Senin, 25 November 2019

Guruku Tersayang, Mbah Di

November 25, 2019 2 Comments
Guruku tersayang, guruku tercinta, tanpamu apa jadinya aku... 
Potongan lagu di atas mengingatkan saya pada sosok istimewa yang ikut berperan mendidik saya selain orang tua dan bapak ibu guru di sekolah. Beliau bernama Mursidi. Saya memanggilnya dengan Mbah Di. Panggilan Mbah Di Kakung untuk sosok pria sepuh dengan senyum menawan, dan Mbah Di putri untuk wanita cantik, istrinya. 
Selepas pensiun dari kepolisian, beliau mengabdikan diri sepenuhnya untuk mendidik masyarakat, khususnya di bidang keagamaan. Keinginannya terwujud dengan berdirinya mushola kecil di halaman rumahnya Mushola yang letaknya di belakang stasiun Poncol itu akhirnya berdiri. Tidak mewah, namun sangat bersahaja. 
Perlahan mushola Mbah Di- demikian kami menyebutnya- mulai ramai dipenuhi jamaah. Selain sholat 5 waktu, mushola diperuntukkan untuk mengaji dan kegiatan remaja masjid. Saya pun menjadi salah satu murid ngaji. Sebenarnya, ayah saya pun mengajar mengaji. Tapi kami harus mengaji di Mbah Di. Ngenger ngaji istilahnya. Karena jika diajar orang tua sendiri, ujung-ujungnya manja. Maka jadilah saya dan saudara-saudara mengaji di mushola Mbah Di selepas maghrib sampai menjelang Isya. 

Cerita mengasyikkan terjalin selama ngenger ngaji. Jika adzan maghrib telah berkumandang, kami berlarian menuju mushola yang hanya berjarak 50 meter dari rumah. Mengempit kain jarit dan taplak meja. Kain jarik digunakan untuk mukena dengan disemat peniti di sana sini. Taplak meja sulaman ibu untuk sajadah. Mukena dan sajadah “beneran” adalah barang mahal saat itu. Hanya orang berada yang bisa membeli mukena putih dan sajadah beludru bergambar Ka’bah. 
Saya paling anti berada di shaf wanita terdepan. Mengapa? Karena saya harus bersanding dengan Mbah Di putri. Artinya sholat harus serius, tidak boleh gojek bercanda. Tapi ada kalanya mendapat kesempatan sholat di shaf belakang, 
Polah tingkah anak-anak pada saat itu muncul juga. Sholat sambil nggremeng mengikuti bacaan imam, atau sholat ala anak-anak, tak ada seriusnya. Kalau sudah begini, hmmm... kira-kira tahu sendiri kan, senjata Mbah Di akan bicara usai sholat nanti. 
Oiya, senjata Mbah Kakung adalah rotan sepanjang kira-kira 1 meter. Jika anak-anak ramai saat sholat, maka sambitan rotan disematkan sebagai tanda cinta. Tak hanya itu, saat mengaji pun tanda cinta sering menghampiri. Jika ndarus teralihkan dengan bercanda dan berakibat kami tak bisa setor bacaan dengan baik, maka tongkat ajaib itu pun akan menyapa. Bayangkan bagaimana rasanya disambit tanda cinta. Sakit! Bukannya jera, kami malah harap-harap rindu. Buktinya, kami tetap bercanda untuk berharap sambitan. 
Kenakalan ala anak-anak makin bervariasi. Terkadang bermain kentongan besar (penanda waktu sholat, sebelum kumandang adzan), ikut menggerak-gerakkan badan saat sholat karena ada kereta lewat dan getarannya sangat terasa saat itu, membaui siwak yang dipakai beliau, berlari-larian di halaman masjid sampai keringatan, atau saling ciprat saat berwudhu. 
Setali tiga uang, Mbah Di putri pun memiliki senjata ampuh saat mengajar mengaji. Jika kami tidak ndarus sehingga bacaan kami sering salah, bambu seukuran jari kelingking dengan panjang kira-kira 30 cm menjadi alat kejut yang mengagetkan. Jika tuding –begitu saya menyebutnya- sudah diketuk-ketukkan ke meja, pertanda bacaan yang kami setor salah. Tak jarang tuding menghampiri jemari alias kena sambit. Bukannya jera, esoknya memang kami ndarus tapi lusa bercanda lagi. Selain alat sambit yang menjadi momok yang dirindukan, Mbah Di ibarat jam weker di bulan Ramadhan. Saat listrik telah terpasang, suasana bulan puasa semakin berkesan tatkala suara Mbah Di mulai terdengar. Suara lantang beliau membangunkan orang-orang untuk sahur, bersiap memasuki waktu imsak serta lekuk suara mengaji menjelang buka puasa. 

Waktu berlalu, tahun berbilang. Mushola kecil itu telah bersalin menjadi masjid yang bagus dengan tembok kokoh. Sebagian orang masih ada yang menyebut dengan mushola Mbah Di, meski namanya adalah Masjid Baitul Muslimin. Sementara si empunya telah berpulang beberapa tahun silam. 
Meski telah berpulang kiranya tidak putus kebaikan yang telah ditebarkannya. Ilmu yang diajarkannya, tempat ibadah sebagai amal jariyahnya serta doa anak, cucu serta murid-muridnya. Sambitan tongkat beliau yang dulu menjadi momok, ternyata baru kami tahu hikmahnya kini. Sambitan itu bukan hukuman, tapi bentuk kasih sayang. Andai saja beliau tidak menyambit, mungkin kami akan menjadi pribadi manja serta terlalu berleha-leha. 

Semoga Allah merahmati guru kami, Mbah Di kakung dan putri. Aamiin

#SelamatHariGuru2019