Rabu, 25 September 2019

Berkarib dengan Buku

September 25, 2019 2 Comments
Ferdin, sahabat kecil saya, siswa kelas 8 sibuk memilih buku cerita yang akan dipinjamnya. Saat itu buku-buku saya tertata di buffet. Setelah beberapa saat, dia tidak menemukan buku bacaan yang dia inginkan. 
“Enggak ada yang tipis, ya?” tanyanya sedikit kecewa. Tak ada buku yang diinginkannya. 

Dua hari berselang, dengan wajah sumringah dia kembali memilih buku. Dipilihnya Totto-chan Gadis Cilik di Jendela. Buku berhalaman 271 itu langsung masuk tas. Pinjam untuk melengkapi tugas sekolah, katanya. Seminggu kemudian buku itu dikembalikan. 
“Sudah dibaca?” antusias saya bertanya.
“Belum,” jawabnya singkat. 

Usut punya usut ternyata buku itu hanya untuk diperlihatkan kepada guru Bahasa Indonesia. Dia memang menyelesaikan tugas membuat ringkasan buku dan bisa menunjukkan buku yang diringkasnya. Sayangnya esensi tugas tersebut yaitu membaca, tidak pernah dilakukan. Ringkasan yang ditulisnya diunduh dari dunia maya. 
Bulan berikutnya dia melakukan hal yang sama. Meminjam buku cerita, lalu kembali mencari ringkasan cerita di dunia maya. Dan hal itu dirasa cukup untuk menuntaskan tugas Bahasa Indonesia. Tugas selesai, mendapat nilai. Itu saja cukup.

Lain lagi cerita Rama. Di antara tumpukan buku yang kini saya letakkan di rak, dia menemukan buku cerita tipis, Legenda Danau Toba. Esoknya buku itu dikembalikan, tugas meringkas isi cerita pun diselesaikan dengan baik, tanpa mengunduh dari jagad maya. Dia pun berinisiatif meminjam buku cerita (tipis) lagi agar bisa menyelesaikan tugas literasi. 

Tidak hanya Ferdin dan Rama. Ternyata minat baca di sekitar tempat tinggal saya sangat memprihatinkan. Beberapa anak yang datang dan meminjam buku untuk tugas literasi, rata-rata meminjam buku dengan jumlah halaman tidak lebih dari 25 halaman dan lebih menyukai buku bergambar, meskipun buku seperti itu lebih tepat untuk anak sekolah dasar. Sementara di kalangan remaja, membaca buku tidak mendapat perhatian. Mereka lebih berminat dengan aneka kejadian yang ada di gawai mereka.

Membudayakan membaca terutama di lingkungan kampung memang bukan pekerjaan mudah. Sebagai bagian dari masyarakat, saya pribadi mencari cara untuk menularkan kegemaran membaca kepada sobat kecil saya khususnya dan masyarakat di sekitar pada umumnya.

Pamer Buku 
Buku yang saya simpan di buffet, akhirnya saya keluarkan dan ditata di rak besar. Konsekuensi kotor dan berdebu tak jadi masalah, karena tamu yang berkunjung atau anak-anak yang datang akhirnya  melirik tumpukan buku, membaca judul, membuka halaman, lalu bertanya tentang isi buku. Sementara majalah anak-anak saya biarkan berserakan, dan anak-anak bisa memilih mana majalah yang akan dibacanya.

Bercerita
Teman saya, Winda dan Aan Wulandari menyedekahkan buku dan majalah. Bagi anak-anak yang lancar membaca, dengan mudahnya memilih dan membaca. Namun bagi anak-anak yang belum bisa membaca, biasanya akan tertarik pada gambar. Khusus anak-anak seperti ini, biasanya saya akan membacakan isi cerita. Tentu saja dengan ekspresi yang meyakinkan agar anak-anak mudah memahami. Di akhir cerita, saya menanyakan kembali isi cerita sesuai dengan potongan gambar. Meski pada akhirnya buku itu dibawa oleh mereka dan tidak dikembalikan. Tapi cara ini bisa jadi sebagai pengenalan anak pada buku.

Promo Buku 
Tidak semua orang mampu membeli buku yang bisa dibilang lumayan mahal. Untuk menarik minat baca, saya mempromosikan buku kepada tetangga yang punya minat baca tinggi, namun harus berhitung dengan kebutuhan rumah tangga. Novel-novel tebal yang tidak banyak diminati anak untuk tugas literasi, nyatanya lahap dibaca oleh para bunda. Saya memfoto beberapa buku, lalu saya tawarkan mana yang akan dipinjam. Sekali pinjam 1 buku, setelah selesai dibaca dan dikembalikan boleh meminjam lagi. Demikian seterusnya. Jika bundanya rajin membaca, maka boleh jadi anaknya pun tertular virus membaca.

Nyangking Buku
Meski terbilang kurang keren, tapi nyangking buku (membawa buku) setiap bepergian nyatanya bermanfaat dan super keren. Setiap bepergian, masukkan satu buku dalam tas. Bisa buku yang belum tuntas dibaca, bisa juga buku yang sudah berulang kali dibaca. Di sela menunggu antrean atau sembari menunggu teman, memanfaatkan waktu dengan membaca buku bisa menjadi pilihan tepat di tengah maraknya aktivitas di dunia maya.
Menukil iklan tempo dulu, jangan tinggalkan rumah tanpa dia, maka jangan tinggalkan rumah tanpa membawa buku.

Salam Literasi

#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga

Senin, 02 September 2019

Nyemprong, Alternatif untuk Sakit Gigi

September 02, 2019 2 Comments
Dalam sebuah lagu bang Meggy Z pernah berdendang, daripada sakit hati lebih baik sakit gigi ini…. Tapi sebenarnya dua-duanya tidak ada yang lebih baik. Sakit gigi yang katanya lebih baik itu nyatanya menyiksa. Tidur terasa cenut-cenut, makan tak nyaman, aktivitas terganggu. Padahal hanya satu gigi yang bermasalah. Sakit pol, engga setengah-setengah. 
Solusinya sebenarnya mudah. Dibawa ke dokter gigi. Ditambal atau cabut sekalian. Tapi masalahnya saya memang takut ke dokter. Ngeri membayangkan gigi saya turun tahta. 
Di sela-sela merayu diri sendiri agar mau ke dokter gigi, eh teman saya, Yani menawarkan untuk mengantar saya terapi Nyemprong. Apa????!!!! 
Yani pun bercerita. Giginya berlubang. Didiamkan, sakitnya makin menjadi. Cekut-cekut katanya. Dia pun mengikuti saran temannya untuk terapi semprong/ nyemprong. Tidak sakit, tak butuh waktu lama, dan biaya terjangkau. Hasilnya? Sejak nyemprong, giginya tak sakit lagi. Akhirnya saya ikuti juga anjuran Yani, menjajal terapi Nyemprong
Piranti Nyemprong
Ternyata nyemprong yang saya bayangkan (menggunakan semprong kaca penutup lampu teplok) beda dengan nyemprong gigi. Piranti yang digunakan cukup sederhana. Batok kelapa yang dilubangi lalu diberi bambu kecil, kreweng (pecahan genting), minyak klentik, batu bata untuk alas kreweng, dan biji terong ngor atau terong susu. Biji terong ngor diperoleh dari daerah Sragen, sementara biji terong susu diambil dari daerah Bandungan. 
Wadah air dan batu bata alas kreweng

Biji Terong Ngor
Mula-mula kreweng dipanaskan di bara arang. Sambil menunggu kreweng panas, Pak parno, sang terapis, menyiapkan wadah berisi air dan sepotong batu bata untuk alas kreweng. Kreweng yang telah panas diletakkan di atas batu bata. Di atas kreweng ditaburi biji terong, lalu ditetesi dengan minyak klentik dan langsung ditutup dengan alat nyemprong. Uap yang dihasilkan inilah yang digunakan untuk pengobatan. Pasien hanya memasukkan alat nyemprong dalam mulut, dengan catatan tidak boleh ditiup ataupun disedot agar tidak tersedak uap atau batuk. 

Terapi Nyemprong/ Tektek
Setelah ditunggu beberapa saat, kreweng diganti dengan kreweng lain yang telah dipanaskan dan perlakuan serupa diulang sampai 5 kali. Nah, saat melepas alat nyemprong untuk mengganti kreweng, tampak kotoran putih mengambang di air bersama dengan biji terong yang hangus. Konon ini adalah ulat gigi, atau kotoran dalam gigi yang berluang tadi. 
Usai nyemprong, saya diminta untuk berkumur dengan air putih dan minum untuk menetralisir suasana mulut. Oleh sang terapis, dianjurkan untuk tidak minum es, makanan manis, dan coklat sekitar 3 hari. Alhamdulillah, cenut-cenut gigi tak terasa lagi. 
Pak Parno pun menyarankan bagi pasien yang ingin berobat sebaiknya sebelum nyemprong, tidak mengonsumsi obat agar hasilnya maksimal dan hasilnya lebih terasa. "Jika pasien mengonsumsi obat, biasanya ulat/kotoran yang keluar hanya 2 atau 3," kata Pak Parno.
Pak Suparno mengambil ulat/ kotoran gigi
Sambil melihat Pak Parno mengambil ulat-ulat yang menempel di batok dan berenang di air, saya bertanya tentang terapi gigi yang sering disebut dengan tektek atau nyemprong
Suparno, yang biasa dipanggil Pak Parno ternyata sudah menekuni terapi nyemprong sejak tahun 2002. Keahlian ini didapat dari orang tuanya yang juga menekuni bidang yang sama sejak 1965. Pak Parno adalah generasi ke tiga dalam urusan nyemprong. Selain mengobati sakit gigi, terapi ini juga bisa digunakan untuk mengurangi bau mulut. 
Pasien yang datang tidak hanya dalam kota tapi luar daerah pun menjajal terapi ini. Tak tanggung-tanggung Pak Parno pun pernah diminta bantuannya oleh beberapa anggota dewan bahkan menteri. 

Jika penasaran dengan terapi nyemprong ini, bisa datang ke kediaman Pak Parno yang beralamat di Terboyo Wetan RT 01/ RW 01, Gang Macan, Genuk Semarang. 

Terapi Nyemprong hanyalah ikhtiar, namun kesembuhan datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.