Kamis, 23 April 2020

# Cerita # Lomba

Bubur Baning

Cerpen

Aku mengenal jenis makanan ini dengan nama bubur sumsum. Bubur berbahan tepung beras dan santan. Beberapa orang menyebutnya jenang sumsum. Biasanya disantap dengan kinca dari gula merah sebagai pemanis. Bubur ini akan terasa lebih sedap jika dimasak bersama daun pandan. Aroma harum akan tercium bahkan saat masih di atas perapian. 

Saat usiaku belia, Ibu sering membuat beraneka bubur. Bubur ketan hitam, bubur candil, bubur mutiara dan tentu saja bubur sumsum. Selain sebagai teman menikmati sore, terkadang bubur itu dibagikan pada teman-teman bermainku. Bubur buatan Ibu ditempatkan dalam takir, wadah yang terbuat dari daun pisang. Usai bermain kami beramai-ramai menyantapnya menggunakan suru, sendok dari daun pisang. 

Menjelang ujian kelulusan kelas enam sekolah dasar, Ibu membuat bubur sumsum yang disebut Ibu dengan nama bubur baning. Wujudnya sama persis dengan bubur sumsum, hanya namanya yang berbeda. Saat kutanyakan perbedaan antara bubur baning dan bubur sumsum, Ibu tidak memberikan jawaban. Dan sejak itulah, aku mengenal nama bubur baning dan menjadi tradisi menjelang ujian. 

Di suatu saat, dua hari setelah adikku khitan, Ibu membuat bubur sumsum alias bubur baning dalam jumlah banyak. Waktu itu tahun ajaran baru berjalan seminggu, belum ada ulangan bahkan ujian akhir semester. Saat kutanya alasannya, beliau hanya menjawab, “Sudah, tidak usah tanya-tanya. Tolong antarkan bubur ini pada Bu Walini, Bu Marzaini, ....” 
Ibu menyebut beberapa nama tetangga yang telah membantu saat Ibu mengkhitankan adikku. Saat menerima hantaran, Bu Walini segera membukanya, mengucap terima kasih sambil berkomentar, “Owalah... bubur kesel.” 
Satu nama lagi disematkan pada bubur dengan tekstur lembut itu. Dan sekarang bubur sumsum bersalin nama meski serupa: bubur sumsum, bubur baning, dan bubur kesel. 
“Tergantung niatnya,” jawab Ibu datar, saat tanyaku mulai menumpuk. 
“Nama sebenarnya bubur sumsum. Mengapa? Ibu juga tidak tahu. Sejak dulu seperti itulah namanya,” kata Ibu, “Simbahmu dulu menyebut bubur sumsum dengan nama bubur baning kalau paklikmu mau ujian. Tujuannya agar paklikmu merasa wening. Pikirannya tenang, bisa mengerjakan ujian dengan baik,” tambahnya. 
“Bu Walini kemarin menyebut bubur kesel,” tanyaku lagi. 
“Dinamakan bubur kesel, tujuannya untuk memulihkan tenaga setelah beberapa hari bekerja keras. Kau tahu kan, mereka banyak membantu saat khitanan adikmu. Nah, setelah makan bubur kesel maka badan yang terasa lelah langsung terasa segar.” Penjelasan ibu panjang lebar. 
Aku asal mengangguk. Tidak tahu apakah ada korelasi antara badan lelah dengan bubur kesel ataupun pikiran tenang dengan bubur baning. Aku tidak membantahnya namun tak juga mempercayainya. 

Meski Ibu sering membuat bubur baning pada kami, anak-anaknya, saat akan menempuh ujian dan dibagikan pada tetangga, anehnya tak ada satu pun dari mereka yang berkomentar, “O... bubur baning.” 
Ternyata mereka tak pernah mengenal nama bubur baning. Hanya nama bubur sumsum atau bubur kesel yang familiar bagi mereka. Dan hanya Ibu yang menyebut bubur sumsum menjelang ujian dengan sebutan bubur baning. 

Antara percaya dan tidak, kebiasaan Ibu membagi bubur baning kulungsur juga. Saat anak-anak bimbinganku akan menghadapi ujian akhir, aku pun dengan suka rela membuat bubur baning. Tidak ada tanya dari mereka mengapa sore itu aku membagikan bubur baning. Mereka hanya menikmati tanpa memberikan komentar. 

Empat hari ujian berlangsung dengan lancar. Anak didikku tak mengeluh tentang soal yang rumit dikerjakan. Semua berjalan dengan sukses, hanya tinggal menunggu pengumuman. 
Saat hasil ujian diumumkan, mereka berhasil lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, jauh di atas rata-rata sehingga bisa masuk sekolah lanjutan yang mereka inginkan. Aku bangga akhirnya bisa mendampingi mereka setelah tiga tahun bergulat dengan pelajaran sekolah menengah pertama. Dan bubur baning tempo hari kuanggap sebagai kebetulan yang menyenangkan. 

Tahun berikutnya tak ada tradisi bubur baning. Aku tidak sempat membuatnya karena baru saja pulang dari luar kota. Rasa lelah menjadi sebab tak hadirnya bubur baning sore itu. Berselang beberapa minggu, aku harus puas mendengar kelulusan anak didikku dengan nilai yang kurang memuaskan. Sekolah favorit pun cepat-cepat diusir dari mimpi mereka. Aku nelangsa dan cepat menyalahkan diri sendiri. Tapi tiba-tiba aku teringat akan bubur baning yang dengan sengaja kuhilangkan dari jadwal tetap menjelang ujian. Ah, sudahlah. Ingin kulenyapkan saja pikiran tentang bubur itu. Biarlah bubur baning seperti bubur sumsum biasa. Enak dimakan apapun momennya. Namun perihal absennya bubur baning ternyata tak bisa lepas begitu saja dari memoriku kala itu 
“Jangan lupa bikin bubur baning, meski cuma semangkok,” suara Ibu di ujung telepon. 
"Bu, ternyata latihan ujiannya..." kalimatku terpotong
“Lusa Ibu datang.” Ibu menutup telepon tanpa mendengar penjelasan lebih lanjut

Jujur saja, jaman sudah berganti. Kurang relevan jika harus mengaitkan bubur baning dengan nilai ujian. Terlebih rasa khawatir akan jatuh pada kesyirikan. Kelulusan ditentukan oleh ikhtiar dan doa, bukan bubur baning. Namun telepon dari Ibu membuatku harus mematuhinya. 
Akhirnya tradisi bubur baning yang sudah beberapa tahun kutinggalkan harus kujalankan demi menghormati Ibu. Meski belum ada kepastian mengenai try out, tapi mendengar kata latihan ujian, maka bubur baning adalah kewajiban. Dan kendati Erika pun telah mengikuti bimbingan belajar, memanggil guru les privat, berlatih soal-soal ujian dari buku, namun bubur baning adalah penyempurnanya. Itu perintah Ibu.

Siang itu Ibu datang. Beliau memang selalu menyempatkan diri berkunjung jika anak atau cucunya akan menempuh ujian. Ujian apa pun. Ujian kursus komputer, ujian kursus menjahit, ujian kursus bahasa inggris, bahkan latihan ujian yang belum pasti. Asalkan ada embel-embel ujian. 
Kukatakan pada Ibu tempo hari lewat telepon bahwa Erika baru akan menempuh try out, latihan ujian, itu pun belum ada kepastian  tetapi Ibu bersikeras ingin datang.

“Mana Erika?” tanya Ibu.
“Mengantar bubur baning ke tetangga sebelah.” 
Sebenarnya aku tidak ingin membuat bubur baning mengingat situasi sekarang ini. Tapi karena Ibu datang, maka pagi tadi terpaksa aku membuatnya daripada dianggap tidak patuh pada tradisi. 

Tak lama Erika datang, mencium tangan Ibu dan bergegas ke dapur mengambil bubur baning miliknya yang kuwadahi dalam takir, persis seperti saat Ibu membuat bubur baning untukku dulu. Erika tampak antusias. 
“Wadahnya aneh ya, Ma,” komentarnya. Erika meletakkan bubur baning di atas meja.
“Ini sama dengan bubur sumsum, kan Eyang?” tanyanya penasaran. Mungkin sama denganku dulu saat melihat bubur sumsum berubah nama menjadi bubur baning. 
Ibuku mengangguk, “Biar besok pikirannya wening, jernih, tenang. Kalau pikiran tenang, pasti bisa mengerjakan soal ujian dengan baik dan mendaparkan nilai sempurna.” 
Erika ber oh panjang, “Tapi Eyang...” kalimatnya belum sempurna saat Ibu menyuruhku menambahkan kinca. 
“Tolong kincanya,” pinta Ibu. 
Aku menyiramkan dua sendok kinca gula merah di atas bubur baning. Ibu segera menyendoknya lalu mengacungkan jempol. Aku tersenyum. Aku sudah biasa membuat bubur sumsum untuk teman ngeteh, namun baru kali ini Ibu mencicipi bubur buatanku. Atau mungkin saja nilai kesakralannya berbeda. Ah, sudahlah.

“Mau pakai kinca, Erika?” 
Erika menggeleng, “Pakai sirup aja, Ma.” 
Ibu tiba-tiba menghentikan suapannya begitu mendengar jawaban Erika. Erika mencomot pisang kukus, mengupasnya lalu dipotong kecil kecil. Dengan hati-hati dia letakkan potongan pisang, lalu menuangkan sirup di atas bubur. Tak lupa ia mengambil es dari kulkas, mengancurkan menjadi butiran kecil lalu ditabur di atas buburnya. 

Detik itu juga ruangan senyap. Ibu tertegun. Aku diam. 
“Buburnya persis dengan foto yang ada di internet, Eyang. Cantik ya,” Erika memandang kagum bubur kreasinya lalu mengabadikannya dalam ponsel, dijadikan status. 
“Sekarang, kita cicipi,” katanya menirukan gaya chef di televisi. 

Ibu menatapku. Aku membalas tatapan Ibu yang dipenuhi tanya, sementara Erika begitu menikmati bubur kreasinya. Bubur baning yang bersalin rupa. Bubur baning yang sakral itu menjadi penganan yang berbeda saat berada di tangan Erika. Anak itu pasti tidak tahu alasan yang sebenarnya. 

“Maaf, Bu,” kataku meminta maaf pada Ibu. 
Erika membuat sedikit keonaran dalam setakir bubur putih itu. Dia selalu makan apa adanya, bubur dan kinca, tanpa ada variasi apa pun. Tapi hari ini lain.

“Sebenarnya,” aku menata kalimat agar tidak melukai hati Ibu. 
“Katakan padanya, apa makna dibalik bubur itu. Baning, biar wening saat ujian nanti.” 
“Tapi,..” 
“Belum pernah aku melihat bubur baning menjadi bubur entah apa namanya. Tapi aku tetap berdoa semoga cucuku bisa mengerjakan ujian esok hari,” kata Ibu sedikit kesal. 
“Bu, sebenarnya kami sedang menunggu tentang kepastian latihan ujian sekolah,” jelasku.

“Ma, ada pesan dari Bu guru,” Erika menyodorkan ponsel. Aku membuka grup wali murid. Pemberitahuan tentang hasil keputusan rapat. Isinya sudah kuduga. Try out ditiadakan, ujian juga ditiadakan, belajar di rumah sampai waktu yang belum bisa ditentukan, sebagai gantinya murid harus mengerjakan tugas-tugas yang diberikan melalui daring. 

“Tidak ada ujian, tidak ada try out, Erika.” 
Erika merengut. Pergulatannya dengan soal-soal menghadapi ujian seolah tidak berguna. 

Dengan tenang ibu berbisik padaku, “Kau tahu apa sebabnya? Karena Erika telah merubah bubur baning menjadi bubur lain. Kasihan cucuku. Susah payah belajar, eh malah tidak ada ujian,” Ibu mencibir seraya menggeleng-gelengkan kepala. 

Ruangan senyap, sementara layar kaca menayangkan perkembangan pandemi yang melanda bumi 

*selesai*

12 komentar:

  1. Aku juga baru tahu nama lainnya bubur sumsum. Dan jadi kangen makan bubur sumsum eiy

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku pun baru tahu. Ngertine mung bubur kesel

      Hapus
  2. Aku fans berat bubur sumsum, baru tahu ada nama lainnya nih, barusan makan 2 hari yang lalu. Apik mbak ceritanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Orang dulu banyak mengaitkan dengan ini itu. Kitorang manthuk manthuk wae hehe..

      Hapus
  3. Baiklah, ntar klo anakku mau ujian kubuatkan bubur baning yang dimakan pake pisang, roti, meses dan apalah itu. Biar langsung lulus saja ga pake ujian. :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mama Vivi mau masak bubur sumsum? Asiiik...tak sabar ngicipinya

      Hapus
  4. Wah ada cerita juga tentang bubur sumsum ini. Waktu adik ipar nikah, aku udah akrab dengan suami sehingga diminta jadi penerima kado. Sepasar kemudian ibu mertua minta aku datang, untuk makan bubur kesel. Aku nggak doyan, sampai dipaksa ibu, disuapi satu sendok sbg syarat, hihii

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, namanya ganti bubur kesel. Padahal sama saj dengan bubur sumsum

      Hapus
  5. Wah iya bubur kesel hehehe di kantorku kalau ada bos yang ultah biasane kami ditraktir aneka bubur yang disajikan dalam panci besar tanah liat dan kami bisa makan sepuasnya dengan mangkuk yang sudah disediakan..jadi kangen makan bubur sumsum

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sedep mbak. Apalagi kalo glepung nya buat sendiri.

      Hapus
  6. Aku baru tahu tradisi ini mbak tari, sama Erika malah dijadikan bubur kekinian yang instagramable ya hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Antara tradisi dan unjuk foto ya hihi..

      Hapus