Ndherek langkung.
Kapan terakhir kali mendengar atau mengucapkan kalimat sapaan itu?
Tadi? Kemarin? Seminggu lalu? atau bahkan sudah terlalu lama tidak mendengar atau mengucapkannya?
Kali ini Nurul Hikmah mencuplik pengalamannya untuk ditulis dalam sebuah cerita anak. Imam Styawan atau Styaki yang menerjemahkan karya Nurul dalam gambar-gambar yang menarik dan lucu. Duet inilah yang melahirkan cerita Ndherek Langkung.
Sik sik, ojo kesusu. Jangan terburu-buru, nanti bingung, lo saat membacanya, karena buku Ndherek Langkung memang dihadirkan dalam format bahasa Jawa lengkap dengan tulisan (aksara Jawa). Njur piye?
Eit, tapi tidak usah risau, ada terjemahan dalam bahasa Indonesia. Selain itu dilengkapi pedoman cara membaca aksara Jawa (hitung-hitung tambah ilmu, belajar membaca hurufnya Aji Saka, ya)
Ndherek Langkung bercerita tentang bocah bernama Laras yang baru saja pindah ke desa. Kebetulan di desa tersebut tinggal pula saudaranya bernama Dimah. Bersama Dimah dan kawan baru lainnya, Laras diajak dolan.
Setiap berjumpa tetangga atau seseorang, bocah-bocah tersebut (kecuali Laras) selalu menyapa : Ndherek langkung.
Suatu hari Laras sedang mengunggu Dimah. Karena tak kunjung datang, akhirnya Laras mendatangi rumah Dimah. Ternyata Dimah pergi. Akhirnya Laras pulang. Tapi……duh duh duh Laras harus melewati ibu-ibu yang sedang duduk-duduk di beranda. Saat ditegur, Laras malah lari.
Esoknya Laras ingin dolan tapi dia bingung karena dia masih malu-malu menyapa: Ndherek langkung. Akhirnya dia berlatih agar bisa dan berani mengucap Ndherek langkung. Usaha Laras pun berhasil. Meski malu-malu dia bisa mengucap Ndhe.. rek… dan disambung temann-temannya : …langkung.
Cerita sederhana, dekat dengan keseharian, tapi bernas.
Ndherek Langkung |
Saya pribadi senang membaca Ndherek Langkung.
Nurani saya sering mengingatkan, eh kalau lewat di depan orang mbok menyapa (aruh-aruh) dong. Ndherek langkung. Bukan sekadar lewat dengan punggung tegak, tak menatap, tak menyapa. Padahal kenal, kan? Saya jadi malu.
Dalam pengantarnya dipaparkan, bahasa daerah masih menjadi bahasa ibu bagi sebagian keluarga, namun bagi sebagian lain mulai bergeser dan berubah. Bagi yang mengalami perubahan, sekarang bahasa Indonesia adalah bahasa utama yang digunakan. Hal itu bisa dimaklumi karena makin banyaknya keluarga dengan percampuran suku. Selain itu, bahasa asing juga semakin diprioritaskan untuk dipelajari. Maka jangan heran jika anak-anak lebih lancar ber-cas cis cus. Kadang-kadang kagok berbahasa Indonesia apalagi bahasa daerah.
Bersama berkurangnya pemakaian bahasa daerah, terkikis juga unggah ungguh (sopan santun, tata karma/adab) serta sejarah yang melekat padanya.
Merasa peduli dengan semua itu, maka Lingkarantarnusa menghadirkan buku wacan bocah, tujuannya untuk mengembalikan anak-anak dan keluarga-keluarga pada akar budayanya. Selain itu ikut melestarikan kekayaan bahasa dan budaya nusantara. Tak hanya untuk menguatkan akar budaya, namun jika buku semacam ini dibaca oleh anak-anak dari daerah lain, maka diharapkan akan tumbuh benih-benih toleransi.
Nusantara kaya akan ragam budaya. Negeri kita pun terkenal dengan keluhuran budinya.
Tidak usah malu jika saat bersua, kita mendahului untuk menyapa Ndherek langkung…atau mungkin dengan sapaan lain sesuai dengan daerah masing-masing.
Oiya, sapaan Ndherek langkung tidak hanya wasis diucapkan oleh Laras dan bocah-bocah lain lho. Kita yang sudah dewasa pun butuh untuk mengucapkannya. Sebagai bukti penghormatan pada diri sendiri, bahwa kita masih punya unggah-ungguh, punya tata krama.
Buku ini pun mengingatkan saya pada pepatah Jawa. Ajining diri gumantung saka lathi (seseorang dihormati karena ucapannya)
Jadi, masih ingat tidak kapan terakhir kali menyapa : Ndherek langkung? Baru saja, ya?
Baiklah saya juga akan menjawabnya, mangga, mangga.
Nuwun.
Ndherek Langkung
Penulis : Nurul Hikmah
Ilustrator : Imam Styawan
Penerbit : Lingkarantarnusa
Selain karya sastra (children literature), buku ini adalah penyelamatan/pelestarian kekayaan budaya bangsa. Mengulasnya di blog pribadi seperti ini juga meneruskan pelestariannya.
BalasHapusLanjutkan, Bude! Go, go, go!
Kepinginnya banyak buku-buku yang mengulas tentang tata krama yang sudah mulai tergerus. Buku-buku sederhana namun pesan moralnya sampai pada anak-anak (orang dewasa juga dong).
HapusTerima kasih, Bude
Jadi pengen beli bukunya, sekalian belajar bahasa Jawa:)
BalasHapusJadi pengen beli bukunya, sekalian belajar bahasa Jawa:)
BalasHapusAyo sinau basa Jawa bebarengan :)
Hapusnderek langkung tu apa kak , ya allahhh begok amat akuu
BalasHapusPermisi.... :)
HapusSudah lama saya nggak denger ',derek langkung, terutama semenjak meninggalkan jogja. Setiap daerah memang punya cara sendiri utk aruh2, seperti di tempat saya tinggal sekarang, mereka menyapa sesuai dengan waktu, seperti: pagi...., siang.., malam...
BalasHapusNamun itu sama juga maknanya, yaitu menyapa orang yang kita lewati.
Bangga saat ini masih banyak yang peduli dan ingin melestarikan budaya indonesia. Semangat...
Wah kalau masih menyapa sih, baguslah. Masih mau ngrorohi, mengenal tetangga
HapusBukunya bangud banget ya Mbak Hartari, sarat budaya dan pendidikan untuk anak-anak disajikan secara menyenangkan lewat bacaan bergambar yang cakep, aku mau nungguin buku cernak bahasa Jawa karyamu yaaa
BalasHapusDoakan ya, teh Dew bisa nulis buku yang bermuatan akar budaya (belajar bahasa Jawa lagi nih, belajar unggah ungguh juga :)
HapusNdherek langkung, permisi mau ikutan mengapresiasi hehehe.
BalasHapusAlhamdulillah yaaaa, jenis karya sastra seperti ini bagus banget untuk mengabadikan bahasa, budaya dan norma sosial kepada anak-anak. Saya juga jadi diingatkan kembali untuk berpunten ria kalau dalam Bahasa Sunda.
Matur nuwun mbak Hartari.
Apresiasi di silakan.... :) mungkin dianggap unik ya. Hari gini masih ada yg bilang ndherek langkung. Tapi itu tata krama. Alangkah lebih baik jika diajarkan sejak dini.
Hapusini kayak nyebut: permisiiiiiii gitu ya mba kalau lewat di tengah tengah sekompulan orang. hehehe....
BalasHapuskalau in english Excuse me gitu ya...
jadi bertambah deh perbendaharaan nanti nanti kalau lewat di tengah tengah orang jawa bilang ini deh : nderek langkung . thank you mbaaa
Iya,... Permisi numpang lewat begitu kira-kira. Enggak ngeliyor aja.
HapusTerima kasih mb Opi
Mantap, Mbak. Soalnya, buku-buku yang mengulas tata krama wabilkhusus lokal Jawa, jarang banget. Siiip pokoknya....Kudoain deh: sukses selalu....
BalasHapusTerima kasih, bung Kafha.
HapusSeharusnya buku seperti ini diperbanyak ya. Bukan cuma untuk bacaan anak, orang dewasa pun nyaman bacanya. Apalagi baca huruf Jawa. Tertantang.
wah buku ini bagus banget sih supaya budaya jawa ini tetap bisa dipelajari anak jaman sekarang, masih teringat dulu jaman aku sekolah SD pelajaran bahasa daerah paling semangat waktu belajar aksara jawa seperti ini. semoga semakin banyak buku anak seperti ini, belajar budaya menjadi menyenangkan
BalasHapusAih keren ya penerbit lingkar antarnusa yang mau menerbitkan karya2 berbahasa daerah. Kapan hari juga sempat lihat menerbitkan buku dengan bahasa daerah timur. Hm, patut ditiru penerbit mayor ini 😁. Btw, nderek langkung terjemahan bhs indonesianya apa ya mbak? Maklum orang jawa timur kan bahasa jawanya campuran gak beraturan 😂
BalasHapusJarang sekali mbak denger kalimat ini. Duh, antara enggak tahu atau enggak mau nerapin, ya. Bukunya bagus, nih. Semoga buku-buku seperti ini makin banyak. Terimakasih mbak ulasannya.
BalasHapusSukaa-sukaa dengan buku dan cara mengajak anak-anak untuk belajar bahasa Jawa dan berbudaya Jawa.
BalasHapusJadi keinget dulu waktu SD buku pelajaran aksara Jawanya itu simpel banget, masih ingat sampulnya warna merah dan kuning. Isinya hanya tulisan dan aksara Jawa saja.. Kalau dulu bukunya ada yang seperti ini pastinya akan senang untuk membaca dan belajar aksara jawa :D
Okeee mau catet bukunya besok kalo punya anak mau kasih tau anakku aja wkw. Bakal jadi tantangan berat sih bagi orang tua zaman sekarang. Dituntut lebih global tapi masih membawa unsur-unsur kedaerahan. Bayanganku, pusing ngajarinnya huhu.
BalasHapusDicontohin saja, Dinda. Biar ananda mencontoh ibundanya :)
Hapus