Tampilkan postingan dengan label Lomba. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lomba. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Desember 2021

Merayakan Kata

Desember 30, 2021 12 Comments
Seorang gadis duduk di sebuah café. Ditemani segelas kopi kekinian dan gawai, dia memegang sebuah buku : The Garden in The Plains, karya Agnes W. Havler. Dia menyempatkan diri mengabadikan aktivitasnya untuk dibagikan ke dunia maya. Mungkin dia ingin mengabarkan bahwa dia sedang membaca, lalu ia kembali menenggelamkan diri lagi dalam buku. Tidak peduli berapa halaman yang dia baca dan berapa lama dia menghabiskan waktu untuk beberapa lembar halaman buku yang ada dalam genggamnya. Namun yang jelas dia sedang merayakan kata, yakni membaca. 
Merayakan kata dengan membaca (foto: Dhedhe Dirgawijaya)

Dalam situasi yang berbeda, saya pun turut merayakan kata. 

Di tengah terkendalanya berbagai aktivitas, ternyata kegiatan literasi denyutnya semakin terasa. Begawan kata turun gunung dengan memanfaatkan fasilitas dunia maya untuk bertatap muka dengan pembaca. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, tak hanya bertatap muka mereka juga membagi ilmu seputar kepenulisan dan promosi buku. Saya, dan mereka yang haus ilmu terpuaskan dahaga. Bersamaan dengan itu muncul kelas-kelas menulis, bincang literasi, baik berbayar atau gratis. Lomba menulis digelar, dibarengi lahirnya buku-buku baru. 

Literasi beresonansi. 
Saya mengulik buku, buku-buku baru dan mengulang membaca buku lawas. Tak sebatas buku, beberapa artikel surat kabar yang tertumpuk dan sebatas dikoleksi, menjadi bacaan yang mengenyangkan. Ada keasyikan tersendiri. 
Dari membaca, saya pun akhirnya merambah belajar menulis. Ilmu yang saya peroleh dari kelas literasi, menggiring saya untuk mengasah kemampuan membaca menulis. Menuliskan kegelisahan, berbagi tips dan pengalaman, atau belajar merangkai kata dan menatanya menjadi sebuah cerita. Pendek saja, tapi memuaskan saya. Ternyata kegiatan ini mengasyikkan, menggembirakan dan menimbulkan rasa ketagihan. Membaca lagi dan menulis lagi. 
foto : Dhedhe Dirgawijaya

Rasanya tak pernah ada rasa sesal apabila akhirnya saya tersesat dalam rimba belantara kata. Semakin banyak membaca, nyatanya semakin saya sadar bahwa masih banyak yang belum saya ketahui. 

Saya turut merayakan kata, sejalan dengan apa yang ditulis oleh Sena Gumira Ajidarma, 

........
Saya kira itulah cara yang baik untuk merayakan keberadaan kata, di tengah dunia yang lebih sering tak sadar bahwa kata itu ada, sehingga menyia-nyiakannya. Namun menulis bukanlah satu-satunya cara, karena masih ada cara lain untuk merayakannya, yakni membacanya.

Dan JNE turut ambil bagian dalam memajukan literasi Indonesia, mengantar buku-buku dan memastikan buku sampai pada pembaca

 

Selasa, 09 Februari 2021

Hari Jadi Kota Ini

Februari 09, 2021 6 Comments
“Ada kue ulang tahun?”
“Mungkin.” 
“Ada badut?” 
“Barangkali.” 
“Tiup lilin?” 
“Entah.” 

Inah, bocah ingusan itu sepanjang jalan tak henti bertanya. Dalam batinnya, ulang tahun pastilah menyenangkan. Ada makanan, permen, balon warna-warni, pita-pita yang dipasang di atas ruangan. 

“Nyanyi lagu happy birthday?” 
“Bisa jadi.” 

Kali ini Inah mendesah, bibirnya manyun. Jawaban yang didapat hanyalah mungkin, barangkali, bisa jadi, angkat bahu, dan berakhir dengan dua kata: tidak tahu. 

Parti, bocah tengil kakak Inah, memang tidak tahu seperti apa pesta ulang tahun yang akan digelar di lapangan pusat kota. 
(dok. pribadi)

“Ada amplop?” Inah belum menyerah. Pertanyaan masih saja diajukan. 
“Amplop?” dahi Parti mengernyit. 
“Seperti di tivi.” 
“Acara apa? Sinetron?” 
“Acara artis-artis.” 
“Ada apa artis-artis?” 
“Kalau ulang tahun bagi-bagi amplop ke anak yatim.” 

Parti menarik nafas. Dia tidak bisa menjawab tumpukan tanya Inah. Tapi Inah nyatanya tak peduli. Dia tetap bertanya. 

“Siapa yang meniup lilin?” 
“Jangan tanya terus. Nanti lihat sendiri.” 

Parti mendesah. Semua tanya Inah, adalah tanyanya. Dia hanya melihat ulang tahun di tivi. Belum pernah merasakan seperti apa ulang tahun atau sekedar datang di pesta ulang tahun. Di kampung, ulang tahun adalah barang mahal. Mimpi. 

Pernah suatu kali Parti memohon untuk bisa merayakan ulang tahun seperti perayaan ulang tahun artis cilik di tivi yang dilihatnya. Pasti menyenangkan. Memakai gaun bak putri raja, mendapat kado, meniup lilin dan memotong tart berhias boneka. 

“Ulang tahun?” tanya Mak. 
“Ya, Mak. Ulang tahun.” Wajah Mamak sontak memerah. Dirayu-rayunya hati agar tidak memarahi Parti, “Tak ada ulang tahun untuk orang miskin, Parti.” 

Jawaban itu diingatnya. Parti diam. Dia sadar, tabu meminta sesuatu yang tak mungkin terwujud. Keinginan untuk ulang tahun seketika pupus. Sampai suatu hari pengumuman di baliho sudut lapangan kota membangkitkan bahagianya. Puncak perayaan ulang tahun kota akan digelar. Dia akan datang ke pesta itu. 

“Kapan?” tanya Mak
“Sekarang, Mak.” 
“Siapa yang ulang tahun? Siapa yang boleh datang?” 
“Kota ini, Mak. Semua boleh datang. Hadirilah puncak perayaan ulang tahun kota, begitu bunyi pengumumannya” 
“Kalau begitu, Mak ikut. Inah juga. Lumayan, bisa makan gratis.” Ah, Mak ternyata ingin menonton pesta ulang tahun juga. 

Suara musik sudah terdengar. Inah tak lagi bertanya. Matanya membulat. Kemeriahan seperti apa nanti? Lapangan pusat kota berubah menjadi lautan manusia. Saling dorong, saling sikut untuk bisa mengambil posisi dekat panggung. Beberapa artis ibu kota mengisi acara. Itu alasan utama penonton merapat maju. Bisa melihat artis dari jarak dekat. 

Sementara di atas panggung, permainan lampu sorot warna-warni dan alunan musik menjadi magnet tersendiri. Meski acara belum dimulai, tapi kemeriahan sudah tercipta. 

“Belum dimulai.” 
“Artisnya belum datang.” 
“Siapa saja.” 
“Banyak. Artis terkenal.” 

Mak senang. Kota memang jauh berbeda dengan kampung tempat mereka tinggal sebelumnya. Di kota ada ulang tahun, bisa ketemu artis. 

Pukul delapan, acara dimulai. Penonton berseru-seru. Penyanyi ibukota tampil. Sayang ketiganya tak bisa melihat jelas. Dari tempatnya berdiri, semuanya tampak kecil. 

Usai dihangatkan dengan lagu-lagu, bapak walikota naik pentas memberi sambutan. Tumpeng besar dikeluarkan, doa dilangitkan. Bapak walikota memotong tumpeng dan menyerahkan simbolis pada seseorang yang berdiri di sebelahnya. Tanpa aba-aba penonton menyanyikan lagu ulang tahun. Parti, Inah tak mau kalah. Suara kecil mereka tenggelam dalam gempita penonton. 

“Sudah potong tumpeng. Waktunya makan,” seru Mak. 
“Ayo makan,” mata Inah berbinar-binar. 

Parti, Inah, dan Mak beranjak menyusuri area luar lapangan mencari makanan. Gerobak dorong berjajar di pinggir lapangan. Nyaris tak ada bangku kosong. Sebagian penikmat malah duduk di tikar yang digelar di belakang gerobak. Aroma sedap memanggil. Mak berhenti di lapak soto. 

“Berapa, Bu?” 
“Tiga.” 
“Minumnya?” 
“Es teh.” 

Ketiganya tak sabar menyantap soto, sesaat setelah terhidang. Lahap. Lahap sekali. Dalam sekejap, soto dan es teh tandas. 
Panggung kembali digoyang alunan dangdut. Mak bersenandung lirih. Lagu favoritnya sedang dinyanyikan sang biduan. 

“Yuk, nonton lagi,” ajak Mak beranjak dari lapak soto. Parti dan Inah membuntuti. 

Baru beberapa langkah ketiganya terhenti oleh teriakan seseorang. 

“Hei, bayar dulu!” Lelaki itu berkacak pinggang.
Mak melotot kaget. 
Parti menyahut lantang, “Katanya pesta ulang tahun. Gratis. Tidak bayar!” 

Lelaki itu mengejar. Mak kaget, dicekalnya tangan kedua anaknya. Mengambil langkah seribu, lari sekencang-kencangnya. Lelaki itu terus mengejar, berteriak-teriak mengata-ngatai. Kasar sekali ucapannya Suaranya tenggelam di antara sorak sorai penonton. Tak ada yang peduli. Mak menerobos kerumunan, menyelinap di antara penonton mencari aman lalu memutuskan pulang. 

“Mengapa kita pulang?” tanya Inah. 
“Sudah malam,” sahut Mak. 
“Kalau pulang nanti-nanti, pasti dikasih amplop,” kata Inah. 
“Tidak ada amplop, Inah. Tidak ada bagi-bagi kue tart, tidak ada badut, tidak ada sulap,” Parti menyeka air mata. 
“Tidak ada makan gratis,” suara Mak tersendat. 

Malam pekat, langit berhias kembang api warna warni ditingkah riuh rendah teriakan suka cita. Ketiganya berjalan dalam sepi. Inah tak henti bertanya.

“Ini bukan ulang tahun, Inah. Namanya Hari Jadi. Makanya yang ada hanya nyanyi-nyanyi. Mengerti, Inah?”

Inah mengangguk. Tahu. 

“Tidak ada ulang tahun untuk kita, Inah.” Mak menimpali. Suaranya tercekat. 
***
Semarang, 9 Februari 2021




Sabtu, 16 Januari 2021

Kado Ulang Tahun dari Ayah

Januari 16, 2021 33 Comments
Cerpen

Tak ada sejumput keberanian menatap wajahnya. Tapi ujung mataku sempat menangkap air mukanya. Wajahnya tampak tenang. Tidak ada amarah yang diluapkan. Tidak ada kesumat yang dilampiaskan. Lalu tamparan tangan yang baru saja melayang di pipiku, apa artinya? Sakit.Tapi sesaat kemudian justru ada yang lebih menikam, meninggalkan gurat dalam. Bak prasasti, yang akan selalu kuingat. 

Hari itu, di Februari yang hujan, di dua puluh tahun usiaku. 

foto: Pixabay

Kau kenal ayahku? Coba kuceritakan sedikit saja. Karena terlalu banyak kata untuk menggambarkannya. Ayahku adalah lelaki istimewa dalam hidupku. Beruntung sekali ibu mendapatkan lelaki terbaik di dunia. Lelaki yang memenuhi seluruh kriteria sebagai pasangan hidup. Spesial. Begitulah kira-kira ibu menyebutkan sosok ayahku. 

Bagiku, putri tunggalnya, ayah adalah sosok teladan. Jika ibu menyebut beliau sebagai lelaki nomor satu di dunia, maka aku pun tak segan untuk mengalungkan predikat padanya sebagai ayah nomor satu di dunia. 
    
Ayahku adalah narasi tentang bahagia. Bahkan nyaris tak menyisakan ruang untuk kesedihan saat berada dalam bimbingannya. Andai aku seorang yang piawai menulis, maka akan kutuliskan setiap momen bersama ayah. Mungkin akan menghabiskan berlembar kertas, atau bisa saja sampai tersusun menjadi sebuah buku. Sebuah cerita tentang bahagia.

*
"Dua puluh, Ayah. 22 Februari nanti.” 

"Aih…sudah dewasa anak ayah. Sudah adakah pria yang kelak akan menggantikan tanggung jawab ayah?” pertanyaan ayah mulai mengarah pada sosok. Sebut saja pacar. Ayah senyum-senyum kecil. Ah ayah, bukankah aku belum boleh berpacaran? 
    
Aku menggeleng. Naksir-naksir sih, pernah. Sekedar digombalin sering. Tapi belum waktunya. Belum kukantongi surat ijin pacaran. 
    
“Kadonya apa,ya?” tiba-tiba ayah bertanya sembari mengetuk-ketuk ujung telunjuknya ke kening. Pertanyaan rutin jelang pertambahan usiaku. Artinya, ayah akan memberi kado tepat di ulang tahunku. Aku selalu gembira mendengar kata kado ulang tahun. Mengapa? Karena kado ulang tahun dari ayah selalu berkesan. 
   
Di ulang tahun pertamaku, aku mendapat kado boncengan sepeda yang diletakkan di stang. Konon, aku selalu menunjuk benda itu. Merengek-rengek minta dibawa keliling kampung naik sepeda. 

Ulang tahun kedua? ketiga? tahun-tahun berikutnya? Ah, ibu lupa mencatat hadiah apa yang diberikan ayah untukku. Tapi dari cerita ibu, ayah selalu memberi kado tiap pertambahan usiaku. 
    
Saat sekolah dasar dan mulai tahu bahwa ulang tahun adalah momen meniup lilin, mendapat kado, memotong kue atau nasi tumpeng yang sangat kudambakan, justru ayah mengagendakan acara yang menyenangkan. 
    
Nduk!” panggil ayah. 

Aku menghampiri tapi ragu-ragu melangkah karena di luar hujan menderas. Kau tahu? Hadiah ulang tahunku : Hujan-hujanan. Saat sebagian anak-anak merengek-rengek minta ijin untuk merayakan keberkahan air yang tercurah dari langit, justru aku dengan bebas menari dibawah rinai hujan. Dari beranda rumah, ibu tampak tersenyum. 

Hari itu, di Februari yang berhias hujan. 


Usia sekolah menengah pertama, aku diajari memanjat pohon mangga di pekarangan rumah yang baru saja berbuah untuk pertama kali. Akhir putih biru aku diajari memompa sepeda. Terlihat aneh, tapi kado ulang tahun ayah selalu berkesan. 
    
Tujuh belas tahun. Kau bisa menebaknya, bukan? Ya. Aku diajak ke rumah Pak RT, Pak RW, kelurahan, kecamatan. KTP adalah jawabannya. Sah sudah aku menjadi salah satu warganegara yang sudah bisa menyalurkan suara di pemilihan umum. Kartu warna biru itu juga menjadi kartu sakti untuk mengurus segala keperluan. Surat Ijin Mengemudi adalah salah satunya. Tapi ayah tak kunjung membawaku untuk mengikuti ujian SIM C.
    
“Nanti, kalau sudah dewasa.”
   
 “Tujuh belas usia dewasa, Ayah.” 
    
“Masih remaja. Tunggu sampai dua puluh.” 
    
Mungkin itu jawaban untuk mengulur waktu karena tabungan ayah belum cukup untuk membeli sepeda motor baru.
 
Semuanya akan terealisasi di usia dua puluh. SIM C, naik motor, pacaran, nonton film bersama teman kuliah, apalagi? Banyak. Akan banyak sekali episode baru yang akan kulakukan nanti. Tak sabar menunggunya. 


    
Usia delapan belas. Ayah dan ibu mengajakku nonton film. Untuk pertama kali aku masuk gedung bioskop. Haha…terdengar lucu. Tapi itulah yang terjadi. Aku menonton film animasi besutan Disney. Sebuah catatan bersejarah untuk remaja yang hidup di abad dua puluh satu.
 
Setahun sebelum usia kepala dua. Ayah ibu membawaku nonton wayang orang. Pontang-panting aku memahami dialog para anak wayang. Ibu menerjemahkan. Pesan moral yang kutangkap, kebaikan akan mengalahkan angkara. Kesuksesan harus melewati ujian. Aku menikmatinya. 

Hidupku datar tapi bahagia. Kasih sayang berlebih tapi gelitik tanya muncul juga. Saat di luar teman-teman iri dengan bahagiaku, justru aku memimpikan kemarahan ayah, pukulan ibu, dan hukuman lain yang memberi warna hidupku yang bisa kuceritakan kelak nantinya.
 
“Tidak ada alasan untuk dipukul, dimarahi, atau dihukum.” Itu penjelasan ibu. 

Bagaimana jika suatu saat aku memberontak? Pasti aku akan kena marah, lalu dipukul. Bagaimana rasanya? Tapi…tunggu dulu. Aku tidak ingin melukai hati ayah dan ibu. Aku tidak ingin jadi jambu mede (haha…cerita jelang tidur yang masih kuingat, tidak masuk akal, tapi bisa saja terjadi). Aku takut kualat. 


Dua puluh dua Februari akhirnya menghampiri. Hari yang kutunggu. Seperti biasa, tak ada kue, tak ada ucapan ulang tahun. Tapi aku yakin, ayah telah menyiapkan kado.
 
Nduk!”
 
Dalem,” sahutku. 

Tak bisa kusembunyikan rasa bahagiaku sekaligus penasaran. Kulihat ayah dan ibu sedang bersantai di ruang tengah. Aku menghampirinya. Ayah berdiri tersenyum menyambut. Ah ayah, mengapa harus menyambutku. Aku bukan anak kecil. Tak kuduga, ... sekonyong-konyong….   

PLAK! PLAK! 
    
Aku tergagap. Tangan kekar itu dua kali melayang ke pipi. Panas, sakit! Kutarik nafas panjang, sekuat tenaga menguasai emosiku. Aku ingin marah, tapi mulutku terkunci rapat. Apa salahku?

Aku menunduk. Ujung mataku menangkap rona tenang ayah. Tidak amarah, tidak ada kesumat. Ada apa dengan ayah?
    
Nduk,…” suasana senyap. Degup jantung seakan lindap, siap untuk menerima pukulan lagi. 
   
“Ini adalah pertama dan terakhir kali ayah menamparmu. Setelah ini tak akan ada lagi. Kau telah dewasa. Sudah mampu membedakan hitam dan putih. Hidupmu ada di tanganmu. Apa pun yang akan kau lakukan menjadi tanggung jawabmu.” 

Usiaku telah dewasa. Aku mencerna kalimat ayah. Sangat dalam maknanya. 


Hari itu,  Februari yang memesona, aku mendapat kado dari ayah. Kado istimewa yang bisa kuceritakan kelak nantinya. Tapi kuceritakan sekarang. Padamu.

*** 
Nduk         : panggilan untuk anak perempuan (Jawa) 
Dalem       : saya (Jawa); biasanya digunakan untuk menjawab panggilan orang tua 

Semarang, Januari 2021 




Sabtu, 05 September 2020

Saya ke Cimory, Kamu Mau Kemana?

September 05, 2020 5 Comments
Saya ke Cimory, kamu mau kemana? Kalau memang belum ada tujuan, ikut yuk ke Cimory. 
Memang sih saat ini kita berada di era Adaptasi Kebiasaan Baru. Tapi, jika kita patuhi aturan protokol kesehatan, insyaAllah aman kok.
Cimory on The Valley (foto:dok.pribadi)

Dari melihat tayangan iklan susu di televisi, terbitlah keinginan untuk piknik ke Cimory on The Valley yang berkonsep wisata edukasi. Bayangan semula hanya rekreasi hore-hore, eh ternyata malah lebih. Lebihnya, bisa mengenal beberapa jenis sapi perah, melihat-lihat hewan ternak, memberi makan beberapa hewan peliharaan, naik kuda, keliling dunia (keren to), membeli aneka buah tangan, dan tentu saja ritual cekrak-cekrek untuk dipamerkan di jagad maya. 
Cimory on The Valley. Jaraknya dekat saja, sekitar 25 km dari pusat Kota Semarang, tak lebih dari satu jam berkendara. Tidak perlu mblusuk-mblusuk karena lokasinya berada di pinggir jalan raya, tepatnya di Jl. Sukarno Hatta Km 30, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang. 
foto:dok.pribadi
Begitu memasuki pintu masuk, kita disapa oleh deretan sapi Ayrshire, Frisian Holstein, dan Guernsey. Species sapi perah penghasil susu berkualitas. Pihak pengelola menambahkan keterangan yang tertempel di kandang berupa jenis sapi, jumlah susu yang dihasilkan, negara asal, dan berat ideal sapi. Jadi kita tidak sekedar melihat sapi, tapi bisa nyuplik pengetahuan tentang si moo. 
Sapi Frisian Holstein (foto : dok.pribadi)
Selanjutnya berjalanlah menuju kandang-kandang kecil tempat beberapa hewan dipelihara. Jika biasanya hanya bisa melihat dari gawai, sekarang bisa melihat hewannya secara langsung. Rusa, ayam Poland, ayam kapas, kura-kura, dan masih banyak lagi. Eit, jangan lupa. Perhatikan juga larangan yang tertera. Jangan terlalu dekat dengan burung unta dan kuda. Cukup melihatnya dari jarak aman. Kalau penasaran dengan telur burung unta, tak perlu memegangnya. Lha wong telurnya nyaris sebesar bola voli. Dilihat dari jauh pun bisa. 
Rumah Hobbit (foto:dok.pribadi)
Puas melihat aneka hewan peliharaan, kita akan berkunjung ke rumah hobbit. Tak perlu lama-lama, si empunya rumah tidak tinggal di situ. Kita cukup berfoto saja lalu melanjutkan perjalanan dengan memberi makan beberapa hewan, seperti domba dan kelinci. Lucuk. Terutama domba ekor gemuk yang ekornya menggemaskan. 
Mini Mania (foto:dok.pribadi)
Lanjut, kita keliling dunia ya. 
Jika rumah pacarmu dekat dan hanya perlu lima langkah dari rumah. Maka kita akan keliling dunia, cukup tiga puluh menit kalau mau. Tapi kalau masih kepingin berlama-lama, boleh juga. Dimana lagi kalau bukan di Mini Mania. 
Beberapa bangunan ikon dunia (foto: dok. pribadi)
Area ini menyuguhkan miniatur bangunan dari 5 benua. Sebut saja patung Merlion, gedung Opera House, patung Liberty, Piramida, Spink, menara Eiffel, dan lainnya. Pengunjung pun bisa bernostalgia dengan kotak telepon negeri Ratu Elizabeth, si kotak merah yang ikonik. Di tiap-tiap anjungan, pihak pengelola menambahkan keterangan tentang sejarah bangunan megah tersebut. 
Jadi, siapkan kamera dan pose yang fotogenik ya. Abadikan seluruh bangunan. Elus-elus, sambil melambungkan harapan di suatu saat nanti kita bisa berkunjung ke bangunan aslinya. Eh siapa tahu, cara kuno ini berhasil.
foto:dok.pribadi
Sebelum meninggalkan Cimory, mampir dulu untuk membeli buah tangan. Banyak pilihan yang bisa dibawa pulang. Susu, permen, jajan khas Kabupaten Semarang. Aneka boneka binatang pun tersedia. 
foto:dok.pribadi
Nah, berhubung kita masih berada di era Adaptasi Kebiasaan Baru, ada baiknya kita peduli dengan protokol kesehatan saat kita berada di luar rumah khususnya saat berwisata. Tentunya pastikan kondisi tubuh sehat. Jika tubuh sehat, puaslah hati menjelajahi area. Cek suhu tubuh terlebih dahulu. Jangan lupa selalu kenakan masker. Setelah memegang permukaan benda, usaplah tangan dengan hand sanitizer, namun akan lebih baik lagi jika membasuh tangan dengan sabun dan air yang mengalir. Kita pun harus menjaga jarak aman, tidak perlu uyel-uyel an. Areanya luas kok. 
Sumber: Kemenkes RI
Meski pihak pengelola sudah melakukan protokol kesehatan dengan menyediakan tempat cuci tangan dan kontrol suhu tubuh, namun butuh kesadaran diri juga to? 
Bagiamana? Kepingin ke Cimory juga? Yo wis, berangkat kuy
Selamat berwisata. Indonesia, bagus! 

Kamis, 03 September 2020

Kebelet Piknik? Yuk ke Candi Gedongsongo

September 03, 2020 2 Comments
Kebelet piknik? 
Kalau memang sudah kebelet piknik dan sudah tidak bisa ditahan lagi, yuk jalan-jalan ke kawasan Bandungan. Menguapkan penat dan jenuh setelah beberapa bulan melakukan aktivitas dari rumah. Memang sih, ada tour virtual. Tapi ya itu, lagi asyik-asyiknya nonton eh ditelikung sinyal dan berhitung dengan kuota. Makanya, kebeletnya tidak bisa dituntaskan.
Berhubung saat ini masih berada pada masa adaptasi kebiasaan baru, maka tujuan wisata yang paling cocok adalah wisata di alam terbuka. Dan wisata sejarah adalah salah satu alternatif yang menyenangkan. Mari mengusir bosan sembari menabung kenangan. Kita ke Candi Gedongsongo ya.... 

Candi Gedong Songo 
Situs Candi Gedongsongo berlokasi di Dusun Darum, Candi, Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Butuh waktu sekitar satu jam berkendara dari ibukota Jawa Tengah. Kompleks candi ini berdiri di atas bukit yang mempunyai ketinggian antara 1200-1300 meter dpl. Tak heran hawa sejuk langsung menyergap saat memasuki kawasan ini. 
Pintu gerbang kompleks candi Gedongsongo (foto pribadi)
Candi Gedongsongo masuk dalam cagar budaya berdasar Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI No PM24/PW.007/MKP/2007. Sebagai bangunan cagar budaya maka keberadaannya dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan pariwisata. 
Merunut keterangan, Candi Gedongsongo merupakan candi Hindu berdasarkan ciri arsitekturnya. Kompleks Candi Gedongsongo terdiri lima kelompok candi yang terpencar-pencar, yaitu candi I, II, III, IV, dan V. Penomoran berdasar letaknya yaitu mulai dari yang terendah sampai candi yang tertinggi. Candi I, II, IV, dan V masing-masing terdiri atas satu candi. Sedang candi III terdiri atas tiga candi. Bahan pembuatan candi berupa batu andesit, namun pada Candi II, IV, dan V batunya agak putih, kemungkinan dipengaruhi oleh belerang, mengingat lokasi candi tersebut berdekatan dengan mata air panas. Aih, ternyata untuk menentukan suatu candi yang dianggap sudah tua, patokannya adalah apabila candi tersebut memiliki bentuk tambun dengan memakai hiasan yang lebih sederhana. 

Kelompok Candi I. Berada pada ketinggian 1260 m dpl. Letaknya paling dekat dengan pintu masuk Kompleks Candi Gedongsongo. Kelompok Candi I hanya terdapat sebuah bangunan yang masih utuh dengan arah hadap ke barat. 
Candi Gedong I (foto:pribadi)
Kelompok Candi II. Letaknya 1270 m dpl, letaknya sekitar 337 m ke arah barat laut kelompok Candi I. Ada dua buah Candi yaitu Candi IIA yang terbesar dan Candi IIB yang berhadapan dengan Candi IIA. Namun bentuk bangunan Candi IIB tidak diketahui karena yang tersisa hanyalah bagian batu saja. 

Kelompok Candi III. Berada pada ketinggian 1298 m dpl, jaraknya 118 m dari Candi II. Terdiri atas 3 bangunan candi yang masih utuh yakni Candi IIIA, IIIB, dan IIIC. Candi IIIA bangunannya paling besar menghadap barat. 

(foto:Emi Tri)
Kelompok Candi IV. Berada pada ketinggian 1300 m dpl, jaraknya 220 m ke arah barat kelompok Candi III. Berdasar susunan bangunannya kelompok Candi IV dibagi menjadi 2 bagian yakni bagian utara dan bagian selatan. Bagian utara terdiri 4 bangunan dan di bagian selatan terdapat 9 bangunan. Bangunan yang masih berdiri utuh di antara kedua bangunan tersebut adalah bangunan di bagian selatan yang merupakan candi induk kelompok IV. Candi induk inilah yang disebut sebagai Candi IV. 

Kelompok Candi V. Berada pada ketinggian 1310 m dpl, berjarak kurang lebih 507 dari kelompok Candi I. Pada kelompok Candi V terdapat 2 buah halaman yang tidak sama tingginya. Pada halaman pertama terdapat 2 reruntuhan candi yang posisinya mengapit satu candi yang masih berdiri. Sementara di halaman kedua terdapat 3 reruntuhan candi. 

Untuk bisa masuk kawasan candi pengunjung cukup merogoh kocek Rp 10.000,oo/orang dan bisa menikmati keindahan dan keagungan peradaban masa lampau ini dari jam 08.00 – 17.00 
Candi Gedong I
Sedikit tips, karena jalanan menuju candi cukup menanjak, hindari memakai alas kaki berhak tinggi. Dan karena jarak antar candi lumayan jauh maka perlu stamina ekstra untuk bisa mengunjungi seluruh candi. Namun jika ingin menghemat tenaga, pengunjung bisa menyewa kuda mengelilingi area candi. Menyenangkan, bukan? 

Hal lain yang perlu diperhatikan, saat mengunjungi kawasan cagar budaya ini kita harus tetap menjaga kebersihan, tidak diperkenankan memanjat bangunan candi, tidak melakukan aksi corat-coret, dan tidak merokok. 

Ayanaz
Masih di kompleks Candi Gedongsongo, ada area spot foto cantik : Ayanaz. Diluncurkan pada pertengahan tahun 2018, tak butuh lama untuk menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Apalagi kalau bukan untuk pepotoan. Nyaris setiap pengunjung melakukan ritual cekrek-cekrek. Wajar jika slogan “Tak Ada Tempat Seindah Ayanaz” tertulis di dekat pintu masuk. 
Ayanaz (foto:pribadi)
Biaya masuk spot foto Ayanaz Rp 20.000,oo untuk dewasa, sementara anak-anak dipungut tarif Rp 10.000,oo (th 2019). Buka sejak pukul 8 pagi hingga 5 sore. Di dalam area ini terhampar bermacam spot foto yang memanjakan. Sangkar (dome), balon udara, gelembung balon, underwater sofa dan lainnya. Khusus untuk gelembung balon, dikenakan biaya tambahan Rp 5.000,oo.Setiap spot foto di Ayanaz ditata apik dan kekinian. Apalagi balon udara warna-warni bak berada di Cappadocia Turki.
Spot foto bubble (foto:pribadi)

Spot foto balon udara (foto:pribadi)
Sedikit tips, jika ingin mendapatkan foto yang bagus disarankan datang pagi karena cahaya mentari tidak terlalu menyilaukan. Jadi posemu lebih cantik tertangkap layar kamera. 
Oiya, karena semakin siang pengunjung semakin banyak dan ingin mengabadikan setiap spot foto yang tersedia, maka diperlukan tepa slira. Bergantian ya dalam menggunakan wahana yang ada. 
(foto:pribadi)
Dan yang perlu diingat, pandemi belum berakhir. Meski keran wisata sudah mulai dibuka, bukan berarti pengunjung merasa bebas dan seenaknya lalu abai dengan protokol kesehatan. Tuntaskan saja rasa kebeletnya dengan berwisata namun tetap menjaga gaya hidup sehat dan mematuhi aturan kesehatan saat berada di luar rumah apalagi saat berwisata. Yakni selalu mengenakan masker, mengecek suhu tubuh, mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir, menjaga jaga jarak aman, dan siapkan juga hand sanitizer. Akan lebih baik jika mengenakan busana lengan panjang. 
Selamat bertamasya. Indonesia, bagus! 
sumber:Kemenkes RI