Senin, 29 Januari 2018

Retna Ginubah, Menakar Budi Pekerti di Jaman Now

Januari 29, 2018 16 Comments

Dari sekian banyak tumpukan buku lawas milik bapak, saya menemukan buku tipis yang menarik perhatian. Dilihat dari sampulnya, jelas sekali buku itu telah usang seiring usia. Tapi membaca judulnya : Retna Ginubah, timbul rasa penasaran. 

 
Mulanya, saya pikir buku yang kertasnya telah menguning itu adalah buku kumpulan cerita. Namun setelah dicermati, sub judulnya berbunyi : Didikan Budi-Pekerti –dengan huruf d bertitik bawah- mungkin cara membacanya seharusnya dhidhikan. Sekilas saya menyimpulkan bahwa buku ini berisi pendidikan budi pekerti (jaman old). 

Buku Retna Ginubah (didikan budi-pekerti) diterbitkan oleh Dinas Penerbitan Balai Pustaka Djakarta tahun 1959. Maka bisa dibayangkan, betapa kunonya buku istimewa ini. Saat membuka halaman pertama, saya pun harus terbata karena ternyata keseluruhan ditulis dalam bahasa Jawa. Penulisnya adalah S. Siswosudiro seorang guru SGB Negeri III Surakarta. Di halaman awal tertulis Kangge tetimbangan/lelimbangan lampah-lampah ing ngagesang. Karena penguasaan bahasa Jawa saya yang sudah mulai luntur, maka saya terjemahkan secara bebas bahwa buku ini ditulis sebagai bahan acuan atau pertimbangan dalam menjalankan hidup. Buku setebal 71 halaman ditambah satu halaman ralat, dijual dengan harga Rp. 8,80 –delapan koma delapan puluh rupiah.  



Sebagai pendahuluan, sang penulis mengemukakan alasan mengapa menulis buku tersebut. Di antaranya rasa tanggung jawab dan merasa prihatin dengan keadaan bangsa dan negara. Namun yang saya anggap istimewa adalah sebagai tanda bakti kepada nusa dan bangsa. 

Sesuai dengan judulnya, maka buku ini seluruhnya berisi tentang nasehat. Ada 423 nasehat dengan bahasa Jawa yang (sebenarnya) mudah dipahami, karena menggunakan bahasa Jawa ngoko. Di beberapa kalimat ada juga yang mungkin menggunakan bahasa Jawa kuno seperti dalam kalimat : Jatna juwana, lena kena! Di bagian bawah disertai keterangan = jatna (waspada); juwana (slamet); lena (sembarana); kena (kedwarasan). 

Membaca buku Retna Ginubah seperti membayangkan bagaimana bijaksananya orang tua yang memberi nasehat kepada anaknya. Meski buku ini koeno, bukan berarti nasehat yang disampaikan adalah nasehat usang yang ketinggalan jaman. Tapi justru pitutur yang bisa dipakai sampai sekarang. Istilahnya  buku jaman old yang masih relevan untuk jaman now.

Sama halnya saat mendengar nasehat orang tua, maka dalam buku ini dijumpai nasehat berupa larangan. Jangan melakukan ini, karena akan berakibat kurang baik contohnya : Adja grusa grusu, gedhe kapitunane – jangan tergesa-gesa (dalam melakukan pekerjaan) besar kerugiannya. Simak nasehat lainnya : Adja gumampang ngutjapake kesaguhan, jen sakira angel anggone netepi – jangan mudah berjanji jika kita merasa berat untuk menepatinya. Adja demen goroh. Babarane dadi rubeda lan gawe pituna – jangan senang berbohong karena pada akhirnya akan menimbulkan salah paham dan kerugian. 
Ada pula nasehat yang merupakan kalimat yang bersifat retoris, dan memaksa kita untuk jujur dalam menjawab seperti nasehat : Apa bedane nganggur karo ngaso? Sing cetha anggonmu nerangake! – Apa perbedaan antara menganggur dan mengaso (istirahat)? Terangkan dengan jelas. Nah, saat membaca nasehat ini saya langsung menunjuk diri sendiri dan malu-malu mengakuinya. 
Nasehat lainnya seperti kalimat perintah yang halus dalam penyampaiannya, seperti pada kalimat : Ngenthengna tetulung. InsjaAllah rineksa uripmu – bermudah-mudahlah dalam menolong, Insya Allah hidupmu akan selalu dalam perlindungan. Ada pula : Mangan, turu, njambutgawe, adjegna ing wektune. Iku bisa ndajani tumataning djiwa-raga- Makan, tidur dan bekerja sebisa mungkin dilakukan dengan teratur. Keteraturan akan berpengaruh pada kesehatan jiwa dan raga. 



Jika dicermati, semua nasehat yang disampaikan ringan tapi terasa makjleb dan membekas di hati, namun karena ketidakjujuran dan ego yang sangat tinggi maka nasehat-nasehat itu sekedar bacaan tanpa dilaksanakan. Sebenarnya ada rasa malu saat membaca buku ini. Selain harus selalu bertanya tentang arti kalimat-kalimat tersebut, tetapi rasa-rasanya tutur kata dan polah tingkah sehari-hari sudah terasa jauh dari pitutur bagus tersebut. Pepatah Jawa menyebutkan wong Jawa ilang Jawane

Bagaimana dengan kalian?