Kamis, 06 Oktober 2022

Aku Ingin Patah Hati

Oktober 06, 2022 2 Comments

 

AKU INGIN PATAH HATI.

Sudah kurencanakan, jika kelak ku patah hati, akan kutulis semua perasaan yang timbul karenanya, semua keanehan yang menyelimutinya, semua polah tingkah yang menyelimutinya. Maka di halaman pertama buku yang telah kuberi sampul pink dengan gambar hati bertebaran di mana-mana, kutulis : 

“Aku Ingin Patah Hati, dan Inilah Kisahku, Kisah Orang yang Sedang Patah Hati.” 

 Ah judul yang sangat panjang, tetapi indah. 
 
Dan kini aku benar-benar ingin patah hati. Jangan kau tertawa dulu ketika membacanya, atau jangan dulu kau mencibir keinginan aneh bin ajaib ini. Karena keinginanku ini bukan tanpa sebab! Keinginanku ini telah kupendam lama, setelah melihat dan mendengar sendiri beberapa kisah. Tentu saja kisah tentang seorang yang patah hati. Begitu aneh, bahkan sangat aneh ! 
 
Betapa tidak ? Patah hati karena cinta membuat beberapa orang yang berada di sekelilingku menjadi orang linglung sementara, pemarah, cengeng, tak punya semangat, dan hal-hal yang tak masuk akal. Patah hati memang aneh! 


Kuawali ketertarikanku akan patah hati dengan kisah pertama yang membawaku ingin merasakan bagaimana rasanya patah hati, dan itu terjadi pada kakakku. Ceritanya sangat sederhana dan lazim.

Begini, setelah berpacaran dua tahun dengan Mbak Salya, akhirnya cinta itu putus juga. Pacaran jarak jauh Semarang – Surabaya membuat keduanya jarang bertemu. Kakakku kuliah di Semarang, sedang Mbak Salya diterima di perguruan tinggi di Surabaya. Tahun pertama, cinta itu masih bisa bertahan. Tahun berikutnya, karena alasan jarang bertemu dan alasan yang tak kuketahui jelas, cinta itu selesai sudah. Siapa yang memutuskan ? tentu saja Mbak Salya, karena saat “keputusan” itu dibacakan, kakakku masih sempat meluncurkan kata kata yang sangat memelas. Begini bunyinya : “Tapi aku masih mencintamu” 
Oh, indahnya! 
Dan telepon di ujung sana ditutup. Kakakku menyeruduk, membanting tubuhnya di atas kasur. Sesaat kemudian wajahnya telah tersapu air mata. Dia menangis. Dan aku ? 

Aku tertawa terbahak-bahak begitu melihat pemandangan aneh itu. Tawaku terhenti saat kakak sulungku memberi ultimatum, “Awas ! kalau kau patah hati aku juga akan menertawakanmu!”

Cep! 

Aku diam. Takut dengan ultimatum yang lebih cocok disebut ancaman. Ruangan sepi, hanya suara sesengukan kakakku yang terdengar.

(Dalam hati aku berkata, jika kelak ku patah hati, aku tak akan menguras air mata). 

Oh, begitukah orang yang patah hati ? Keceriaaan yang dulunya selalu hinggap di setiap episode perjalananya tiba-tiba berubah menjadi hujan air mata tanpa mendung pada awalnya ! Aku dilanda penasaran dengan kisah kakakku yang menjadi korban patah hati. Apa yang sebenarnya ada dalam pikiran dan perasaannya ? Sungguh aku sangat ingin cepet-cepat bisa merasakan patah hati. 

**  
KISAH kedua tak kalah seru, membuat otakku yang encer matematika tiba-tiba tak berkutik dan pasrah mengantongi nilai kursi terbalik, hanya karena memikirkan orang yang patah hati. Siapa orang kedua ini ? Jani namanya. 

Jani, sahabatku, patah hati. Cintanya dengan mahasiswa teknik kimia yang kost di depan rumah sampai pada vonis akhir : P-U-T-U-S ! 
Apa sebab ? aku tak menanyakannya, takut menyinggung perasaan yang kini tengah dilanda lara. Disinyalir unsur-unsur cinta tak bersenyawa lagi. Mengapa ? Entahlah, hanya mereka berdua yang tahu. 

Kini rasa penasaranku makin bertambah. Bukan karena persenyawaan tak berkelanjutan, tapi akibat yang ditimbulkan senyawa cinta tak jadi tadi. 

Tangis, itulah pemandangan pertama dan wajib yang kulihat seperti ketika kakakku putus cinta dulu. Bukan hanya tangis itu, tapi jumlah tisu yang telah dihabiskan untuk membendung air mata yang tumpah karenanya. 

Tercatat dua dos tisu dihabiskan untuk menyeka air mata Jani. Belum lagi gulungan tisu kloset untuk menyeka ingus hidung yang turut bersedih. Ah, patah hati memang aneh. 

(Dalam hati aku berkata, jika kelak ku patah hati dan dengan amat sangat terpaksa harus menangis, meski aku tak menginginkannya, maka aku akan membeli Kanebo saja, kain lap yang sering digunakan untuk mengelap motor atau mobil, karena daya serapnya yang efektif. Setelah itu dapat digunakan untuk mengelap kendaraan atau perabotan rumah!) 
** 

DAN kisah ketiga ini melengkapi dua kisah sebelumnya yang membulatkan tekadku untuk secepat mungkin bisa patah hati. 

Kisah ketiga tentang Parti, sahabatku yang lain. 

Saat untuk kali pertama cinta bermekaran di hatinya, dia pernah berucap padaku, “Aku tak akan berpacaran lagi selain dengan Mas Hafis!” 

Siapa yang tak kenal dengan  Hafis ? Cewek sekelurahan pasti sudah mengenalnya. Hafis sosok yang sangat menyenangkan, mudah bergaul dan sayang dengan cewek. Tak ayal lagi ketika panah asmara tertancap di dada Parti yang tomboi itu, berubahlah Parti menjadi sosok yang beda. Sejak itu Parti selalu tampak girlie dan wangi. 

Aku iri melihat perubahan yang ada padanya, tapi…..itu hanya berlangsung setahun, karena perubahan berikutnya tak pernah ada yang menduganya. 

Singkat cerita, cinta Parti dan Hafis kandas karena Hafis kembali pada pacar lamanya, Ida. Parti terluka. Semboyan yang pernah terucap tak kan berpacaran selain dengan Hafis sampai detik ini masih dipegangnya. 
Tapi, yang membuatku terheran-heran adalah tak ada mendung dalam dirinya, apalagi hujan air mata. Yang ada adalah sebuah perubahan yang menurutku pemberontakan tolol! 

Dulu Parti yang tomboi berubah menjadi girlie dan sekarang bukan saja kembali ke asal sebagai gadis yang tomboi, tapi tubuhnya makin berotot seperti lelaki ! Memang setelah perjalanan cinta itu berakhir, Parti rutin berolah raga. Tapi aku tak tahu olah raga apa yang digelutinya. Belakangan kudengar dia berlatih angkat beban dan rajin-rajin menonjok samsak. 

Aneh ! 

(Dan dalam hati aku berkata, kelak ku patah hati, kan kubangun sebuah sarana olah raga untuk mereka yang patah hati. Siapa tahu banyak yang tertarik menjadi anggota karena bisa dijadikan sebagai sarana untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Ehm… Cukup menghasilkan, bukan ? ) 

** 
"KAU masih waras, kan ?” tanya Rely ketika kukatakan keinginanku untuk patah hati. 

“Lah, masak orang gila bisa ingin patah hati ?” timpalku 

“Sakit rasanya, tahu!”suaranya meninggi. 

“Justru sakit itu yang ingin kurasakan. Sensasi itu yang ingin kucoba. Dan setelah itu apa yang akan terjadi ? Itu yang akan kutulis. Indah pastinya,” kataku sambil menunjukkan buku bersampul pink dengan gambar hati. 

“Rasa itu tak pernah bisa dikata Ta, seandainya bisa, maka tiap orang tak ingin patah hati karena putus cinta. Mereka akan mempertahankan cintanya sebisa mungkin sampai ke jenjang yang lebih pasti,” Rely mengguruiku.
 
Aku mencibir. 

Oh, ya ? Kau tak tahu, Rel, betapa aku telah lama menginginkannya karena terinspirasi oleh cerita unik dibalik itu semua. Mungkin di luar ketiga cerita itu masih banyak cerita unik lainnya yang lebih mengharukan, menyayat-nyayat atau bahkan menggembirakan. Jadi keinginanku ini mungkin sebuah eksperimen untuk diriku sendiri. 

Rely menggeleng-gelengkan kepala, tampak tak mengerti dengan jalan pikiranku yang sangat tidak logis. Patah hati kok diinginkan, batinnya.

Memang aku adalah orang yang suka bereksperimen aneh-aneh tapi tidak seaneh yang kuutarakan barusan. Rely menganggapku ‘kurang’ waras dalam hal ini. Maka ketika dia menempelkan jari telunjuknya ke dahi, aku hanya terkekeh. Dia mengataiku, “Sinting !” 

Biarlah dia mengataiku seperti itu, tapi aku tak sakit hati karenanya. Wajar kalau aku dianggap sinting. Karena baru kali ini ada orang yang ingin patah hati, dan itu aku orangnya. Jawara kelas yang nyentrik! Tapi biarpun keinginan aneh ini dianggapnya sinting, dia dengan senang hati mau membantuku. 

“Apa langkah-langkah yang harus kukerjakan ?”tanyaku bersemangat. 

Aku benar-benar tak tahu langkah awal untuk bisa patah hati! Aku tahu Rely pernah bercerita bahwa dia pernah pacaran dan kandas (dan tentu saja patah hati). Tapi aku tak tahu dengan siapa dan bagaimana kejadiannya, karena dia baru sebulan ini berkenalan denganku di tempat kursus bahasa Inggris. 
 
“Berselingkuh dengan cowok sekolah lain,” idenya, “Buat sedemikian rupa sehingga cowokmu cemburu dan memutuskan cintanya.” 

 Aku melongo, tak tahu harus menjawab apa. 
 
“Atau yang lebih aman, tak usah pacaran dengan cowok lain, tapi cuekin saja pacarmu, sampai akhirnya dia memutuskanmu,” imbuh Rely. 

Otakku kosong! Pikiranku tak nyambung begitu mendengar ceramah singkatnya yang berapi-api layaknya seorang motivator yang sedang memberi semangat pendengarnya. 

“Bagaimana? Setuju dengan ideku? Atau punya ide yang lebih gila lagi? tanyanya sambil memperhatikan rona wajahku yang berubah. 

“Ta, kau sakit?” 

 Aku menggeleng. 

“Kok tiba-tiba diam? Enggak setuju dengan ideku ? Ya udah, kita cari ide lain.” 

 Aku tak tahu harus menjawab apa. Eksperimen pertamaku tak pernah berhasil, bahkan gagal sebelum dikerjakan.

“Kamu enggak lagi sakit, kan?” Rely makin penasaran.

“Rel, aku tak bisa,” jawabku. 

Ganti Rely yang kaget, “Kenapa ?” 

"Bagaimana aku harus berselingkuh, atau cari cowok lain? Bahkan pacar saja aku belum pernah punya.

“Tak bisa? Kenapa?” 

“Karena aku belum pernah mencinta. Bagaimana aku bisa putus cinta ? Dan bagaimana aku bisa patah hati karenanya?” 

“Kau belum punya pacar, Ta ?” Rely tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
 
 Aku menggeleng, “Bahkan belum pernah punya! Untuk sekedar naksir cowok pun aku belum pernah.” 

Rely tercengang, menarik nafas panjang. 

“Ada yang terlupa dalam dirimu Ta, yaitu cinta. Kalau kau ingin patah hati, maka kau harus mencinta.” 

Rely segera mengambil buku pink. Dibukanya halaman pertama yang telah kuberi judul,  dibawahnya dia menulis judul dengan huruf besar-besar : 

“DAN KUAWALI LANGKAHKU DENGAN MENCINTA”. 

“Cari pacar dulu sebanyak-banyaknya, baru patah hati !” sindirnya. 

 Aku hanya terdiam. Ternyata, aku harus memulainya dengan cinta.

 *** 

 (Cerpen,dimuat Gradasi Edisi II/No.11/April 2009)

Senin, 03 Oktober 2022

H E B A T

Oktober 03, 2022 2 Comments

 

Saya berniat membaca sembari menunggu teman yang sedang menyelesaikan keperluan di kampus Unnes. Tapi, baru saja membuka lembar pertama, tiba-tiba datang dua wanita paruh baya langsung duduk di samping kanan dan kiri saya. 

Ibu yang duduk di sebelah kiri membuka perbincangan dengan temannya yang duduk di sebelah kanan seraya menatap kemegahan kampus Unnes. Konsentrasi saya buyar. Buku hanya saya pegang, sementara telinga mencuri dengar pembicaraan keduanya. 

“Hoalah,... bagus benar kampusnya,” kata ibu sebelah kiri. 

Temannya menyahut, “Iya, Yu. Apik tenan.” 

Dialog keduanya berlanjut. Sahut menyahut. Saya menyimaknya. 

“Pasti arsiteknya pintar.” 

“Orangnya pasti hebat,” Ibu sebelah kanan menambahi. 

“Kalau kita dipasrahi uang jutaan untuk membangun gedung semegah ini, pasti tidak bisa. Tidak jadi gedung. Malah jadinya sambal terasi.” 

“Wah, kalau orang-orang bodoh seperi kita yang membangun, apa jadinya ya?” tanya ibu sebelah kiri. 

“Ambruk,” jawaban ibu sebelah kanan. Keduanya tertawa terkiki-kikik, menertawai ketidakhebatan diri mereka. 


Saya membatin, seperti apakah “hebat” dalam benak kedua wanita tersebut? 

Saya teringat tulisan Samuel Mulia di Harian Kompas beberapa tahun silam. 

Hebat bisa dilihat dari banyak sudut pandang. Orang sudah bisa dikatakan hebat jika dia mampu naik dari nol menjadi nol koma lima, tidak perlu sampai satu. 

Dikatakan hebat jika dia ‘tidak tahu’ menjadi ‘sedikit tahu’. Orang hebat memiliki langkah sejuta, sedang orang tidak hebat mau melangkah saja deg-degan. Tapi anehnya orang hebat tetap menaruh harapan pada orang yang deg-degan. 

Orang yang tidak hebat mampu mengontrol orang yang hebat supaya mereka melatih kesabaran. Orang hebat bisa menjadi tidak hebat di sisi lain, sedang orang tak hebat bisa menjadi menjadi hebat di sisi yang lain pula. 

Sebelum beranjak, kusampaikan pada ibu yang duduk di sebelah kiriku, “Ternyata bukan hanya arsitek gedung ini yang hebat. Tapi, ibu pun hebat. Apa yang bisa dikerjakan arsitek yang merancang bangunan ini jika padanya disodorkan uang sepuluh ribu rupiah? Pasti dia bingung mau diapain uang segini.
Sementara Ibu bisa menyulap uang sepuluh ribu rupiah dengan membelanjakannya untuk makan sekeluarga. Paling tidak bisa menggoreng tempe dan membuat sambal. Apa yang dilakukan ibu belum tentu bisa dilakukan oleh arsitek yang merancang gedung ini. Jadi, Ibu pun hebat.” 

Setelah memberi salam, saya berlalu meninggalkan keduanya yang saya rasa masih memikirkan kata hebat yang saya sandangkan padanya. 

Lamat-lamat saya mendengar percakapan keduanya, “Dengan uang sepuluh ribu, ternyata kita bisa hebat juga ya, Yu.” 

(tulisan lawas dengan perbaikan seperlunya)

Rabu, 05 Januari 2022

Ndherek Langkung, Mengembalikan pada Akar Budaya

Januari 05, 2022 23 Comments

Ndherek langkung. 

Kapan terakhir kali mendengar atau mengucapkan kalimat sapaan itu? 

Tadi? Kemarin? Seminggu lalu? atau bahkan sudah terlalu lama tidak mendengar atau mengucapkannya? 


Kali ini Nurul Hikmah mencuplik pengalamannya untuk ditulis dalam sebuah cerita anak. Imam Styawan atau Styaki yang menerjemahkan karya Nurul dalam gambar-gambar yang menarik dan lucu. Duet inilah yang melahirkan cerita Ndherek Langkung. 


Sik sik, ojo kesusu. Jangan terburu-buru, nanti bingung, lo saat membacanya, karena buku Ndherek Langkung memang dihadirkan dalam format bahasa Jawa lengkap dengan tulisan (aksara Jawa). Njur piye


Eit, tapi tidak usah risau, ada terjemahan dalam bahasa Indonesia. Selain itu dilengkapi pedoman cara membaca aksara Jawa (hitung-hitung tambah ilmu, belajar membaca hurufnya Aji Saka, ya) 


Ndherek Langkung bercerita tentang bocah bernama Laras yang baru saja pindah ke desa. Kebetulan di desa tersebut tinggal pula saudaranya bernama Dimah. Bersama Dimah dan kawan baru lainnya, Laras diajak dolan

Setiap berjumpa tetangga atau seseorang, bocah-bocah tersebut (kecuali Laras) selalu menyapa : Ndherek langkung

Suatu hari Laras sedang mengunggu Dimah. Karena tak kunjung datang, akhirnya Laras mendatangi rumah Dimah. Ternyata Dimah pergi. Akhirnya Laras pulang. Tapi……duh duh duh Laras harus melewati ibu-ibu yang sedang duduk-duduk di beranda. Saat ditegur, Laras malah lari. 

Esoknya Laras ingin dolan tapi dia bingung karena dia masih malu-malu menyapa: Ndherek langkung. Akhirnya dia berlatih agar bisa dan berani mengucap Ndherek langkung. Usaha Laras pun berhasil. Meski malu-malu dia bisa mengucap Ndhe.. rek… dan disambung temann-temannya : …langkung

Cerita sederhana, dekat dengan keseharian, tapi bernas. 

Ndherek Langkung

Saya pribadi senang membaca Ndherek Langkung


Nurani saya sering mengingatkan, eh kalau lewat di depan orang mbok menyapa (aruh-aruh) dong. Ndherek langkung. Bukan sekadar lewat dengan punggung tegak, tak menatap, tak menyapa. Padahal kenal, kan? Saya jadi malu.


Dalam pengantarnya dipaparkan, bahasa daerah masih menjadi bahasa ibu bagi sebagian keluarga, namun bagi sebagian lain mulai bergeser dan berubah. Bagi yang mengalami perubahan, sekarang bahasa Indonesia adalah bahasa utama yang digunakan. Hal itu bisa dimaklumi karena makin banyaknya keluarga dengan percampuran suku. Selain itu, bahasa asing juga semakin diprioritaskan untuk dipelajari. Maka jangan heran jika anak-anak lebih lancar ber-cas cis cus. Kadang-kadang kagok berbahasa Indonesia apalagi bahasa daerah. 

Bersama berkurangnya pemakaian bahasa daerah, terkikis juga unggah ungguh (sopan santun, tata karma/adab) serta sejarah yang melekat padanya. 

Merasa peduli dengan semua itu, maka Lingkarantarnusa menghadirkan buku wacan bocah, tujuannya untuk mengembalikan anak-anak dan keluarga-keluarga pada akar budayanya. Selain itu ikut melestarikan kekayaan bahasa dan budaya nusantara. Tak hanya untuk menguatkan akar budaya, namun jika buku semacam ini dibaca oleh anak-anak dari daerah lain, maka diharapkan akan tumbuh benih-benih toleransi. 


Nusantara kaya akan ragam budaya. Negeri kita pun terkenal dengan keluhuran budinya. 

Tidak usah malu jika saat bersua, kita mendahului untuk menyapa Ndherek langkung…atau mungkin dengan sapaan lain sesuai dengan daerah masing-masing. 

Oiya, sapaan Ndherek langkung tidak hanya wasis diucapkan oleh Laras dan bocah-bocah lain lho. Kita yang sudah dewasa pun butuh untuk mengucapkannya. Sebagai bukti penghormatan pada diri sendiri, bahwa kita masih punya unggah-ungguh, punya tata krama. 

Buku ini pun mengingatkan saya pada pepatah Jawa. Ajining diri gumantung saka lathi (seseorang dihormati karena ucapannya) 

Jadi, masih ingat tidak kapan terakhir kali menyapa : Ndherek langkung? Baru saja, ya? 

Baiklah saya juga akan menjawabnya, mangga, mangga.

Nuwun.


Ndherek Langkung

Penulis : Nurul Hikmah

Ilustrator : Imam Styawan

Penerbit : Lingkarantarnusa


Kamis, 30 Desember 2021

Merayakan Kata

Desember 30, 2021 12 Comments
Seorang gadis duduk di sebuah café. Ditemani segelas kopi kekinian dan gawai, dia memegang sebuah buku : The Garden in The Plains, karya Agnes W. Havler. Dia menyempatkan diri mengabadikan aktivitasnya untuk dibagikan ke dunia maya. Mungkin dia ingin mengabarkan bahwa dia sedang membaca, lalu ia kembali menenggelamkan diri lagi dalam buku. Tidak peduli berapa halaman yang dia baca dan berapa lama dia menghabiskan waktu untuk beberapa lembar halaman buku yang ada dalam genggamnya. Namun yang jelas dia sedang merayakan kata, yakni membaca. 
Merayakan kata dengan membaca (foto: Dhedhe Dirgawijaya)

Dalam situasi yang berbeda, saya pun turut merayakan kata. 

Di tengah terkendalanya berbagai aktivitas, ternyata kegiatan literasi denyutnya semakin terasa. Begawan kata turun gunung dengan memanfaatkan fasilitas dunia maya untuk bertatap muka dengan pembaca. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, tak hanya bertatap muka mereka juga membagi ilmu seputar kepenulisan dan promosi buku. Saya, dan mereka yang haus ilmu terpuaskan dahaga. Bersamaan dengan itu muncul kelas-kelas menulis, bincang literasi, baik berbayar atau gratis. Lomba menulis digelar, dibarengi lahirnya buku-buku baru. 

Literasi beresonansi. 
Saya mengulik buku, buku-buku baru dan mengulang membaca buku lawas. Tak sebatas buku, beberapa artikel surat kabar yang tertumpuk dan sebatas dikoleksi, menjadi bacaan yang mengenyangkan. Ada keasyikan tersendiri. 
Dari membaca, saya pun akhirnya merambah belajar menulis. Ilmu yang saya peroleh dari kelas literasi, menggiring saya untuk mengasah kemampuan membaca menulis. Menuliskan kegelisahan, berbagi tips dan pengalaman, atau belajar merangkai kata dan menatanya menjadi sebuah cerita. Pendek saja, tapi memuaskan saya. Ternyata kegiatan ini mengasyikkan, menggembirakan dan menimbulkan rasa ketagihan. Membaca lagi dan menulis lagi. 
foto : Dhedhe Dirgawijaya

Rasanya tak pernah ada rasa sesal apabila akhirnya saya tersesat dalam rimba belantara kata. Semakin banyak membaca, nyatanya semakin saya sadar bahwa masih banyak yang belum saya ketahui. 

Saya turut merayakan kata, sejalan dengan apa yang ditulis oleh Sena Gumira Ajidarma, 

........
Saya kira itulah cara yang baik untuk merayakan keberadaan kata, di tengah dunia yang lebih sering tak sadar bahwa kata itu ada, sehingga menyia-nyiakannya. Namun menulis bukanlah satu-satunya cara, karena masih ada cara lain untuk merayakannya, yakni membacanya.

Dan JNE turut ambil bagian dalam memajukan literasi Indonesia, mengantar buku-buku dan memastikan buku sampai pada pembaca

 

Kamis, 23 Desember 2021

Sang Ahli Waris

Desember 23, 2021 2 Comments


Cukup jemur seminggu sekali
Itu perintah pertama Nyi. J-e-m-u-r. Hah! Seperti ikan asin. 

Jangan di bawah sinar matahari langsung. 
Itu perintah kedua. Agak membingungkan. Jemur, tetapi tidak di bawah sinar matahari langsung. Apa namanya? 

Angin-anginkan saja di luar. 
Aku menanti perintah selanjutnya sembari mengingat-ingat. 

Senin waktu yang tepat. 
Ada tujuh hari dalam seminggu, mengapa harus memilih Senin untuk menjemur? 

Jangan lupa asapi dengan ratus. 
Apalagi ini? Dia hanya benda mati yang tak butuh wewangian untuk menarik hati siapa pun. Bisa jadi aku mabuk mencium wangi ratus. 

Simpan di tempat kering. 
Aku bosan mendengar perintah tak masuk akal itu. 

Perlakukan dengan baik. 
Itu perintah ketujuh. 

Ia sangat berharga. 
Ini bukan perintah, melainkan pemberitahuan. 

Dia dapat merasakan perlakuanmu. 
Aku bergidik. Memang apa kehebatannya? Ia tetaplah benda mati. 

Kupasarhkan padamu, rawatlah ia. 
Perintah kedelapan sekaligus penutup. 





Aku benci menjadi ahli waris. Jika harta yang diwariskan, tentu aku tak mengomel. Sayang, Nyi tidak punya harta berlebih untuk dia bagikan. Beliau tidak mewariskan apa pun, kecuali topeng. Benda bisu yang sangat dia sayangi. 

Nyi adalah panggilanku untuk Nenek. Nyi Salimah. Kata orang dan aku pun mengakui, Nyi Salimah adalah penari topeng dan tari topeng adalah Nyi Salimah. Dua sisi yang berkait, tidak bisa dipisahkan. Nyi adalah maestro. Tak hanya di dalam negeri, beliau bahkan pernah mencicipi empat musim di negara manca sebagai duta seni. Hidup Nenek untuk menari topeng. 

Aku? Sepertinya aku tinitah sebagai ahli waris tari topeng. Darah seni itu mengalir dari Nyi. Seharusnya Ibu yang mewarisi keluwesan berjoget, tetapi ternyata tidak. Tubuh Ibu berotot akibat ditempa kerja berat sejak kecil. Ibu memang bisa menari tapi jauh dari kata “luwes”

“Bagaimana Ibu bisa luwes menari luwes seperti Nyi? Tiap hari harus berjalan jauh mencari air, lalu memikul ember besar. Masih ditambah pekerjaan rumah bertumpuk. Ibu lebih cocok jadi atlet angkat besi daripada menari,” kata Ibu sembari memperlihatkan lengan kekarnya. 

Darah seni memang tidak terpaut gen. Alunan gending adalah santapan harian sejak aku keluar dari rahim Ibu. Gemulai badan Nyi dan amak-anak asuhnya adalah pemandangan yang sering kulihat. Tak mengherankan jika langkah kaki, lenggok badan, dan gerak tanganku saat belia bisa menjadi pertanda kelahiran maestro baru. 

Aku bertumbuh bersama tari topeng. Bahkan aku tidak mengawali pementasan pertama di pentas tujuh belasan kampung. Justru di negeri oranglah pertunjukan perdanaku. Sepertinya Nenek memang ingin mengabarkan pada dunia bahwa jejaknya yang segera surut telah tergantikan oleh kelahiran calon penari andal. Cucunya. 

Tak ada yang meragukan kepiawaian Nyi. Nyi sangat menjiwai setiap gerakan, selaras dengan topeng yang dia kenakan. Karakter topeng padu dengan olah tubuhnya. Di atas panggung, dia memainkan berbagai peran. Menjadi wanita lembut gemulai bahkan angkuh penuh angkara, bergantung pada topeng yang dia pakai. 

Tak mengherankan pula pada usia senja Nyi belum tergantikan. Saat tubuh rentanya tak memungkinkan terus menari, dia berharap ada penerus tari topeng. Harapannya terkabul. 

“Tapi tak mudah menjadi penari seperti Nenek. Orang bilang apa? Metro?” 

“Maestro. Mengapa?” 

“Tidak cukup gerak badan. Kau harus memahami jiwa topeng yang kau kenakan.”

“Apakah topeng punya nyawa?” Nyi geleng-geleng kepala mendengar pertanyaanku. 

 Kata Nyi, topeng-topeng itu peka. Bergidik aku mendengarnya. Berarti mereka hidup. 

“Bukan hidup seperti manusia. Angel. Susah menjelaskan,” ujar Nyi sebal. Aku tetap bebal. 

Nyi memperlakukan topeng secara istimewa. Dia angin-anginkan, dia lap, dia teliti setiap lekuk, lalu diasapi dengan ratus. Saat memandang topeng-topeng, Nyi seperti sedang berbicara dengan benda bisu itu. 
    
Aku tidak tahu mengapa Nyi sangat menyayangi topeng-topeng itu. Mungkin sebagai wujud hormat dan cinta pada gurunya, Sulastri, yang telah mewariskan topeng itu. Itulah topeng-topeng yang Nyi gunakan sebagai modal menari sampai menjadu seterkenal sekarang. Itulah caranya membalas budi. 
    
“Hanya kau satu-satunya ahli waris yang mampu melanjutkan kesenian ini. Sayang jika dibiarkan punah.” 
   
“Tapi aku tidak bisa seperti Nyi, melakukan ritual-ritual seram. Aku tidak bisa berbicara dengan benda mati. Mistis. Syirik. Aku hanya bisa menari. 
    
Nyi mendelik dikatakan melakukan ritual mistis, syirik, menduakan Yang Kuasa. 
    
“Menari topeng bukan sekedar menggerakkan tubuh mengikuti irama. Tarian kita harus laras dengan topeng yang kita pakai. Topeng ini wujud angkara murka. Topeng itu harus kautarikan dengan kelembutan,” ujar Nyi sambil menunjuk topeng-topeng bisu itu. 

Aku mengangguk saja. Biarlah topeng-topeng itu menjadi urusan Nyi. Aku menari saja. 
  
“Aku tidak sedang mengajarimu perkara mistis, syirik. Aku hanya ingin topeng ini tetap terawat, terjaga. Itu saja.” 

 **

Kini Nyi tinggal kenangan. 

“Lakukan saja apa kata Nyi,” kata Ibu, beberapa hari setelah Nyi berpulang. 

“Tapi urusan topeng itu aku tidak bisa. Ada aura mistis. Aku tidak mau.” 

“Kau yang menari, mewarisi Nyi. Kau pula yang harus merawat topeng topeng warisan Nyi. Itu juga yang Nyi lakukan,” kata Ibu. 

“Bagaimana kau bisa memadukan tari dan topeng jika tak merawatnya.” 

Dia bisa merasakan perlakuanmu

Aku mengingat kembali kata-kata Nyi. Padahal, dibanting pun topeng itu tidak bisa marah. Ah, banyak sekali perlakuan untuk topeng-topeng itu. Seketika aku membenci diri sendiri. Benci karena harus menjadi sang ahli waris. 
**
Pentas mulai ramai. Tari topeng tetap berdenyut, meski tanpa Nyi. Tepuk tangan, decak kagum, dan pujian pada setiap pementasan tentu bukan semata-mata milikku. Sebagian besar untuk mengenang Nyi, karena sang pembawa acara berulang-ulang menyebut nama Nyi. 

Hari berlalu cepat. Aku teringat pesan Nyi. Beberapa tahun setelah Nyi berpulang, tak pernah sekali pun aku melakukan ritual seperti perintah Nyi. Aku hanya menyimpan topeng-topeng itu dalam kardus mi instan di pojok kamar. 

Selama ini aku hanya menggunakan satu topeng kesayangan Nyi untuk latihan dan pentas. Topeng yang sama untuk karakter yang berbeda. Aneh. Namun aku tidak memedulikan. Cukup topeng itu. Penonton tidak melihat topeng, tapi menikmati tarian. 

“Ada yang tidak laras dalam pertunjukanmu,” kata Ibu suatu hari. 
Tidak laras?Aneh. Maksudnya? 

“Topengmu. Itu-itu saja yang kau pakai. Apa itu laras?” Aku tahu, tapi enggan peduli. 

“Jika ingin sebesar Nyi, kau pun harus sepandai Nyi. Bukankah Nyi telah mengajari bahwa karakter tari harus padu dengan topengnya?” 

Mungkin itulah mengapa orang mencibirku. Sang ahli waris yang bodoh. Tidak pernah ganti topeng. Padahal Nyi mewariskan banyak topeng. 

Siapa tidak ingin menjadi maestro seperti Nyi? Aku ingin mengulang kejayaan Nyi. Merambah seluruh Nusantara dan menjamah negara manca dengan menari. Sejak kepergian Nyi, aku hanya berputar dari acara perkawinan ke acara hajatan lain. 

“Belajarlah membedakan karakter tari. Menyelaraskan topeng dan gerakan. Lihatkan foto Nyi pada setiap pertunjukan. Cermati!” 

Meski tidak luwes menari, Ibu ternyata pengamat tari yang hebat. Ada benarnya juga kata-kata Ibu. Aku harus belajar memahami topeng, bukan sekedar menari. 

Segera kubuka kardus di pojok kamar. Bau apak menguar. Aku terbatuk. Satu topeng kuambil, catnya pudar dan mengelupas sebagian. Pada topeng lain kulihat ada bagian yang berlubang karena ulah kawanan renik. 

Kuangkat dua kardus ringan itu ke halaman agar lebih jelas mengamati topeng-topeng Nyi. Bagian bawah kardus ambrol. Terdengar suara aneh. Kawanan makhluk kecil lalu-lalang. Rayap! Makhluk pelahap kayu itu mengahncurkan topeng-topeng Nyi. Proses pelapukan dan kawanan rayap mengantarkan benda itu ke jurang kemusnahan. 

Wajahku pucat. Ibu yang sejak tadi memperhatikan lirih bersuara. 

“Ritual yang Nyi lakukan pada topeng-topeng itu bukan perkara mistis.” Ibu sedang menguliti kebodohanku. 

Ibu menjabarkan satu per satu dari delapan perinyah Nyi, mengingatkanku pada wasiat Nyi yang kuabaikan. 

“Tidak jemur di bawah terik matahari dan cukup diangin-anginkan agar cat topeng tidak cepat rusak. Topeng itu harus diangin-anginkan karena lembab terkena keringat, uap air, dan riasan saat pentas. Jika engkau menjemur hari Minggu, maka tentulah badanmu lelah setelah malam hari pentas. Maka Nyi meminta kau menjemur hari Senin karena telah cukup istirahat.” 

Ibu meneruskan penjelasannya. 

“Itulah mengapa Nyi minta kau simpam di tempat kering serta kau asapi untuk mejaga kayu itu tetap utuh, tak dimakan hewan kecil atau menunda lapuk termakan usia. Perlakuan Nyi selama ini bukan kesyirikan. Bau wangi ratus itu pun untuk mengusir binatang kecil, mengurangi bau tak sedap.” 

Nyi yang buta huruf ternyata wanita cerdas. 

“Kau tidak pernah merawat. Abai pada perintah Nyi.” 

Ruangan senyap. 

“Kini topeng-topeng itu membalas perlakuanmu,” Ibu mendengus, kecewa. 

Aku terpaku memandang topeng-topeng yang membisu itu. Menunggu waktu untuk membuangnya dan tinggal menyisakan kenangan. 
***

Dimuat di Suara Merdeka, 24 November 2019

Rabu, 20 Oktober 2021

Si Dul Anak Jakarta, Buku Lawas yang Tetap Berkelas

Oktober 20, 2021 20 Comments
Elu udeh pernah nonton pilem Si Dul di bioskop? 
Hmm… 

Kalau sinetron Si Dul Anak Sekolahan yang tayang di tipi? Udah pade liat kan? Udah lame sih, tapi ditayangin ulang sampe berkali-kali. Tetep ditonton tuh. Boleh dikate kagak ngebosenin. 
Hmm…

Kalau Si Dul Anak Jakarta? Bukan pilem bukan juga sinetron. Ini buku. Elu udeh pernah baca belon? Yang mana? Yang ini nih 

Nah aye mau cerita gimane aye bisa demen banget dengan buku ini. Haha… 
Gare-gare baca buku Si Dul, aye jadi kepingin banget menjajal nulis memakai logat Betawi. Duh ternyate susah sekale. Ya sudah lah. 

Kembali lagi ke buku Si Dul. Membaca buku karya Aman Datuk Majoindo meninggalkan kesan mendalam. Sukaaaa banget. Saking sukanya, saya sampai berkali-kali membacanya. Dan tidak bosan 

Pas melihat Si Dul Anak Jakarta bertumpuk dengan buku-buku lain, jadi penasaran banget kepingin baca buku terbitan Balai Pustaka ini. Baru saja membaca paragraf awal, langsung jatuh. Lalu cinta. Jadi jatuh cinta. Segampang itukah cinta? Eaaa… 

Buku Si Dul Anak Jakarta yang saya baca merupakan cetakan ke 11 tahun 1981, sementara cetakan pertama tahun 1936. Buku ini bercerita tentang kisah bocah bernama Dul (nama lengkapnya adalah Abdul Hamid). 

Dul digambarkan sebagai bocah yang berbadan bulat, berisi, dan padat. Tangan dan kakinya bergelang-gelang, raut badannya amat bagus, tegap, dan kukuh. Suka duka Si Dul diceritakan dengan gaya menarik dan tentu saja jenaka. 

Beberapa percakapan ditulis dalam logat Jakarta, namun saya sebagai pembaca tidak merasa kesulitan memahaminya. Dalam pendahuluan, sang penulis, Aman Datuk Majoindo, memberi alasan bahwa pemakaian logat Jakarta dalam buku ini supaya diketahui oleh pembacanya yang bukan orang Jakarta. 

Si Dul Anak Jakarta terdiri dari delapan cerita. Diawali dengan kisah Di Bawah Pohon Sauh. Teriakan Nyak Si Dul membuka cerita, 
“Duul!” 
“Duul! Dul Hamid! Eh, kemane lagi die? Barusan di sini.” 

Lalu saya diajak untuk menikmati keriangan masa anak-anak bersama Dul dan teman-teman : As, Pat, Saari, Sapii. Bermain, bengkelai (berkelahi), saling ejek, sekaligus saling bantu. 

Cerita berlanjut dengan Si Dul Jadi Haji. Si Dul membuat rumah-rumahan, lalu memimpin doa untuk acara sedekahan lengkap dengan gayanya bak seorang haji betulan. 
Keceriaan masih berlanjut pada bab 3 Gembala Kambing yang dan bab 4 Mencari Umpan Kambing saat Dul membawa (menggembalakan) bandot (kambing) milik Uak Salim, engkongnya. 

Usai bersenang-senang dengan cerita riang Si Dul, saya diajak untuk merasakan kedukaan Si Dul saat babenya meninggal karena kecelakaan. Otobus yang dikendarai babe Si Dul menerjang pohon juar di tepi jalan (Bab 5 Berjual Nasi Ulam). Babe meninggal, Si Dul akhirnya berjualan nasi ulam. Tapi namanya Dul, saat berjualan pun dia tetap riang meski diejek dan diajak bergelut oleh Saari dan Sapii. 

Pembaca diajak lagi ber-riang-riang dengan Si Dul di cerita selanjutnya saat Dul dibelikan petasan dan baju lebaran lengkap dengan dasi dan topi (Bab 6 Bang Amat yang Baik Hati, bab 7 Si Dul Kecewa) Cerita Si Dul ditutup saat Si Dul masuk sekolah (Bab 8 Maksud Si Dul Sampai). 
Dialog yang terbangun antara Si Dul dengan Encik Guru yang cantik saat pelajaran berhitung, membuat saya sukar menahan tawa. 

“Sekarang saya tanya Abdul Hamid. Kita misalkan Abdul Hamid dberi bapaknya lima buah manggis.” 
“Aye kagak ade babe encik! Babe aye udeh mati, mobilnya nubruk puun,” jawab Si Dul. 
“Jadi bapakmu sudah mati?” 
“Aye!” 
“Nah baik, kalau tiada bapak, ibumu memberi lima buah manggis. Dua buah manggis itu dimakan adikmu!” 
“Aye juga kagak punya adek!” 
“Tak punya adik? Baik. Kita misalkan saja engkau ada beradik seorang.” 
“Mana bisa, nyak aye kagak mau beranak lagi! Katenya, aye sendiri udah bosen miarenya.” 

Secara keseluruhan buku Si Dul menarik dan enak dibaca segala usia meskipun penggunaan bahasanya kurang bisa dipahami oleh bocah-bocah jaman sekarang. Rangkain cerita dijalin dengan apik sehingga saya sebagai pembaca dapat merasakan suasana jaman doeloe. Polos, natural. Ilustrasi menarik, berpadu dengan cerita. 

Ah..saya jadi merindukan cerita anak semacam Si Dul. Merindukan pula melihat anak-anak bermain, bergembira, menikmati masa anak-anak yang ceria.

Eh, pertanyaan aye belum pade dijawab. Udah baca Si Dul Anak Jakarta belon?

Sabtu, 03 April 2021

Wacan Bocah : Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama

April 03, 2021 19 Comments
Tempo hari saya mendapat kiriman buku dari Pojok Buku Ginatra. Sebuah buku anak. Buku bergambar lebih tepatnya. Dilihat dari tampilannya seperti buku bergambar pada umumnya. Tebalnya 24 halaman dengan gambar yang menarik. Tapi setelah diamati, ada yang istimewa dari buku satu ini. Semacam magnet yang membuat saya jatuh cinta. Iya, jatuh cinta pada pandangan pertama. 

Pada sampul buku tergambar dua anak sedang bermain bekelan. Lalu dibawahnya…mata saya membulat melihat deretan aksara yang tidak asing, tapi… 
Iya, deretan aksara Jawa , ha na ca ra ka. Tapi huruf apa yang tertulis? Saya abaikan saja huruf-huruf itu. Mata saya alihkan pada nama penulisnya. Di ujung kanan tertulis : carita dening : Wrini Harlindi, Dwatty Nyahedhi. Lalu dibawahnya tertulis gambar dening : Indra Bayu. 

Masih saja saya bertanya-tanya mengapa ada kata dening? Jika diterjemahkan kira-kira artinya : cerita oleh Wrini Harlindi dan Dwatty Nyahedhi. Sementara gambar/ilustrasi dibikin oleh Indra Bayu. Daripada dilanda penasaran saya langsung membuka halaman pertama. Dan…loh kok

Saya baru sadar bahwa buku yang berada di tangan saya adalah sebuah buku bergambar berbahasa Jawa. Unik.

Jika biasanya saya menjumpai cerkak (cerpen) berbahasa Jawa di majalah (kalawarti) dan harus bertanya-tanya tentang arti kata atau kalimat. Maka saat ini saya membaca buku dengan gambar menarik, berbahasa Jawa lengkap dengan aksara Jawa. Tahu dong apa yang saya lakukan. Mencari lembar aksara Jawa yang ada di buku Pepak Basa Jawa. Eits, tunggu dulu.... 
Tenyata di halaman selanjutnya disediakan Aksara Jawa, Pasangan, Sandhangan, Aksara Swara, Aksara Murda dan Tanda Baca. Sangat memudahkan pembaca untuk membaca aksara Jawa. Akhirnya saya memulai dari awal, membaca judul buku sembari mengintip aksara jawa. 

Buku yang ada di genggaman saya berjudul Bal Bekel Ambar (saya baru sadar ternyata dibawah aksara jawa telah disulih ke huruf latin. Padahal sudah setengah mati saya mengejanya) 

Bal Bekel Ambar adalah seri #WacanBocah, bacaan anak keluaran Lingkarantarnusa. Pada pengantarnya disebutkan ada dua hal penting yang bisa diambil dari seri buku cerita anak bergambar ini. Pertama penggunaan aksara Jawa yang sejalan dengan semangat Geber Jawa – Gembira Beraksara Jawa sebagai upaya untuk memasyarakatkan kembali aksara Jawa. 

Yang kedua, seri ini menggali nilai-nilai di masa kanak-kanak tentang keseharian hidup yang polos, menjadi penghilang dahaga di tengah arus digitalisasi yang kian menjauhkan anak-anak dari nilai tradisi. 

Mungkin inilah salah satu upaya untuk nguri uri (melestarikan) aksara serta budaya Jawa supaya tak muksa begitu saja. Hal ini pun sejalan dengan penyataan Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Pelajari Bahasa Asing. 

Bal Bekel Ambar bercerita tentang bocah perempuan bernama Ambar yang tidak bisa bermain bekel. Sementara Feni, sahabatnya sangat pandai bermain bekel. Feni pun mengajari Ambar cara bermain bekel. Sayang, bolanya selalu menggelinding. Meski tak pandai bermain bekel, ternyata Ambar pandai menggambar. Gambarnya sering dipamerkan di sekolah. Ambar pun mengajari Feni. Sayangya Feni tidak bisa menggambar seperti Ambar. 

Bagi Feni, menggambar itu sama sulitnya dengan bermain bekel untuk Ambar. Memang, setiap anak punya kepandaian masing-masing. 

Cerita yang menarik, ya. Sangat dekat dengan keseharian dan membangkitkan lagi kenangan masa kecil. 

Nah jika saya lancar menuliskan ringkasan ceritanya, itu karena saya membaca terjemahannya. Sekarang saatnya saya membaca murni aksara Jawa. Hmm….kira-kira butuh waktu berapa lama ya? 

Aih ternyata untuk membaca satu kalimat saja saya harus sering melihat deretan aksara Jawa terutama aksara swara (bunyi vokal) serta beberapa huruf yang diberi titik tiga di atasnya. Huruf lain lumayan lancar, karena masih tersisa memori tentang aksara Jawa. 
Sedikit sulit, tapi sebuah tantangan yang menyenangkan. Puas rasanya bisa menakhlukkan buku bergambar bahasa Jawa yang apik ini. 

Kalau kalian, apakah masih hafal aksara daerah kalian? Yuk, yuk, lestarikan agar tidak hilang tertelan jaman.
***

Keterangan :

Judul Buku        : Bal Bekel Ambar
Penulis               : Wrini Harlindi & Dwatty Nyahedhi
Ilustrator            : Indra Bayu
Aksara Jawa       : Rakhmi Dwi Rahayu
Penerbit              : Lingkarantarnusa
Cetakan I            : November 2020
Harga                  : Rp 55.000,-