Setelah
dibekali sekarung nasehat dan segudang motivasi oleh Ibu serta membekali diri
dengan berlarik-larik doa, akhirnya saya membulatkan hati untuk melakukan kerja
sosial pertama yang sangat spesial. Hanya sedikit yang mau melakukannya. Jujur
saja, teori dan keinginan kuat belum bisa dijadikan modal untuk pekerjaan ini.
Perlu keberanian, hati ikhlas dan stamina yang prima. Bismillah.
Usai
memeriksa kelengkapan peralatan dan uba rampe yang dibutuhkan, akhirnya saya meresmikan
diri menjadi asisten ibu untuk melakukan pekerjaan ini. Baju sudah rapi jali, kepala
tegak, pandangan lurus, berjalan menenteng dua tas. Satu berisi peralatan, satu
lagi tas kresek berisi uba rampe yang diperlukan.
Meski
tampil percaya diri, tetapi hati tetap deg-degan. Bayangan-bayangan yang berseliweran
membuat ingin mengurungkan niat baik dan memilih untuk pulang. Tapi keinginan
kuat menahannya. Sambil terus berdoa, sampailah akhirnya saya di tempat yang
dituju.
Usai
bersalam-salaman, kami pun memulai pekerjaan. Mengeluarkan peralatan dan mulai
mengukur. Pertama mengukur panjang kain yang dibutuhkan. Tugas pertama menggunting
kain sesuai ukuran. Lalu menggunting bagian kain lainnya untuk dibuat kain
bawahan, baju, kerudung. Tak lupa membuat guntingan kain untuk menutup bagian
paling pribadi. Setelah itu “meracik bumbu” yaitu dengan mencampur bubuk kayu cendana
dengan bubuk kapur barus serta menyiapkan minyak melati kraton.
Selanjutnya
menyiapkan kebutuhan lain seperti shampo, sabun, air yang dicampur dengan kapur
barus, cotton bud dan memastikan air tersedia penuh. Oiya, ibu selalu
menyiapkan ramuan khusus untuk membersihkan bagian tertentu yaitu rebusan daun
pandan, daun jeruk purut dan sereh. Usai semuanya siap, beralih prosesi selanjutnya.
Sebagai
asisten saya pun mengenakan “seragam” sama dengan ibu. Selembar celemek pelindung
pakaian agar tidak basah, sarung tangan karet, waslap. Gayung demi gayung air
mulai diguyurkan. Dengan sangat hati-hati aku mengguyurkan segayung air dari
atas sampai ke bawah terus menerus sementara ibu membersihkan rambut, menyabuni
anggota badan yang lain. Dari ujung rambut sampai ujung kaki dibersihkan dengan
sangat lembut dan teliti. Sesekali pada bagian tertentu diguyur dengan rebusan
dedaunan untuk mengurangi bau tak sedap. Setelah dipastikah bersih, telah di’wudhukan’ lalu
dikeringkan dengan handuk. Dan kami beralih ke pekerjaan selanjutnya yaitu mengenakan
pakaian terakhir dan memberi wewangian di tubuh yang telah berbujur kaku dan
terbungkus lembaran putih. Perasaaan saya teraduk-aduk. Saya yang belum bisa move on dari deg-degan dan takut, masih
ditambah dengan rasa trenyuh mendengar isak tangis dari keluarga. Akhirnya pamungkas
prosesi adalah menegakkan sholat dengan empat takbir dan menutupnya dengan doa.
Tahukah
kawan, apa pekerjaan sosial yang merupakan pengalaman pertama yang sangat
mengesankan sekaligus mendebarkan? Yups! Betul. Hari itu untuk pertama kalinya,
saya melakukan 3 dari 4 kewajiban orang hidup terhadap orang meninggal. Pertama
kali saya membantu memandikan jenazah, ikut mengafaninya dan berada di deret
shaf untuk menyolatkannya.
Begitulah
pengalaman saya, Adinda Dini dan Adinda Marita saat pertama kali mengurus
jenazah. Sungguh sebuah pengalaman yang
membuat deg-degan dan takut. Tapi pengalaman pertama inilah yang membuat saya
merenung. Perenungan tentang akhir perjalanan manusia dan awal kehidupan di
alam selanjutnya.
Sampai
saat ini saya telah melakukan pekerjaan hebat itu lebih 61 kali dan
berkeinginan untuk bisa mengikuti jejak Ibu mengabdikan diri untuk pekerjaan
mulia ini. Tapi kok ya belum bisa menghilangkan rasa takut dan deg-deg-an ya?
Pengalaman pertama ku membantu keluarga ibu mertua memandikan almarhum bapak. Habis itu beberapa kali memandikan famili atau tetangga. Kalo kenal gitu ya biasa aja ya Mba
BalasHapusAku tetap deg-degan mbak...terbayang-bayang
Hapus