Senin, 03 Oktober 2022

# Suka-Suka

H E B A T

 

Saya berniat membaca sembari menunggu teman yang sedang menyelesaikan keperluan di kampus Unnes. Tapi, baru saja membuka lembar pertama, tiba-tiba datang dua wanita paruh baya langsung duduk di samping kanan dan kiri saya. 

Ibu yang duduk di sebelah kiri membuka perbincangan dengan temannya yang duduk di sebelah kanan seraya menatap kemegahan kampus Unnes. Konsentrasi saya buyar. Buku hanya saya pegang, sementara telinga mencuri dengar pembicaraan keduanya. 

“Hoalah,... bagus benar kampusnya,” kata ibu sebelah kiri. 

Temannya menyahut, “Iya, Yu. Apik tenan.” 

Dialog keduanya berlanjut. Sahut menyahut. Saya menyimaknya. 

“Pasti arsiteknya pintar.” 

“Orangnya pasti hebat,” Ibu sebelah kanan menambahi. 

“Kalau kita dipasrahi uang jutaan untuk membangun gedung semegah ini, pasti tidak bisa. Tidak jadi gedung. Malah jadinya sambal terasi.” 

“Wah, kalau orang-orang bodoh seperi kita yang membangun, apa jadinya ya?” tanya ibu sebelah kiri. 

“Ambruk,” jawaban ibu sebelah kanan. Keduanya tertawa terkiki-kikik, menertawai ketidakhebatan diri mereka. 


Saya membatin, seperti apakah “hebat” dalam benak kedua wanita tersebut? 

Saya teringat tulisan Samuel Mulia di Harian Kompas beberapa tahun silam. 

Hebat bisa dilihat dari banyak sudut pandang. Orang sudah bisa dikatakan hebat jika dia mampu naik dari nol menjadi nol koma lima, tidak perlu sampai satu. 

Dikatakan hebat jika dia ‘tidak tahu’ menjadi ‘sedikit tahu’. Orang hebat memiliki langkah sejuta, sedang orang tidak hebat mau melangkah saja deg-degan. Tapi anehnya orang hebat tetap menaruh harapan pada orang yang deg-degan. 

Orang yang tidak hebat mampu mengontrol orang yang hebat supaya mereka melatih kesabaran. Orang hebat bisa menjadi tidak hebat di sisi lain, sedang orang tak hebat bisa menjadi menjadi hebat di sisi yang lain pula. 

Sebelum beranjak, kusampaikan pada ibu yang duduk di sebelah kiriku, “Ternyata bukan hanya arsitek gedung ini yang hebat. Tapi, ibu pun hebat. Apa yang bisa dikerjakan arsitek yang merancang bangunan ini jika padanya disodorkan uang sepuluh ribu rupiah? Pasti dia bingung mau diapain uang segini.
Sementara Ibu bisa menyulap uang sepuluh ribu rupiah dengan membelanjakannya untuk makan sekeluarga. Paling tidak bisa menggoreng tempe dan membuat sambal. Apa yang dilakukan ibu belum tentu bisa dilakukan oleh arsitek yang merancang gedung ini. Jadi, Ibu pun hebat.” 

Setelah memberi salam, saya berlalu meninggalkan keduanya yang saya rasa masih memikirkan kata hebat yang saya sandangkan padanya. 

Lamat-lamat saya mendengar percakapan keduanya, “Dengan uang sepuluh ribu, ternyata kita bisa hebat juga ya, Yu.” 

(tulisan lawas dengan perbaikan seperlunya)

2 komentar:

  1. Sukaaa baca ini. Siapapun bisa menjadi hebat

    Lalu.. aku jadi merasa ada law of attraction..

    bapakku yg sedang merenovasi kamar mandi yg umurnya sudah 50tahun, tadi pagi bahas soal bangunan juga. Mendesain dan membangun harus tahu hitungan jumlah besi tulangan, komposisi cor betonnya (volume semen, kerikil, pasir, air), dst, untuk membuat bangunan yg kokoh🏡

    Salam 🧆🥬🍃🍌

    BalasHapus