yang terangkai saat bermunajat. Sebuah kerinduan untuk mencium Hajar Aswad, batu hitam di sudut Ka’bah insyaAllah bisa terwujud. Caranya? Itu urusan Allah dan biarlah Allah yang mewujudkannya. 

InsyaAllah di suatu saat nanti, Allah akan mengundang sang marbot untuk bersujud di Makkah, Madinah, dan Arofah. Aamin.

Rabu, 06 Maret 2019

Paket Lengkap : Gandjel Rel, Gus Mul, Pringsewu

Maret 06, 2019 0 Comments
Ulang tahun Gandjel Rel tahun ini menyediakan menu lengkap dan tentu saja mengenyangkan. Ibarat kata, berimbang antara santapan jasmani dan ruhani. Santapan jasmani tentu urusan perut karena aneka jajan dan santap siang yang sukses menerbitkan liur. Santapan rohaninya semangkuk ilmu dari GusMul, plus hati senang bertemu GRes, plus kesempatan cekrek-cekrek di restoran Pringsewu dan pulang membawa hadiah.

Tanggal 22 Februari 2019, komunitas narablog wanita Kota Semarang, Gandjel Rel memasuki usia menggemaskan, 4 tahun. Ritual perayaan dimulai di minggu-minggu sebelumnya dengan menggelar blog challenge dan video challenge #roadto4thGandjelRel. Sementara puncak perayaan diadakan hari Sabtu, 23 Februari 2019 di restoran Pringsewu kawasan Kota Lama Semarang. 

Bukan rahasia lagi jika sepak terjang GRes (member Gandjel Rel) dalam kurun perjalanan 4 tahun makin gemilang. Beberapa lomba berhasil memunculkan nama GRes sebagai jawara. Sementara di lingkup intern, berbagai ilmu dan resep menulis disebar dan bisa dituai anggota GRes lainnya. Intinya, saling berbagi, saling mengisi. 
Gus Mul dan GRes (foto: Nyi Penengah Dewanti)
Pucuk dicinta ulam tiba. Urusan berbagi ilmu diwujudkan lagi oleh founder Gandjel Rel dengan memboyong Agus Mulyadi redaktur mojok.co. Gus Mul, begitu panggilan akrabnya, berbagi resep tentang Menulis Kreatif di Media Online. Tulisan Gus Mul memang bisa dibaca di agusmulyadi.web.id serta agusmulyadi.com. Tapi meneguk ilmu langsung dari penulis buku Jomblo Hapal Pancasila jadi semakin maknyus. 
Agus Mulyadi
Usai bercerita tentang awal mula sepak terjang sampai menjadi seterkenal sekarang ini, Gus Mul berbagi resep menulis yaitu Menulis Sekitarmu Sebisamu. Bumbunya terdiri dari : Ide tulisan, kegelisahan, pilihan kata atau diksi, ke-khas-an, sudut pandang, dan kutipan. Nah, jika bumbu ini dimasak dengan kemampuan yang selalu terasah, maka sajian tulisan nikmat untuk dibaca. Semuanya butuh waktu dan berproses. 

Di tengah-tengah menikmati racikan resep Gus Mul, bisa-bisanya pikiran dan mata pecah kongsi gara-gara membaca tulisan di kaos yang dikenakannya. Apik. Cara ciamik untuk mengenalkan diri. Begini bunyinya : speak English, drive American, kiss French, party Caribbean, dress Italian, spend Arabic, agus Magelangan

Nah, mumpung acara diadakan di restoran Pringsewu, tak boleh melewatkan ritual cekrek-cekrek.  Pasalnya seluruh sudut restoran yang terletak di Jl. Suari Nomor 10-12 kawasan Kota Lama Semarang sangat fotogenik. 

Bangunan berlantai dua ini adalah gedung bekas kantor raja gula terkenal Oei Tiong Ham. Tiap sudut ruang adalah cerita tentang kejayaan masa itu. Oleh salah seorang pegawai, saya diantar ke ruang brankas Oei Tiong Ham. Di ruangan ini bisa dijumpai brankas besi yang kokoh, meski tak bisa difungsikan. Ruangan lain juga menyajikan narasi yang apik. Masuki saja Jail Break, jika kepingin merasakan sensasi makan di balik jeruji. Nikmati juga sensasi Lorong Waktu, menapaki tangga kayu yang kokoh, atau merasakan semilir angin melalui jendela-jendela kayu besar yang menjadi ciri khas bangunan kuno.
Brankas Oei Tiong Ham

Jail Break

Ruangan-ruangan di restoran ini dinamai dengan nama kawasan di Semarang. Seperti Tawang Room- tempat perayaan ulang tahun Gandjel Rel- yang bersebelahan dengan Poncol Room. Ada juga ruang yang dinamai Bubakan Room. 

Tak hanya difungsikan sebagai tempat makan, Pringsewu juga nyaman digunakan sebagai ruang rapat atau pertemuan. Mushola dan taoilet yang bersih serta toilet khusus bagi kaum difabel juga disediakan. Jika kepingin pulang membawa buah tangan, Pringsewu menyediakan souvenir serta oleh-oleh khas Semarang. 

Restoran Pringsewu Kota Lama adalah cabang ke 21 dan dibuka resmi pada 12 Mei 2018. Selain menyediakan menu pesmol gurame, udang saus padang, dan olahan lainnya, kini Pringsewu juga punya layanan baru yaitu Teraz Oei Tiong Ham. Sesuai dengan namanya, Teraz Oei Tiong Ham menempati beranda dengan sajian Roti Ayam, Roti Keju, Banana Roll, Tahu Walik, dan Avocado Thai. 
Teras Oei Tiong Ham Pringsewu
Tak terbayang lezatnya menikmati kudapan, ditingkahi semburat surya jelang senja di Teras Oei Tiong Ham Pringsewu tentu saja sembari menyesap kenangan. Aih….

Rabu, 20 Februari 2019

Tim Resik Resik Masjid Semarang

Februari 20, 2019 7 Comments
Assalaamu’alaikum, 

Jumat Berkah! 

Hari Jumat adalah jadwal saya mengganti mukena masjid kampung. Tapi Jumat ini beda dari biasanya. Baru saja memasuki gerbang masjid, langkah saya terhenti melihat mobil-mobil berjajar padahal waktu sholat Jumat masih beberapa jam lagi. Tak cukup di situ, deru suara mesin pemotong rumput, mesin cuci, peyedot debu dan langkah kaki penuh semangat mewarnai pagi menjelang siang. 

Saat masuk masjid saya melongo, karena beberapa pemuda menggulung karpet, sebagian lagi menyapu, mengepel, membersihkan lampu utama yang berdebu tebal, dan mengelap kipas angin. Keterjutan bertambah saat melihat lemari tempat mukena kosong. Waduh, dimana engkau mukena? Seperti biasanya, saya membawa mukena bersih untuk ditukar dengan mukena yang kotor. 
Lagi celingak-celinguk mencari mukena yang lenyap dari tempatnya, seorang pemuda mendatangi dan menanyakan keperluan saya. Setelah saya jelaskan, pemuda berkaos hitam pun dengan santun berujar, “Maaf, Bu. Pahala Ibu kami minta. Hari ini mukena dan sajadah masjid, kami yang mencuci.” Dalam hati saya berteriak, “Horeeeee!!!” "Alhamdulillah"

Dari pada penasaran saya akhirnya mengintip kesibukan lain di luar ruang utama dan mendapati beberapa pemuda sedang mencuci pembatas shaf, menjemur mukena dan sajadah, menyikat lantai kamar mandi dan tempat wudhu. Bau wangi menguar. 


Rasa penasaran saya mulai terjawab saat saya membaca kaos yang digunakan semua pemuda : Tim Resik-Resik Masjid. Saya pun menjumpai Bang Oni, sekretaris dari TRRM dan mendapat penjelasan tentang kegiatan Tim Resik-Resik Masjid. 

Resik-Resik Masjid adalah gerakan murni sosial spiritual yang terbentuk pada November 2017. Sebagai gerakan sosial maka kegiatan yang dilaksanakan tidak berorientasi pada laba alias gratis 100% selain itu gerakan ini bersifat independen, non politik, non aliran, non sales produk, lintas ormas dan lintas sosial ekonomi. 

Kegiatan mulia ini tercetus saat muncul keinginan dari masing-masing anggota untuk menjalani praktek non ribawi. Semangat hijrah pun akhirnya mewujud dengan mulai menggeluti usaha yang halal tanpa tersentuh praktek riba, lalu merambah kegiatan sosial lain yakni resik-resik masjid yang diadakan tiap Jumat dan Ahad di seputar Semarang. 

Tak sekedar membersihkan masjid, ternyata Jumat itu TRRM juga ikut berbagi. Usai sholat Jumat, jamaah disilakan untuk mengambil nasi bungkus dan air mineral serta beras. Sementara di hari Ahad dilanjutkan dengan penyerahan mushaf Al Quran dan pemberian santunan untuk saudara-saudara penyandang tuna netra. Seluruh kegiatan berasal dari iuran anggota tim resik-resik dan dari donatur. Donasi berwujud uang atau pun barang yang selanjutnya dikelola untuk operasional pembersihan masjid serta sedekah Jumat. 
(dok. TRRM Semarang)
Layaknya organisasi, TRRM dilengkapi dengan kepengurusan yang lengkap. Ketua, Sekertaris, dan Bendahara serta dibantu oleh beberapa seksi yaitu humas, konsumsi, dokumentasi, peralatan dan bahan, bidang keanggotaan, tim survey, bidang sedekah Jumat yang meliputi nasi bungkus dan beras, seksi penggantian mushaf, seksi bansos (pengobatan gratis), dan bidang da’wah. Masing-masing seksi bertanggung jawab atas amanah yang dipikulnya. 
Namun untuk urusan resik-resik masjid, semua anggota bergerak bahu membahu membersihkan rumah Allah. 

(dok.TRRM Semarang)
Jumat siang itu ruang utama masjid telah rapi dan wangi. Kamar mandi dan tempat wudhu pun telah bersih, harum. Deru suara mesin pemotong rumput, penyedot debu dan mesin cuci berhenti, berganti dengan alunan kalam Ilahi. 
Halaman masjid mulai ramai. Satu dua jamaah mulai berdatangan. Tim resik-resik merapikan seluruh peralatan kebersihan dan sebagian lainnya menyiapkan sedekah beras dan nasi bungkus yang akan dibagi usai sholat nanti. Kegiatan membersihkan masjid purna, panggilan kemenangan pun segera dikumandangkan muadzin. 

Semoga TRRM istiqomah dan kegiatan yang dilakukan dicatat sebagai amal jariyah dan menjadi pemberat timbangan kebaikan di yaumul hisab. 

Pengen masjid di kampungmu menjadi bersih, rapi dan wangi? InsyaAllah Tim Resik-resik Masjid siap mewujudkannya, hubungi Sekretariat Tim RRM Semarang, Jl. Zebra Dalam RT 02/ RW 05 No 22 Pedurungan Kidul Semarang

Wassalamu'alaikum.


Sabtu, 02 Februari 2019

Suka Parisuka Ngeblog Bareng Gandjel Rel

Februari 02, 2019 11 Comments
Nuwun, 

Sawijing kanca nate omong, menawa deweke meri karo aku. Kang diireni perkara sepele, yaiku amarga aku bisa nulis. Sanajan durung akeh tulisanku, nembe siji loro crita cekak kang daktulis. Jarene, tulisan iku bakal diwaca lan bisa terus diwaca sanajan pawongane wis tilar donya. Babagan kasebut njalari tuwuhe pemikiran, yen ngono nulis kuwi ora mung asal-asalan. Nulis iku kudu laras lan manfaat.

Jaman milenial iki, babagan apa bae bisa diwaca utawa diunduh saka jagad maya. Media online luwih narik kawigaten para milenial kang ora bisa adoh saka gawai. Mula saiki akeh kang pada pindah media. Saka nulis ing ariwarti utawa kalawarti, pindah menyang media online. Kayata nulis ing blog, utawa dadi bloger. 

Blog minangka pilihan media kanggo paring informasi lan bisa dadi ruang ekspresi. Para bloger bisa nulis “curhat” apadene rekomendasi babagan apa bae. Kayata papan wisata, kuliner, macak, lan liya-liyane. 

Wiwitane ajar nulis ing blog, pranyata ora gampang, amarga kudu bisa metani utawa koreksi tulisane dewe. Bab tanda baca, tembung lan ukarane wis gathuk opo durung, ojo lali panulisane kudu runut supaya kepenak diwaca. Kang ora bisa disepelekake, gambar utawa foto uga gathuk karo babagan kang ditulis. Ora tumon to yen nulis bab kuliner utawa panganan, nanging fotone sandal. 

Saliyane iku nulis ing blog becike jujur lan adil. Yen seneng ora perlu ngunggul-ngunggulake nganti sundul langit, ngepasi ora seneng olehe maido nganti entek amek kurang golek. Menawa panulisane jujur, luwih kepenak anggone nulis lan anggone maca.

Babagan kang wigati liyane yaiku bab copas utawa nyonto. Sadurunge, aku kerep maca blog kang isine pada plek ora ana bedane. Ora mung siji, nanging akeh blog kang isine pada. Menawa mrangguli blog kaya mengkono tuwuh pitakonan jan-jane sapa kang nulis sepisanan lan banjur diturun utawa dicopas dening liyane?

Amarga isih akeh pitakonan bab panulisan blog lan sapiturute, mula aku melu kumpulan blog wanita ing Semarang, yaiku Gandjel Rel. Kumpulan bloger wanita iki minangka wadah kanggo para bloger wanita ing kutha Lumpia. Maneka warna acara kerep digelar kanggo nambahi semangat para GRes utawa anggota Gandjel Rel kayadene latihan gawe blog kanggo bloger anyaran, pelatihan SEO, ngregengake saperangan adicara saperangan produk, melu ngregengake adicara pamarentah kayadene gerakan masyarakat sehat lan sapanunggalane. 

Akeh manfaat kang bisa dipetik yaiku tambah ilmu, tambah kanca, tambah info-info bab lomba nulis, lan yen kapinujon beja bisa tambah hadiah nalika blog kang ditulis menang ing sayembara. 

Wondene ing intern GRes uga diadani arisan blog sawetara wektu kepungkur. Sapa kang narik arisan, kang nemtoake tema kang ditulis dening GRes liyane. 

Pinuju taun iki, ing ulang tahun kaping 4, diadani blog challenge yaiku tantangan nulis blog kanggo mahargya ulang taun utawa tanggap warsa Gandjel Rel kaping 4. Cacahe ana 4 tema kang wigati yaiku bab Kutha Semarang (apa bae), Lingkungan hidup (wujude crita cekak/fiksi), perlindungan anak, lan kang pungkasan bab ngeblog sesambungane karo Gandjel Rel. 

Ing tembe mburi, aku duwe pepinginan bisa ajeg nulis, panulisane uga tambah tatas titis tetes lan bernas, sokur-sokur bisa antuk bebungah utawa hadiah. Lan kang baku, tulisane bisa paring inspirasi kanggo sapa bae. Lumantar kumpulan bloger wanita Gandjel Rel, muga-muga apa kang dadi pepinginanku bisa kasembadan. 

Sugeng Tanggap Warsa Gandjel Rel ingkang kaping 4.

Wajik klethik gula jawa, luwih becik wong prasaja 
Roning mlinjo, sampun cekap nyuwun ngaso 

Nuwun.

(Tulisan ini untuk menyemarakkan Parade 4th GandjelRel - #BlogChallengeGandjelRel Pekan ke 4)
#roadto4thgandjelrel
#blogchallengegandjelrel

Minggu, 20 Januari 2019

Satu Jam Bareng Haji Boim Lebon

Januari 20, 2019 2 Comments
Ini adalah kali kedua saya bertemu Bang Boim atau Boim Lebon atau Haji Boim. Selanjutnya saya menyebut beliau dengan Haji Boim, biar berkah ketularan bisa menunaikan haji. Amin.
Pertemuan pertama terjadi 25 Mei 2013 saat Haji Boim berbagi ilmu di komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis Semarang. Pertemuan di siang yang panas menjadi segar dengan humor-humor Haji Boim. 
Nah, pertemuan kedua pada Ahad 20 Januari 2019. Bertempat di salah satu teras gedung di area Taman Budaya Raden Saleh Semarang, Forum Lingkar Pena Semarang menghadirkan Haji Boim yang didapuk menjadi pembicara pada pertemuan rutin dwi mingguan. Kali ini Haji Boim tidak datang sendirian. Mbak Ade Patalianawati, istri tercinta ikut mendampingi. Tak perlu berlama-lama, Haji Boim langsung bercerita awal keterlibatan beliau di Forum Lingkar Pena disambung cerita saat terjun ke dunia tulis menulis. 
Kelas Menulis FLP feat Boim Lebon
Haji Boim mengawali dunia literasi saat duduk di bangku sekolah. Umumnya anak muda, Haji Boim pun ingin “dipandang” dan dikenal orang lain. Setelah mencoba beberapa kegiatan, akhirnya Haji Boim mengikuti ekskul drama kelas menulis. Beberapa kali naskah drama yang ditulisnya menjadi juara. Beliau merasa telah menemukan dunianya, yaitu menulis. “Saya suka dan saya bisa,” jelas Haji Boim. 

Saat bertemu Hilman “Lupus” Hariwijaya, pemilik nama asli Sudiyanto pun berganti nama. Konon saat itu penampilannya ‘tengil’ dan cocok banget dengan sosok ciptaan Hilman, Boim. Sementara nama Lebon diambil dari salah satu personel band Duran Duran, Simon Lebon. Di serial Lupus, Boim Lebon dikenal sebagai play boy cap duren tiga. Nama duren tiga ini diambil dari gambar korek api jaman itu, tahu kan? Tak cukup di situ, Hilman Lupus akhirnya mengajak Haji Boim membuat buku Lupus kecil yang juga booming

Penulis puluhan buku ini pernah bergabung di Penulis Gramedia, menjadi script writer di beberapa stasiun televisi swasta, dan saat ini berkantor di RCTI sebagai produser dan head of creative. 

Bukan Haji Boim jika tak membuat kami tertawa dengan candanya. Di sela-sela sharing ilmu, Haji Boim menyelipkan humor segar. Kali ini tentang wudhu. Sebelum sholat, Haji Boim berwudhu. Wudhu yang pertama disusul dengan wudhu kedua. Buat cadangan katanya. Lo kok? Iya dong, kalau nanti saya kentut tak perlu wudhu lagi. Masih punya wudhu cadangan. Haha….ada-ada saja nih Haji Boim. 

Usai menerangkan karier menulisnya, sesi tanya jawab pun dibanjiri pertanyaan dari peserta pertemuan. Dari pertanyaan tentang nama Boim yang hoki banget, cara mempertahankan nuansa jiwa muda dalam bukunya, tentang penulisan buku anak, malah salah satu peserta menanyakan mengapa buku dan namanya tak juga terkenal. 
(dok : FLP Semarang)
Pada intinya menulis adalah sebuah proses yang harus dijalani sampai menemukan “dunia yang saya bisa dan saya suka”. Karena menulis itu butuh proses, maka perlu ketekunan dan berusaha menikmati setiap proses. Sedangkan ide bisa didapat dari hasil ngobrol serta silaturahmi yang selalu dilakukan oleh Haji Boim di setiap kunjungannya ke FLP daerah. Tulisan-tulisan segar dan enak dinikmati kawula muda adalah buah dari silaturahmi dan bermitra dengan anak muda yang menjadi sahabat Haji Boim. 

Satu jam rasanya tak cukup untuk memetik ilmu dari pria hitam manis kelahiran 17 Juli. Sayang, waktu tak memungkinkan. Usai berfoto dan tanda tangan buku, Haji Boim dan istri harus pamit. 
Jika dulu Boim dikenal sebagai play boy cap duren tiga, kini Haji Boim adalah seorang Pray Boy. Begitu kan, Haji Boim?

Rabu, 16 Januari 2019

S e t i p

Januari 16, 2019 8 Comments
Selesai. Bu Enjel tersenyum puas.
Peta pikiran seukuran kertas karton selesai dibuat, lengkap dengan warna warni spidol agar lebih menarik. Pasti anak-anak akan antusias mendengarkan. Jika anak-anak antusias, proses belajar mengajar menjadi lebih menyenangkan. 

“Siapa yang tahu plastik?” Bu guru Enjel memancing perhatian anak-anak agar mau mendengarkan pelajaran kepedulian lingkungan di jam pelajaran terakhir. 
Bak ikan mencium umpan, anak-anak terpancing pertanyaan Bu Enjel. 

“Saya tahu. Saya tahu. Saya tahu,” anak-anak bersahut-sahutan menjawab. Semua mengacung, semua tahu. 

“Siapa tahu benda-benda yang terbuat dari plastik?” Lagi-lagi anak-anak mengacung dan berteriak bak paduan suara, “tahuuuu!”

“Coba tuliskan contoh benda-benda yang terbuat dari plastik.” 

Anak-anak berebut maju. Tumben. Baru kali ini kelas menjadi hidup. Maka papan tulis putih di depan kelas penuh dengan tulisan. Ciduk plastik, ember plastik, sisir plastik, gembor plastik, kursi plastik, semua benda ditambah kata plastik di belakangnya. Semua jawaban betul. 

“Siapa yang belum maju?” tanya Bu Enjel. 

“Saya boleh maju dua kali?” tanya Setip, sang murid pendiam. 

Bu Enjel menyerahkan spidol kepada Setip. Tumben, biasanya murid satu ini kesukaran menerima pelajaran, tapi kali ini tidak. Ditulisnya : plastik wadah es teh dan sedotan plastik. 

“Cerdas kamu, Setip,” puji Bu Enjel. Rona wajah Setip mendadak ceria. 
Anak-anak kembali ke bangku masing-masing dan menunggu pertanyaan selanjutnya. 

Bu Enjel membuka peta pikiran yang semalam disiapkan, tentang makhluk plastik. Anak-anak membaca judul peta pikiran. Mereka membayangkan sesosok makhluk yang seluruh tubuhnya dari plastik. Makhluk plastik itu bertemu musuh, terjadi perkelahian, lalu makhluk plastik menang. 
Imajinasi mereka bubar ketika Bu Enjel justru menerangkan plastik sebagai penamaan polimer, molekul sintetis rantai panjang berulang. Plastik adalah bahan bersifat kuat, keras, dan tahan panas hingga bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan rumah tangga. Anak-anak bosan. 
Penjelasan ilmiah yang ditulis Bu Enjel mengutip dari koran ibu kota itu tak satu pun dimengerti anak-anak. Semakin bersemangat Bu Enjel menerangkan, suaranya tertelan riuh anak-anak yang bersenda gurau. Kecuali Setip yang tetap diam mendengarkan. 

“Jadi, plastik wadah es teh dan sedotan plastik tidak bisa hancur, Bu?” tanya Setip. 

"Plastik diperkirakan baru dapat terurai 500 sampai 1000 tahun,” jelas Bu Enjel. 

Bu Enjel segera mengeluarkan komputer jinjing dan menghubungkan ke proyektor. Anak-anak kembali tenang, lalu riuh bertanya tentang foto-foto yang ditampilkan di layar besar. 

“Ini akibat banyaknya sampah di laut, terutama plastik.” 

“Itu kuda laut membawa cotton bud?” tanya Jek. 

“Dia berpegangan pada cotton bud, agar tidak terbawa arus. Mungkin dia mengira cotton bud tersebut adalah tumbuhan air.” 

Penjelasan Bu Enjel diikuti suara o panjang dari anak-anak. 

“Nah, mulai sekarang jangan buang sampah sembarangan, apalagi ke sungai karena akan terbawa sampai ke laut. Jika ikut ibu belanja ke pasar, bawa tas kain dari rumah. Bawa tempat minum sendiri, tidak usah diwadahi plastik,” Bu Enjel menjelaskan sambil menujuk video sampah plastik mengambang di perairan. Foto paus dan kura-kura yang mati setelah menelan sampah plastik pun sangat menarik perhatian siswa-siswanya. Kelas hening.

“Teng! Teng! Teng!” Bel berbunyi, anak-anak bersiap untuk pulang.
 * 

“Bu Enjel!” teriak Setip. Bu Enjel menoleh, dilihatnya Setip berlari pulang ke rumah tak jauh dari sekolah. 

“Berapa, Pak?” Bu Enjel membayar 3 plastik es degan lalu beralih membeli sebungkus buah-buahan dari pedagang gilo-gilo yang mangkal di depan sekolah. 

“Bu Enjel!” Setip menghampiri gurunya. 

“Ada apa, Setip?” 

Terengah-engah diserahkannya tumbler dan piring beling milik ibunya,“jangan diwadahi plastik, Bu. Pakai ini saja.”  

“Bukankah Ibu tadi menerangkan tentang bahaya makhluk plastik?” imbuhnya

Bu Enjel tertegun, mengangguk-angguk, mengangkat dua jempol. 
Setip membusungkan badan. Air mukanya tampak gembira. Dia baru saja menyelamatkan gurunya dari serangan makhluk plastik. Setip tersenyum, senyum penuh kemenangan. 
***


Senin, 07 Januari 2019

Dolan Menyusuri Kawasan Kali Semarang

Januari 07, 2019 8 Comments
Sekali tempo menyusuri kawasan sekitar Kali Semarang. Di kawasan ini masih bisa dijumpai bangunan-bangunan kuno yang sayang untuk dilewatkan. Umumnya bangunan tua, maka ada yang terawat dan masih bisa difungsikan, ada pula yang rusak, bersalin rupa menjadi bangunan modern,atau bahkan hanya menyisakan cerita. 
Menara Masjid Layur (Masjid Menara)
Hari masih pagi, tatkala saya mampir ke Masjid Layur atau Masjid Menara. Masjid tua di Kota Semarang ini berlokasi di Jalan Layur No 33. Sebutan Masjid Menara merujuk pada bangunan menara tinggi di area depan masjid. Masjid Layur masuk dalam Bangunan Cagar Budaya No 35 melalui keputusan Walikota Nomor 646/50/Tahun 1992 Tanggal 4 Februari 1992. 
Masjid Layur/ Masjid Menara
Bangunan masjid tidak terlalu luas. Tampak luar maupun bagian dalam masjid didominasi warna hijau. Bagian atas masjid tidak berbentuk kubah, namun tajuk tingkat tiga dengan puncak berbentuk limas segi empat. Ruang sholat sebagai ruang utama tidak terlalu besar. Empat pilar kokoh menopang atap masjid. Jendela-jendela besar menjadi ciri khas bangunan kuno sebagai ventilasi alami. Di luar ruangan utama, ditempatkan bangku-bangku kecil untuk kegiatan mengaji. Sampai saat ini Masjid Layur masih difungsikan sebagai tempat ibadah dan kegiatan lain. 
Ruangan Masjid
Jalan-jalan saya berlanjut ke bangunan di sebelahnya. Dilihat dari bangunannya, sepertinya tidak difungsikan lagi. Begitu pula dengan bangunan di depannya. Namun demikian sisa keelokan bangunan ini masih bisa dinikmati. Beberapa meter dari bangunan masjid, saya menemukan lagi bangunan lawas yang sepertinya masih difungsikan sebagai hunian. Rumah berlantai dua bercat kuning ini masih menampakkan kewibawaannya meski termakan usia. Kayu sebagai bahan utama bangunan masih nampak kokoh. 
Bangunan kuno di sekitar Masjid Layur
Sampai di ujung Jalan Layur, saya disuguhi bangunan kuno yang pesonanya masih mencuri perhatian. Sayangnya bangunan dua lantai yang masih difungsikan ini kurang terawat. Tanaman liar sedikit merusak pemandangan. 
Bangunan kuno di ujung Jalan Layur
Memasuki jalanan kampung di depan Jalan Layur saya mendapati bangunan kuno yang sedang dibongkar. Sayang rasanya jika bangunan-bangunan lawas ini harus berganti menjadi bangunan anyar. Mengingat kayu sebagai komponen utama masih kokoh dan tentu saja nampak unik dan antik. Pemugaran rumah yang saya temui di Kampung Baru ini mengingatkan pada bangunan lawas yang pernah saya abadikan beberapa waktu lalu. Bangunan berlantai dua ini harus takhluk oleh rob dan banjir yang dulu sering menyambangi kawasan ini. Lantai bawah terendam air sepanjang hari sehingga menyisakan lantai kedua sebagai hunian. Meski demikian, kayu-kayu peyangganya masih kuat. 
Rumah dalam tahap pembongkaran (kanan bawah);
Salah satu rumah kuno di Kampung Baru yang telah dibongkar (atas dan kiri bawah)
Usai menikmati bangunan kuno seputar Layur dan Kakap (di sini saya menjumpai bangunan NV Perusahaan Mesin dan Pengetjoran Logam Sadono) serta blusukan ke kampung-kampung, saya mampir ke penjual Jamu Jun. 
Jamu Jun merupakan minuman tradisonal khas Semarang. Jun adalah wadah air yang terbuat dari tanah. Jamu jun teksturnya sedikit kental hingga hampir menyerupai bubur. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuatnya terdiri campuran tepung ketan, gula jawa, gula pasir, kayu manis, jahe, merica, akar alang-alang, daun jeruk, santan dan rempah-rempah lain. Sebagai pelengkap ditambahkan enten-enten dari kelapa dan gula jawa, bubuk merica, serta tepung ketan sangrai. Rasanya manis legit. Efek ramuan bermacam rempah ini menghangatkan badan. 
Jamu Jun lengkap dengan bubuk merica, tepung ketan sangrai,dan enten-enten
Dahulu jamu jun dijajakan keliling kampung. Jun, canting khas berbahan bambu dan mangkuk kecil, sendok bebek atau terkadang sudu daun pisang diwadahi dunak, lalu digendong oleh sang penjual-wanita usia senja, berkain kebaya dan caping lebar. Sementara bahu menggendong, tangan kanannya menjinjing ember kecil berisi air untuk mencuci mangkok kotor. 
Jamu Jun
Ah, ternyata narasi tak cukup untuk menggambarkan sudut lain Kota Semarang. Bagaimana? Tertarik menyusuri kawasan sekitar Kali Semarang? Yuk, dolan ke Semarang!